Gereja
adalah bagian dari dunia. Karena itu prinsip-prinsip keduniaan, meski tidak
semuanya, dapat diadopsi oleh Gereja. Salah satunya adalah soal transparansi
laporan keuangan. Sudah saatnya pengelolaan harta benda Gereja, termasuk
keuangan, dilakukan secara transparan agar umat mengetahuinya.
Ada
beberapa alasan kenapa Gereja, dalam hal ini paroki, harus transparan dalam
pengelolaan keuangan. Pertama, sumber
keuangan paroki adalah dari umat (kolekte, intensi, stipendium, donasi, dll).
Oleh karena itu, adalah hak umat untuk mengetahui pengelolaan keuangan paroki:
berapa yang masuk, bagaimana dikelola, bagaimana pemakaiannya, berapa keluar,
berapa hasil akhirnya, dll. Dapatlah dikatakan bahwa transparansi merupakan
bentuk akuntabilitas.
Kedua, dengan adanya transparansi keuangan berarti
umat dilibatkan; umat menjadi berpartisipasi aktif. Di sini umat akan merasa
memiliki Gereja (cinta akan parokinya), melalui kontrolnya atas laporan
keuangan yang dibuat secara transparan.
Ketiga, semua manusia memiliki kelemahan, terlebih
dalam hal uang. Manusia, sekalipun imam, sangat rentan terhadap penyalahgunaan
uang. Karena itu benar kata orang bahwa korupsi tidak pandang bulu. Korupsi
bukan hanya milik para pejabat negara, tetapi juga bisa melanda pejabat Gereja
(baca: hirarki): uskup, imam dan suster. Dengan adanya transparansi maka bahaya
penyelewengan keuangan bisa diminimalisir.
Akan
tetapi ada saja orang, bahkan dari hirarki, yang tidak setuju adanya
transparansi keuangan. Mereka menilai bahwa di balik transparansi ada prinsip do ut des: saya memberi, maka saya
menerima. Artinya, pemberian itu ada pamrih. Jadi, umat yang memberi kolekte,
intensi, stipendium, dll, disinyalir memiliki pamrih pribadi, bukan murni
persembahan kepada Tuhan, Gereja dan karya pastoral. Pemberian tersebut tidak
seperti persembahan janda miskin (bdk. Lukas 21: 1 – 4).
Malahan
orang-orang yang menentang transparansi keuangan menggunakan dasar Kitab Suci
untuk menguatkan argumennya. Mereka memakai teks “Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu
apa yang diperbuat tangan kananmu.” (Matius 6: 3). Teks ini menjadi prinsip
dasar kristiani dalam memberi persembahan (kolekte, intensi, stipendium, dll).
Benarkah
transparansi keuangan bertentangan dengan prinsip kristiani dalam hal memberi?
Pertama-tama perlu dilihat konteks Injil Matius berkaitan dengan persembahan
secara keseluruhan. Matius 6: 3 itu berkaitan dengan tradisi memberi sedekah
yang merupakan kewajiban bagi orang Yahudi. Keluarnya pernyataan Yesus agar
tangan kiri tidak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan, harus dikaitkan
dengan kebiasaan orang yang suka pamer dalam memberi sedekah. Sikap pamer ini
membuat orang jatuh ke dalam keangkuhan dan kesombongan. Sikap pamer, yang
berdampak pada kesombongan diri, inilah yang dikritik oleh Yesus. Untuk
menghindari hal ini, Yesus mengajarkan agar persembahan atau sedekah itu
diberikan dengan sembunyi, tidak ada orang lain yang tahu. Artinya, sedekah
atau pemberian itu bukan untuk pamer.
Transparansi
bukanlah bertujuan untuk pamer, apalagi menyombongkan diri. Transparansi,
seperti yang diuraikan di atas bertujuan untuk pertanggungjawaban dan
menumbuhkan rasa memiliki dalam diri umat. Dengan mengetahui ke mana dan
bagaimana penggunaan keuangan paroki, para imam di paroki dapat dihindari dari
bahaya penyalahgunaan keuangan paroki.
Karena
itu, tidak beralasan tudingan bahwa transparansi keuangan melanggar prinsip
dasar kristiani dalam memberi persembahan. Memang, kecenderungan pada ajang
pamer dan menyombongkan diri itu ada. Semua itu tergantung pada hati dan
motivasi memberinya. Dan janganlah kecenderungan itu menjadi alasan untuk
meniadakan transparansi.
Tanjung
Batu, 6 Maret 2013
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar