SANTO MARTINUS DE PORRES, PENGAKU
IMAN
Martin de Porres dilahirkan
di Lima, Peru pada tanggal 9 November 1579 sebagai anak tidak sah dari Juan de
Porres, seorang ksatria Spanyol dari Alcantara, dengan Anna Velasquez, seorang
budak mulatto (= peranakan Negro dan kulit putih) Panama yang telah dibebaskan.
Martin mewarisi profil dan kulit gelap ibunya, sehingga menyedihkan hati
ayahnya, sebab itu ayahnya meninggalkan Martin dan saudarinya. Anna Velasquez
membesarkan putera dan puterinya dalam kemiskinan, sementara anak-anak juga
harus banyak menderita cemooh dan ejekan orang karena terlahir sekaligus sebagai
mulatto dan anak haram.
Kehidupan doa Martin kecil
sungguh mendalam sejak masih muda usianya. Ia memiliki devosi yang kuat kepada
Ekaristi Kudus dan Sengsara Tuhan kita. Martin terus berdoa untuk mengetahui
apa yang dapat ia lakukan sebagai ungkapan syukur terima kasih yang luar biasa
atas anugerah penebusan. Ketika usianya 12 tahun, Martin magang pada seorang
tukang cukur-ahli bedah dan belajar ilmu pengobatan.
Pada usia 15 tahun, Martin
mohon diperkenankan menjadi “pelayan” di Biara Rosario Dominikan di Lima, sebab
ia beranggapan bahwa kerinduannya untuk menjadi seorang bruder adalah sesuatu
yang terlalu muluk baginya. Sebagai pelayan, Martin dengan suka hati melakukan
tugas-tugas yang paling rendah dan berat di biara. Ia melayani berbagai tugas -
sebagai tukang cukur, perawat di rumah sakit, pengawas pakaian - juga tukang
kebun dan penasehat. Ia merawat saudara-saudara yang sakit dengan penuh kasih
dan perhatian yang besar, yang dilakukannya dalam kesahajaan. Reputasi Martin
sebagai seorang yang pandai menyembuhkan penyakit segera tersebar luas. Ia
merawat juga orang-orang sakit di kota, termasuk mereka yang terjangkit wabah,
tanpa membedakan ras. Ia menjadi teladan besar dalam kerendahan hati dan tanda
pengharapan bagi mereka semua yang dihinakan karena diskriminasi etnis ataupun
ras.
Martin menyembuhkan
orang-orang sakit melalui doa-doanya dan melalui pengetahuannya mengenai ilmu
pengobatan. Tak terhitung banyaknya orang yang disembuhkan olehnya, termasuk
seorang imam yang nyaris meninggal karena infeksi pada kakinya, dan seorang
frater yang jari-jarinya terluka amat parah dalam suatu kecelakaan hingga
nyaris pupus harapannya untuk ditahbiskan sebagai imam.
Setelah sembilan tahun
mengabdi, akhirnya para superior memperkenankan Martin untuk menerima jubah
broeder - sesuatu yang dianggap Martin sebagai terlalu luar biasa dan terhormat
baginya - dan ia pun mengucapkan kaulnya.
Belas kasih Bruder Martin de
Porres tak mengenal batas; ia membagi-bagikan sumbangan makanan dari biara
(yang terkadang bertambah jumlahnya secara ajaib) kepada orang-orang miskin
papa. Bagi anak-anak yang kurang mampu, Martin mendirikan rumah yatim piatu,
rumah sakit kanak-kanak, juga lembaga pendidikan bagi mereka di mana mereka
mendapatkan pendidikan yang layak dan belajar ketrampilan. Ia membangun suatu
taman besar dengan pepohonan ara di dalamnya yang terbuka bagi semua orang yang
membutuhkannya. Secara istimewa Martin melayani serta melindungi para budak
yang didatangkan dari Afrika.
Martin tak pernah ragu
membagi bilik kecilnya bersama mereka yang terlantar. Hal ini tampaknya
menimbulkan masalah antara dirinya dengan para superior yang segera melihat
biara mereka dipenuhi oleh orang-orang terbuang, yang seringkali bertingkah
“aneh”. Tetapi, bagi Martin, belas kasihan jauh lebih penting nilainya daripada
apapun dan ia tak pernah menolak untuk mengulurkan tangan bagi mereka yang
membutuhkan. Ditegur karena membiarkan seorang yang amat dekil kotor tidur di
atas pembaringannya, Martin menjawab, “Belas kasihan lebih penting daripada
kebersihan. Dengan sedikit sabun aku dapat membersihkan tempat tidurku; tetapi
renungkanlah betapa banyak airmata yang harus aku cucurkan guna membasuh bersih
jiwaku dari noda keacuhan terhadap sesama.”
Bruder Martin melewatkan
malam-malamnya dalam doa dan meditasi, matiraga dan puasa yang terus-menerus;
ia dianugerahi penglihatan-penglihatan dan ekstasi. Di samping karunia-karunia
ini, Martin juga dianugerahi karunia bilokasi; orang-orang yang mengenalnya
dengan baik melihatnya di Meksiko, di Amerika Tengah dan bahkan di Jepang,
sementara ia sendiri, secara jasmani, setelah masuk biara tidak pernah keluar
dari Lima. Suatu ketika Martin bersama para novis sedang berpiknik penuh
sukacita hingga lupa waktu. Tiba-tiba, begitu menyadari bahwa mereka akan
terlambat untuk doa, Martin meminta mereka mengatupkan kedua tangan mereka.
Sebelum mereka sadar akan apa yang terjadi, mereka semua telah berdiri di
halaman biara, tanpa mampu menjelaskan bagaimana mereka dapat menempuh
perjalanan beberapa mil jauhnya hanya dalam waktu beberapa detik saja.
Martin menembus pintu-pintu
yang terkunci dengan cara yang hanya diketahui dirinya sendiri dan Tuhan.
Dengan cara ini ia sekonyong-konyong muncul di sisi pembaringan mereka yang
sakit tanpa diminta dan senantiasa menenangkan mereka yang sakit jika ia tidak
menyembuhkan mereka sepenuhnya.
Bahkan binatang-binatang
yang sakit datang kepadanya agar disembuhkan. Martin menunjukkan kendali yang
luar biasa atas binatang-binatang itu; ia merawat dan memelihara mereka -
memelihara dengan cara yang tampaknya tak dapat dipahami oleh orang-orang
sekitarnya - sebab ia bahkan menaruh belas kasih kepada tikus-tikus juga,
yang dibiarkannya mengorek-ngorek tanah ketika mereka lapar. Ia membuat rumah
penampungan bagi banyak kucing dan anjing liar di rumah saudarinya. Martin
memiliki cinta kasih yang luar biasa kepada segenap ciptaan. Ia merupakan
inspirasi bagi mereka semua yang berkomitmen untuk melindungi ciptaan dan
membela kehidupan dalam segala bentuknya.
Walau begitu banyak hal
mengagumkan dalam dirinya, tetapi mungkin yang paling diingat orang tentang Martin
de Porres adalah kisahnya dengan para tikus. Dikisahkan bahwa kepala biara,
seorang yang bijaksana, tidak suka pada makhluk-makhluk pengerat itu. Ia
memerintahkan Martin untuk meracuni mereka. Martin taat, tetapi ia bersedih
hati karena tikus-tikus itu. Maka, ia pergi ke kebun dan memanggil mereka
dengan lembut - dan datanglah tikus-tikus itu. Martin menegur mereka karena
perilaku mereka yang buruk; ia memberitahukan perihal racun itu kepada mereka.
Lalu, ia meyakinkan mereka bahwa ia akan memberi mereka makanan di taman setiap
hari, jika mereka tidak lagi mengganggu kepala biara. Para tikus setuju. Maka,
Martin melepaskan makhluk-makhluk pengerat itu dan sesudahnya para tikus tak
pernah lagi mengganggu biara.
Anak didiknya, Juan Vasquez
Parra, menggambarkan Martin sebagai seorang yang cakap dan praktis. Ia sungguh
pandai dalam mengelola sumbangan amal kasih, baik dana maupun barang-barang,
yang dipergunakannya dengan cermat dan sistematis. Orang-orang terhormat di
Lima datang untuk mohon bimbingan dan nasehatnya dalam masalah-masalah yang
sulit.
Termasuk di antara para
sahabatnya adalah St Rosa dari Lima dan
Beato Yohanes Masssias, yang adalah seorang bruder di Biara Dominikan St Maria
Magdalena di Lima. Walau Bruder Martin menyebut dirinya sendiri sebagai “anjing
mulatto,” masyarakat menyebutnya sebagai “bapa belas kasih.” Mereka begitu
menghormatinya hingga mereka mohon bimbingan rohani darinya, walau ia hanya
seorang bruder.
Martin de Porres wafat
karena demam di Biara Rosario pada tanggal 3 November 1639. Raja muda Spanyol,
bangsawan dari Chinchón, datang berlutut di sisi pembaringannya memohon berkat
darinya. Para pejabat gereja dan para bangsawan menghantar jenazahnya ke makam.
Mukjizat-mukjizat
menakjubkan, yang menyebabkan Martin disebut sebagai seorang santo bahkan sejak
di masa hidupnya, terus berlangsung hingga hari ini melalui perantaraannya.
Hidupnya adalah suatu doa terus-menerus yang panjang dan matiraga keras yang
tak kunjung henti. Ia dijuluki “Santo Sapu” karena ia dengan suka hati
melakukan pekerjaan-pekerjaan berat maupun tugas-tugas rendahan tanpa
melewatkan satu saat pun persatuan dengan Tuhan. Belas kasih, kerendahan hati
dan ketaatannya sungguh luar biasa.
Martin de Porres
dibeatifikasi pada tahun 1873 dan dikanonisasi pada bulan Mei 1962 oleh Paus
Yohanes XXIII. Pestanya dirayakan pada tanggal 3 November.
Sumber
: 1. “For All The Saints, by Katherine Rabenstein”; 2. berbagai sumber
Diperkenankan mengutip /
menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh
YESAYA: www.indocell.net/yesaya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar