SEBUAH TELADAN DARI DOMBA
Seorang pemuda dari daerah terpencil datang ke ibu kota
provinsi untuk melanjutkan kuliah. Ia dapat kuliah karena keuskupan membantu
membiayai uang kuliah dan kebutuhan hidupnya. Maklum, kalau mengharapkan
keluarga, jelas ia tidak mampu. Dia merasa sangat bersyukur karena keuskupan
mau membantunya kuliah.
Karena prestasi akademiknya, oleh pihak kampus ia diberi
beasiswa. Hal ini sungguh luar biasa. Kampus itu mayoritasnya adalah muslim,
dan dirinya berasal dari daerah terpencil. Namun ia, yang minoritas, bisa
berprestasi dan mendapat beasiswa. Sebulan ia menerima uang sebesar delapan
ratus ribu rupiah. Jumlah yang cukup lumayan bagi anak kos dan kuliahan.
Apa yang dia lakukan terhadap uang beasiswa itu? Semua uang
beasiswa dia serahkan ke ekonom keuskupan. Dia merasa bahwa dirinya sudah
dibantu oleh keuskupan. Oleh karena itu, uang beasiswa itu diserahkannya ke
keuskupan. Sekalipun tidak ada aturan yang mewajibkan dirinya untuk menyerahkan
uang sumbangan yang dia terima selama kuliah, pemuda ini tidak mau memanfaatkan
kesempatan itu. Padahal, seandainya pun ia gunakan sendiri uang itu, ia tidak
salah. Dan peluang untuk itu sangat besar.
Namun, suara hatinya masih berperan. Dia tahu diri. Hal inilah
yang membuat dia harus jujur. Kejujurannya inilah yang dipuji oleh banyak
pihak, termasuk para gembalanya.
Sikap jujur mengembalikan uang, yang sebenarnya murni haknya,
ke keuskupan sangat berbeda dengan sikap serakah segelintir gembala umat. Ada beberapa
gembala yang menerima gaji puluhan juta, tapi menikmatinya sendiri. Padahal ada
aturan yang mewajibkan mereka untuk menyerahkan gajinya dan uang yang dia
terima karena jabatannya ke keuskupan. Tapi mereka tetap menikmati uang itu
demi kepentingan pribadi dan keluarganya.
Sekalipun beberapa kali sudah “diperingati”, namun tetap saja
tak bergeming. Suara hatinya sudah mati. Mereka tak tahu diri. Padahal makan
minum dan kebutuhan lain sudah ditanggung keuskupan. Keserakahan membuat nilai
kejujuran mati.
Keserakahan itulah yang disentil Paus Fransiskus dalam acara pembukaan sinode, Minggu (5/10). Paus mengatakan bahwa ada gembala yang buruk. Ke-buruk-an
itu terlihat dari sifat serakah; serakah akan uang dan kekuasaan. Sifat serakah
inilah yang dapat melestarikan korupsi di gereja.
Karena itu, apa yang dilakukan pemuda udik di atas dapat
menjadi contoh teladan. Sungguh sebuah ironisme. Seorang domba, tanpa wawasan
pengetahuan moral katolik, dapat menjaga suara hatinya tetap berjaga. Sudah seharusnya
para gembala, yang sudah dijejali moral katolik, senantiasa menjaga suara
hatinya tetap hidup.
Pangkalpinang, 7 Oktober 2014
by: adrian
Baca juga:
3. Diakon Yudas dan Ternyata….
sebuah shering menarik. Semoga para gembala membacanya
BalasHapusapa pastor yang serakah uang itu gak punya rasa malu? Bukankah mereka punya kaul kemiskinan?
BalasHapus