Selasa, 05 Agustus 2014

Pelajaran Sejarah (Terakhir)

sambungan kemarin...............

Rombongan tiba di rumah Maeda sekitar jam 24.00. Laksamana Maeda menyambut mereka dengan ramah. Ia menunjukkan ruang makan sebagai tempat penyusunan teks proklamasi, sedangkan rombongan lainnya menunggu di serambi muka. Maeda meminta pelayannya untuk membuatkan kopi untuk para tamu.

Mobil yang mengantar mereka sudah kembali pergi ke rumah Bung Karno untuk mengantar Ibu Fatmawati dan Guntur.

Pada jam 04.00 Bung Karno, Bung Hatta dan Ahmad Subardjo keluar menemui rombongan di serambi muka.

“Kami sudah selesai menyusun teks proklamasi,” ujar Bung Hatta yang kemudian mempersilahkan Bung Karno membacakan konsepnya perlahan-lahan.

Setelah membacakannya, Bung Karno meminta usulan dan tanda tangan dari para hadirin sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia.

“Saya tidak setuju!” Tegas Sukarni. “Yang menandatangani naskah proklamasi cukup Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia.”

“Saya setuju dengan Sukarni,” sambung Parolan. “Selain itu saya usul sedikit perubahan kecil dalam teks tersebut.”

Akhirnya disepakati tiga perubahan, yaitu menghilangkan huruf ‘h’ pada kata ‘tempoh’; menggantikan frase ‘wakil-wakil bangsa Indonesia’ dengan ‘Atas nama bangsa Indonesia’; penulisan ‘Djakarta, 17-8-05’ diubah menjadi ‘Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05’. Teks proklamasi dengan segala perubahannya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.

Sementara Sayuti Melik mengetik teks proklamasi, rombongan melanjutkan pembicaraan membahas soal waktu dan tempat pembacaan proklamasi.

“Saya mengusulkan Lapangan Ikada.” Sukarni bersuara.

Bung Karno menolak usulan Sukarni, karena lokasi tersebut dapat menimbulkan bentrokan antara rakyat dengan pihak militer Jepang.

“Saya sepakat dengan Bung Karno,” ungkap Shudanco Singgih dari Daidan PETA Jakarta. ”Jika terjadi konflik, kami yang terjepit.”

“Kita selenggarakan saja di rumah Bung Karno,” celetuk Parolan.

“Baiklah saudara-saudara. Waktu kita sudah mepet. Sekarang jam 04.20,” ujar Ahmad Subardjo sambil melihat arlojinya. “Kita berkumpul lagi nanti di rumah Bung Karno. Pembacaan teks proklamasi pada jam 10.00.”

Selesai berbicara, Sayuti Melik muncul dengan membawa naskah proklamasi. BM Diah meminta supaya teks proklamasi diperbanyak untuk disiarkan melalui radio dan surat kabar.

Pagi hari itu, jam 08.30, rumah Sukarno sudah dipadati massa pemuda. Parolan melihat Cudanco Latief Hendraningrat sibuk memerintahkan anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Bung Karno. Mr. Wilopo dan Nyonopranowo sibuk mempersiapkan pengeras suara.

Parolan menghampiri Chairul dan Adam Malik menanyakan susunan acara nanti. Bertiga mereka masuk ke rumah Bung Karno. Di sana sudah ada dr. Muwardi dan Walikota Suwirjo.

“Selamat pagi, Pak!” Sapa Parolan. “Kami mau tanya susunan acara nanti.”

“Gimana menurut kalian?” Tanya Bung Karno.

“Kita langsung aja pembacaan proklamasi dan pengibaran bendera.” Adam Malik menjawab.

“Benderanya apa dan di mana?” Bung Karno kembali bertanya.

“Ini.” Tiba-tiba Ibu Fatmawati muncul dengan membawa sehelai kain warna merah putih. “Sepulang dari Rengasdengklok saya langsung menjahitnya. Saya memilih warna merah dan putih. Merah sebagai lambang keberanian dan kemartiran pejuang kita, sedangkan putih simbol kesucian perjuangan kita.”

Bung Karno menghampiri istrinya, mengambil bendera itu dan mencium kening Ibu Fatmawati sambil berbisik, “Terima kasih!”

“Mungkin setelah pengibaran, kita beri kesempatan Bapak Suwirjo dan Bapak Muwardi memberi sambutan.” Chairul memecah keharuan.

Jam 09.55 Mohammad Hatta datang dan langsung menemui Bung Karno. Segara Latief memerintah seluruh barisan untuk berdiri dengan sikap sempurna. Kemudian dengan hormat Latief mempersilahkan Bung Karno dan Bung hatta membacakan proklamasi kemerdekaan.

Diawali dengan pidato singkat, Bung Karno lalu membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sesudah itu Bung Karno langsung berteriak “merdeka!” yang langsung disambut peserta lainnya.

S. Suhud dibantu Latief Hendraningrat mengibarkan bendera merah putih. Tanpa ada komando peserta langsung menyanyikan lagu Indonsia Raya mengiringi penaikan bendera.

Saat Walikota Suwirjo memberi kata sambutannya, BM. Diah mendekati Parolan. “Tolong berikan teks ini ke Waidan B Palenewen agar dibacakan.”

Tanpa membuang waktu lagi, Parolan meninggalkan lokasi upacara. Dengan sepedanya ia menuju ke kantor Berita Domei, menemui Kepala Bagian Radio. Segera Parolan menemui Pak Waidan dan menyampaikan teks yang diberikan BM Diah.

“Apa?!” Pak Waidan setengah berteriak. “Kita sudah merdeka?” Segera Pak Waidan menyerahkan teks itu kepada F Wuz untuk diwartakan.

“Kalau saudara tak sibuk, kami mau sedikit mewawancarai kamu seputar peristiwa tadi.”

“Dengan senang hati, Pak.”

“Ikutlah dengan saudara Wuz.”

Baru dua kali F. Wuz menyiarkan berita proklamasi dan belum mewawancarai Parolan, masuklah orang Jepang ke ruangan radio. Dengan marah-marah mereka menggedor-gedor pintu agar dibuka.

Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk berkali-kali. Tidak ada reaksi dari dalam ruangan. F. Wuz terus sibuk dengan siarannya, sedangkan Parolan sedikit kebingungan. Pintu kembali digedor. Kali ini lebih kencang. Akhirnya Parolan membuka pintu.

“Emak?!” Teriak Parolan sedikit kaget. “Ngapain mamak di sini?”

“Kau kenapa, Lan?” Tanya ibunya kebingungan sambil menepuk jidat putranya. “Kamu pasti lagi bermimpi. Sudah, cuci muka sana dan tolong antar sayur ke pasar.”
Moro, 9 Februari 2013
by: adrian
Baca juga cerpen lainnya:
1.      Pasien Kamar 14
3.      Kicau Burung Hilang
4.      Kuda Lumping
5.      Ulang Tahun Ramadhan
6.      Cita-cita Warni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar