Sabtu, 15 Maret 2014

(Pencerahan) Pastor dan Sopir Mikrolet


PASTOR DAN SAHABAT LAMANYA
Markus adalah mantan seminari, tapi tidak sampai tamat. Karena keterbatasan uang sekolah, ia akhirnya memutuskan untuk mundur. Selepas dari seminari, ia merantau ke Jakarta. Berbagai profesi sudah digelutinya, sampai akhirnya di menjadi sopir Mikrolet.

Suatu hari, seorang imam naik mikrolet yang dikemudikan Markus. Dari kaca di atas sopir, Markus terus memperhatikan penumpang istimewanya itu. Dia merasa mengenal orang tersebut. Ketika mobil berhenti sebentar hendak menaikkan penumpang, Markus meminta penumpang istimewanya itu maju ke depan, duduk di samping sopir.

Setelah duduk di samping, Markus berkata sopan, “Anda pastor, kan?”

Imam itu sedikit kagum atas tepatnya tebakan sang sopir. “Koq, kamu tahu?”

“Tampak dari cara naiknya,” ujar Markus diselingi sebuah senyuman. “Romo, sepertinya wajah romo tak asing bagi saya.” Markus memulai percakapan sambil menyetir mikroletnya menyelip-nyelip mobil-mobil lain. “Kalau tak salah, nama romo adalah Matius, kan?”

“Lho, kamu ini siapa? Koq tahu?” Romo Matius, yang merupakan penumpang istimewa mikrolet itu semakin penasaran.

“Romo, kita dulu satu seminari menengah. Saya keluar kelas 2.” Markus menjelaskan beberapa hal penting yang bisa menjadi pengingat. Dan ternyata memang mereka merupakan sahabat lama waktu seminari menengah itu. Akhirnya ceritapun mengalir sampai tukaran nomer HP.

Ketika tujuan Romo Matius sudah dekat, dia mengambil duapuluh ribu dari sakunya. Namun Markus, sang sopir mikrolet, menolaknya. “Untuk romo selalu gratis. Romo naik mobil saya saja sudah merupakan berkat. Berkat itu kan bahasa Latinnya Gratia.” Ujar Markus sambil tersenyum.

“Tidak sobat. Kamu harus terima. Uang inilah berkatnya. Kamu kerja untuk mencari duit, kami kerja untuk cari kesenangan.”

Melihat bahwa Markus bingung dengan penyataannya, Matius mulai menjelaskan. Dia mengatakan kalau orang awam seperti Markus bekerja untuk mencari duit. Dari duit itulah kebutuhan hidup dipenuhi. Hal ini jauh berbeda dengan para imam. Banyak imam bekerja untuk mencari kesenangan. Setiap imam yang bekerja pasti mendapat uang saku, istilah lain yang halus dari gaji. Akan tetapi, semua kebutuhan pribadi imam sudah ditanggung dari unit tempat ia kerja. Misalnya, paroki. Kebutuhan makan minumnya dari paroki. Kebutuhan untuk perlengkapan mandi, dibelikan dari kas paroki. Transportasi ditanggung paroki. Butuh ini, butuh itu, semuanya ambil dari kas paroki. Karena itu, uang sakunya utuh. Lantas untuk apa?

Akhirnya larilah ke hedonis-materialisme. Beli gadget cangih nan mahal. Beli kamera dan perlengkapan elektronik lainnya yang mahal-mahal. Singkat kata: kemewahan. Di sanalah para imam menemukan kesenangan. Ketika ia belum menemukan, karena uang sakunya tidak mencukupi, mulailah dia “menjual imamatnya” dengan menggelar misa-misa khusus, membuat ketentuan khusus soal stipendium atau bahkan memanipulasi laporan keuangan paroki.

“Jadi, kamu harus terima duit dari saya. Inilah berkat.” Matius menjelaskan sambil menunjukkan lembaran duapuluh ribu di tangannya. “Bagi saya, kamulah berkat. Saya lumayan lama di Jakarta ini. Mampirlah bila kamu ada waktu.”

Markus menepikan mikroletnya di tempat yang ditunjuk sobatnya. Dia akhirnya menerima uang pemberian penumpang istimewanya itu. Setelah bersalaman, Romo Matius pun turun. Mereka masih sempat melempar senyum sebelum akhirnya mikrolet berjalan. Mikrolet Markus terus melaju mencari penumpang; mencari uang demi kebutuhan hidup.
Jakarta, 7 Nov 2013
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar