KISAH SEORANG PASTOR DAN KELUARGA YAHUDI
Hari ini hari Jumat, hari pertama kami membuka usaha kami.
Dengan berseri-seri, saya (17 tahun, pengantin baru)
berdiri di sebelah suami saya Solomon, di dalam toko kami yang bernama UEBERALL 3 - 9 - 19 Sen. Toko kami terletak di Brooklyn, Amerika Serikat. Toko ini menjual barang-barang dengan harga pas,
senilai 3, 9 atau 19 sen.
Tamu pertama kami melangkah masuk. Beliau seorang Pastor Katolik usia muda, dari sebuah Gereja (Katolik) kecil. Namanya Pastor Caruana. Beliau berbelanja sedikit, dan
mukanya gelap, semuram warna jubahnya. "Mengapa
sedih Bapa?" Suami saya
bertanya. Solomon tergolong orang yang sangat mudah ‘jatuh hati’.
Pastor tersebut berbicara pelan, "Gereja
kami harus ditutup...."
"Mengapa?" Tanya
suami saya. Bagi suami saya, agama
adalah penyembahan dari menit ke menit. Kami menjalankan semua ritual agama
kami. Keluarga Ueberall, sebagaimana sebagian besar
orang-orang Yahudi, beragama Yahudi.
Mereka menyembah Allah Yehovah yaitu Allah Abraham, Ishak & Yakub,
dan mematuhi hukum Taurat Musa. Mereka bukan beragama Kristen Katolik. Bukan
demi ritus itu semata mata, namun kepatuhan kami kepada Allah.
Pastor tersebut menjelaskan bahwa dirinya membutuhkan $500, untuk Senin mendatang. Jemaatnya miskin, dan tidak
mungkin memenuhi tuntutan $500 itu. Gereja pusatnya tidak dapat membantu, dan
rasanya tidak ada jalan keluar.
Suami saya mendengarkan dengan cermat, dan tangannya meremas-remas
jemari saya. Saya merasakan perasaan hatinya yang terdalam. Kami berdua adalah
orang-orang Yahudi, pindah dari Austria (suami saya) dan saya dari Rusia. Kami
mencari kehidupan yang lebih aman dan baik di Amerika. Di Eropa, keadaannya
kurang begitu baik untuk bangsa kami.
"Tidak! Tidak boleh
terjadi...." Solomon
menggerutu. Ia berpikir keras, dan kemudian berkata, "Jangan khawatir Bapa, kita usahakan uang itu...."
Saya melotot ke arah Solomon. Nggak salah? Lima dollar
saja tidak kami miliki saat ini. Pastor Caruana juga melotot memandangi suami
saya. Kemudian dengan wajah tidak percaya, beliau meninggalkan kami.
Solomon menatap saya. "Esther,
kita memiliki begitu banyak hadiah pernikahan. Kita gadaikan itu semua. Suatu
saat kita tebus itu semua kembali, namun sekarang kita cari 500
dollar...." Solomon melepaskan jam emas beserta rantainya yang
merupakan hadiah dari ayah saya. Ia melihat kepada cincin kawin saya. Terpaksa
saya buka perlahan dan menyerahkan kepadanya.
MASIH KURANG BANYAK
Solomon kembali petang itu dengan wajah kurang cerah. Ia hanya berhasil
mendapatkan $250. Pada saat makan malam ia menjadi riang kembali dan
berseri-seri berkata, "Saya tahu, kita
pinjam! Keluarga kita besar dan kompak bukan?"
Dan sepanjang hari minggu itu, Solomon pergi mengunjungi para paman, ipar, sepupu, dan kawan-kawan yang pernah ia tolong. Beberapa dengan simpatik
langsung menolong, beberapa
berkeras hati. Solomon memohon-mohon, ia mengemis-ngemis, ia menghimbau, ia
membangkit-bangkit. Akhirnya terkumpul lagi sebesar $250.-.
Sejak saat itu, tiap hari Senin, Pastor Caruana merupakan pengunjung
toko kami yang paling pagi. Beliau senantiasa membawa sebuah dompet kulit, dan
membayar sebagian demi sebagian. Uang tersebut adalah hasil kolekte jemaatnya.
Persahabatan kami meningkat. Kemudian seluruh hutangnya terbayar lunas, sehingga
gerejanya tidak jadi ditutup.
BERKAT MELIMPAH
Cincin kawin saya telah berhasil ditebus, dan semua barang-barang yang
kami gadaikan kembali dengan selamat. Keberuntungan senantiasa mewarnai toko
kami, dan berkat bagaikan luber tercurah. Tak lama sesudah itu kami mengganti
nama toko menjadi TOKO SERBA ADA UEBERALL.
Demikianpun dengan jemaat Pastor Caruana. Dengan pelan namun pasti,
jemaat itu makin kuat dan makin besar. Mereka bahkan bisa membangun gereja yang
lebih kokoh dan bagus dengan nama Santa Lucia. Tahun 1919 Pastor Caruana
dipanggil pulang ke Roma, dan perpisahannya dengan Solomon lebih merupakan
perpisahan dua saudara kandung.
TAHUN - TAHUN KEMUDIAN
Solomon secara tiba tiba dipanggil Allah pulang, meninggalkan saya dan
dua anak. Pukulan keras ini berdampak dua tahun. Saya kemudian bekerja sendiri,
dan melatih putera saya mengambil alih usaha. Secara pelan-pelan, ingatan akan
Pastor Caruana menghilang dari pikiran saya.
Perang dunia II meletus dan Hitler menderap masuk Austria. Kesulitan
besar terjadi di sana, dan kami menerima surat-surat permohonan dari saudara
serta kerabat Solomon, yang ingin disponsori untuk pindah ke Amerika. Tanpa
kepindahan ini, kamp-kamp konsentrasi dan maut menanti mereka.
Saya berusaha keras menolong. Namun pemerintah Amerika kemudian menutup kemungkinan migrasi dengan
memberlakukan sebuah kuota. Surat-surat permintaan terus masuk. Tiap menerima
sebuah, terasa satu tikaman di ulu hati saya. Saya akan bersandar di dinding
dan menangis: "Oh Solomon, kalau
saja engkau masih hidup...."
Akhirnya saya menghubungi Departemen Perburuhan di Washington, dan
mereka menyarankan agar saya membiayai para pelarian masuk Cuba. (Saat itu Cuba
masih bersahabat dengan Amerika Serikat). Syaratnya, harus ada tokoh kuat di
Cuba yang bisa mensponsori dan menjamin akan kelangsungan hidup di sana. Siapa?
Saya tak kenal seorang pun di Cuba. Terbersit sebuah ilham. Cuba negara
Katolik, mungkin gereja Santa Lucia bisa menolong. Seorang Pastor muda langsung
mengirim kawat (telex) kepada pimpinan Gereja Katolik di Havana memberi kabar
kedatangan saya.
HAVANA INTERNATIONAL AIRPORT CUBA, 2 HARI KEMUDIAN...
Turun dari pesawat terbang, udara hangat menerpa wajah. Seorang anak
laki-laki kecil berlari-lari menemui saya di tangga pesawat dengan sebuah buket
kembang mawar. Saya mencium pipi anak kecil ini, terheran-heran akan penyambutan VIP macam ini.
Pelan-pelan saya melihat sepasang sepatu coklat di sisi anak
itu. Mata saya naik ke atas, terpandang sebuah gaun beludru berwarna merah
darah dengan rumbai-rumbai kuning. Mata saya terangkat lagi ke atas, dan
melihat langsung kepada sepasang mata ramah, berkeriput, yang memandang
dalam-dalam, dengan riak-riak gelombang hangat di dalamnya.
Orang itu tersenyum kepada saya. Saya memusatkan perhatian. Tangannya
terulur kepada saya, dan berkata pelan, "Esther
Ueberall... tidak ingatkah kau pada saya?"
Pastor Caruana!! Saya berenang dalam air mata....
Di dalam mobil menuju pusat kota, Pastor Caruana bercerita bagaimana beliau kemudian ditugaskan Roma di Cuba, dan menjadi
Bishop Kepala (Uskup Agung?) di sana. Dengan pertolongannya, dua lusin keluarga
kami melarikan diri dari cengkeraman Hitler dan tiba di Cuba. Mereka menantikan
dibukanya kuota imigrasi Amerika, dan tidak diperkenankan bekerja. Namun,
Gereja Katolik Cuba melindungi mereka, memberi makanan, pakaian, sayur mayur
segar dari kebun-kebun sendiri, daging, dan enam bulan kemudian mereka telah
aman di Amerika.
KEMBALI KE AMERIKA SERIKAT
Sejak saat itu, saya dan Pastor Caruana berkirim-kiriman surat. Beliau
kemudian jatuh sakit dan dirawat di kota Philadelphia, Amerika Serikat.
Beberapa kali saya menyempatkan diri menengok, dan dalam tiap doa.... saya
selalu ingat keadaannya.
Suatu hari, sebuah surat tiba di meja kerja saya, dari pimpinan Gereja
Katolik Philadelphia. Isinya tentang keadaan Pastor Caruana yang sangat gawat.
Beliau tidak ingin ditemui oleh siapapun, namun terus menerus memanggil-manggil
nama saya. Tiga jam kemudian saya telah tiba di sana dan duduk dengan
diam di sisi tempat tidurnya.
Beliau tampak kurus, lemah, dan tidak berdaya. "Esther....," katanya
memegang tangan saya. Kami berdiam diri di sana, saling memandang. Saya tahu, bahwa beliau sebentar lagi akan ‘berangkat’. Kemudian beliau berkata, "Esther, jaga diri
baik baik, saya selalu berdoa untukmu dan untuk keluargamu." Kemudian, dengan banyak kesulitan, beliau mengeluarkan dari bawah bantalnya sesuatu yang diletakkan dalam
genggaman tangan saya.
Beliau memberikan kepada saya sebuah bros perak yang selalu
dikenakannya. Air mata yang panas membanjiri saya, dan sambil memegang
tangannya erat-erat.
Pergilah dengan tenang Bapa, KENANGAN akan engkau sangat MANIS di dalam
hati saya.
Lambang dari suatu hubungan yang manis, dari sekian banyak
perbedaan-perbedaan umat manusia, namun... saling berbuat baik, karena kenal DIA !!
Marilah kita singkirkan semua perbedaan kita dan saling membantu satu sama lain sebagai umat yang mengenal TUHAN "
by: Esther Ueberall
Baca juga sharing
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar