Minggu, 28 April 2013

(Sharing Hidup) Kesibukan Hidup


KURANG BERSERAH DIRI
Selasa pagi, pukul 09.30 WIB, seperti biasa jalan Imam Bonjol dilewati sebagian besar warga Jakarta. Saya menyetir tergesa-gesa, dan sudah hampir terlambat rapat penting di pusat Jakarta. Saat itu, waktu menunjukkan “3 in 1”. Saya menggerutu kecil. “Jamnya nanggung. 30 menit lagi sudah selesai, tapi jika menunggu 30 menit, saya bisa terlambat satu jam.”

Terpaksa saya memberhentikan mobil dan menaikkan seorang ibu yang menggendong anak kecil. “Pagi Mbak, sudah lama tidak lewat sini?” tegurnya ceria. “Iya, biasa lewat tol,” saya menjawab pendek. Wajah saya berkerut-kerut tegang. Sambil memasuki kawasan Sudirman, pikiran saya melayang pada rapat berikutnya. Dalam kondisi seperti itu, hal terakhir yang ingin saya lakukan adalah mengobrol. Sama halnya yang ingin dilakukan ibu joki untuk memulai perbincangan.

“Mbak sedang sibuk ya?” tanyanya enteng.

“Iya,” saya menjawab seadanya.

“Sibuk dengan kerjaan?” tanyanya lagi.

“Iya, biasa,” jawab saya lagi, mulai terganggu.

“Memang kerjaan belum selesai?”

“Sudah semaksimal mungkin saya kerjakan sampai malam, tapi tidak tidak tahu mengapa, rasanya ada saja yang membuat tidak beres,” keluh saya.

Tiba-tiba, saya menyimak perkataan ibu ini lebih lanjut. “Bagaimana saya tidak berkeluh kesah, karena kerjaan saya sekarang sedang menumpuk,” dalam hati saya protes.

“Mbak tahu tidak, kemarin saya hanya punya uang seribu perak. Anak saya dua. Satu lagi kena demam berdarah. Saya berpikir, bagaimana caranya anak saya bisa makan?” ujar ibu joki itu.

“Mbak Katolik, bukan?” tanyanya lagi. Saya mengiyakan.

“Kalau Mbak Katolik, tahu kan Firman Tuhan yang menyatakan, burung pipit yang kecil saja dikasihi Tuhan. Rumput saja tidak ada yang memberi makan bisa hidup. Apalagi saya dan apalagi Mbak?”

Tangan saya mulai berkeringat mendengar perkataan ibu itu. Ia melanjutkan perkataannya, “Kemarin sore, saya naik mobil, yang punya mobil memiliki makanan sisa, daripada basi diberikan kepada saya. Anak saya makan, padahal saya tetap punya uang seribu perak, tambah hasil ngejoki.”

“Saya hanya punya seribu, yang penting saya selalu usaha cari uang, sisanya Tuhan yang mengatur. Jika sudah bekerja sebaik-baiknya, ya sudah. Jika belum diberi jalannya pagi ini, nanti sore juga diberi. Pokoknya waktunya pas.”

Sesaat kemudian ibu joki tersebut turun dari mobil saya, namun perkataannya masih terasa pedas menggampar saya seharian penuh. Kurang pasrah, begitu saya berkesimpulan akan penyakit saya. Dengan kemajuan teknologi dan segala alat bantu pekerjaan, hampir seluruh area pekerjaan dapat direncanakan dan diprediksi. Nyaris tidak ada informasi yang tidak bisa didapat lewat internet. Nyaris tidak ada komunikasi yang bisa terputus dengan gadget yang dimiliki.

Berkata ‘tidak tahu’ adalah sebuah hal yang haram disebut sebagai alasan akan sesuatu. Jika sekarang tidak tahu, bisa lewat mesin pencari atau bertanya pada orang. Jika orangnya tidak ada di dekat kita bisa telepon, sms, email, atau chatting. Hanya jika berada di daerah terpencil kita bisa punya lebih banyak alasan. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat anxiety masyarakat perkotaan. Banjir informasi serta tidak ada putusnya waktu kerja dan istirahat seperti menuntut segala hal untuk dikontrol hasilnya.

Padahal, seperti dalam hidup manusia, tidak semua hal bisa dikontrol. Ketika ada hal yang tidak bisa diprediksi hasilnya, manusia perkotaan menjadi lebih mudah frustrasi. Lalu, frustrasi tersebut membawa manusia untuk lebih lagi mengandalkan gadget dan kemampuan kerjanya untuk mengatasi anomali hasil tersebut. Jika dipikir-pikir, masalah ibu joki tadi jelas lebih berat daripada masalah saya. Seribu perak untuk makan itu sulit. Tetapi, saya terlihat lebih sengsara dan rendah diri.

by: Margareta Astaman, “Kurang Berpasrah Diri”, HIDUP, No 18, Thn ke-66, 29 April 2012
Baca juga sharing lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar