Rombongan
tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut mereka dengan
ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi,
sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta pelayannya
untuk membuatkan kopi untuk para tamu.
Mobil
yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk mengantar
Ibu Fatmawati dan Guntur.
Pada
jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui rombongan di
serambi muka.
“Kami
sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar Bung Hatta yang kemudian
mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya perlahan-lahan.
Setelah
membacakannya, Bung Karno meminta usulan dan tanda tangan dari para hadirin
sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.
“Saya
tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi cukup Bung
Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”
“Saya
setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan. “Selain itu saya usul sedikit
perubahan kecil dalam teks tersebut.”
Akhirnya
disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’;
menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa
Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa
Indonesia’; penulisan ‘Djakarta,
17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta,
hari 17 boelan 8 tahoen ‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya
diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.
Sementara
Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan pembicaraan
membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi.
“Saya
mengusulkan Lapangan Ikada.” Sukarni bersuara.
Bung
Karno menolak usulan Sukarni, karena lokasi tersebut dapat menimbulkan
bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.
“Saya
sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco
Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika
terjadi konflik, kami yang terjepit.”
“Kita
selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” celetuk Parolan.
“Baiklah
saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar Ahmad
Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah Bung
Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”
Selesai
berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM Diah
meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio dan
surat kabar.
Pagi
hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda. Parolan melihat
Cudanco Latief Hendraningrat sibuk memerintahkan anak buahnya untuk
berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo sibuk
mempersiapkan pengeras suara.
Parolan
menghampiri Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga
mereka masuk ke rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota
Suwirjo.
“Selamat
pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”
“Gimana
menurut kalian?” Tanya Bung Karno.
“Kita
langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik menjawab.
“Benderanya
apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.
“Ini.”
Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna merah putih.
“Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya memilih warna
merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran pejuang kita,
sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”
Bung
Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening Ibu
Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”
“Mungkin
setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak Muwardi
memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.
Jam
09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara Latief
memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian dengan
hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan proklamasi
kemerdekaan.
Diawali
dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung disambut peserta lainnya.
S.
Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih. Tanpa ada
komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonsia Raya mengiringi penaikan
bendera.
Saat
Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan. “Tolong
berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”
Tanpa
membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan sepedanya ia
menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera Parolan
menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah.
“Apa?!”
Pak Waidan setengah berteriak. “Kita sudah merdeka?” Segera Pak Waidan
menyerahkan teks itu kepada F Wuz untuk diwartakan.
“Kalau
saudara tak sibuk, kami mau sedikit mewawancarai kamu seputar peristiwa tadi.”
“Dengan
senang hati, Pak.”
“Ikutlah
dengan saudara Wuz.”
Baru
dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai Parolan,
masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka
menggedor-gedor pintu agar dibuka.
Tok! Tok! Tok!
Suara pintu diketuk berkali-kali. Tidak ada reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz
terus sibuk dengan siarannya, sedangkan Parolan sedikit kebingungan. Pintu
kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan membuka pintu.
“Emak?!”
Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”
“Kau
kenapa, Lan?” Tanya ibunya kebingungan sambil menepuk jidat putranya. “Kamu
pasti lagi bermimpi. Sudah, cuci muka sana dan tolong antar sayur ke pasar.”
Moro, 9 Februari 2013
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
4. Kuda Lumping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar