Selasa, 11 Maret 2014

(Pencerahan) Fitnah di Balik Fitnah

ADA FITNAH DI DALAM FITNAH
Pak Emanius adalah kepala sekolah SMK Fatamorgana. Sudah satu dekade ia memimpin sekolah itu. Ia mempunyai seorang asisten, namanya Atikus. Banyak orang bingung dengan peran Ibu Atikus ini. Dikatakan bendahara sekolah juga bukan, karena sekolah sudah punya dua orang bendahara. Tapi dia suka menyibukkan diri dengan urusan uang. Dikatakan sekretaris sekolah juga bukan, karena sekolah sudah punya sekretarisnya. Tapi, kalau mau tanya soal arsip-arsip sekolah atau hal-hal berkaitan dengan administrasi sekolah, orang selalu bertanya kepada dia. Sekalipun tidak jelas tugas dan perannya, setiap bulan ia menerima gaji.

Ibu Atikus benar-benar memiliki kuasa yang besar, bahkan lebih besar dari wakil kepala sekolah. Dia bisa saja mengatur guru-guru. Bahkan wakil kepala sekolah pun diaturnya. Dia benar-benar tangan kanan kepala sekolah. Karena itu, ke mana saja kepala sekolah pergi, dia pasti ikut. Entah sudah berapa kali dia ikut mendampingi kepala sekolah pergi ke luar kota, malah ke luar negeri juga. Sekalipun kepergian itu sama sekali tidak ada kaitan dengan tugasnya. Yah itu tadi, tugasnya memang tidak jelas. Tapi dia digaji.

Selama satu dekade memimpin sekolah itu, wakil kepala sekolah sudah berganti sebanyak empat kali. Jabatan wakil kepala sekolah keempat diduduki oleh Ibu Julia, yang terkenal sebagai orang yang disiplin dan sangat cerewet. Namun kalah juga di hadapan Ibu Atikus, karena dengan mudah dan seenaknya ia mengatur wakil kepala sekolah. Ibu Atikus selalu berkelit bahwa ini mandat kepala sekolah. Tentulah tak ada yang berani melawan pimpinan.

Ibu Julia adalah tipe orang yang agak perfeksionis. Ia selalu ingin memperbaiki ketidak-benaran. Orang yang ingin memperbaiki ketidak-benaran, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menemukan ketidak-benaran. Jika sudah mendapatkan ketidak-benaran, maka tugas selanjutnya adalah membuatnya menjadi benar. Inilah prinsip Ibu Julia. Setiap ada masalah, selalu ia menanganinya: mencari solusi dan menyelesaikannya. Dia tidak mau membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.

Karena itu, sejak kedatangannya di sekolah itu, ia memperhatikan kehidupan sekolah. Dia melihat ada begitu banyak ketidakberesan di sekolah, dimulai dari soal aturan-aturan, kebijakan-kebijakan hingga masalah keuangan sekolah. Awalnya ia menyampaikan masalah itu ke kepala sekolah, namun tidak ada reaksi. Maka dari itu, di setiap rapat atau pertemuan, ia menyuarakan ketidakberesan itu.

Aksi Ibu Julia ini membuat banyak guru dan murid bingung. Mereka sudah terbiasa hidup “adem-tentrem”, menerima saja apa yang dikatakan kepala sekolah. Karena itu, mereka sedikit merasa heran kenapa setiap kali pertemuan, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah selalu berseberangan atau beda pendapat. Hal ini dilihat mereka sebagai sesuatu di luar kebiasaan.

Kepada beberapa guru dan murid, Ibu Julia menyampaikan pemikirannya soal ketidakberesan yang terjadi di sekolah. Salah satunya soal keuangan. Dia merasa heran, kenapa soal keuangan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan Ibu Atikus. Kenapa ketika orang lain ingin mengetahuinya selalu dihalangi? Kenapa kepala sekolah tidak mau mengadakan transparansi keuangan? Padahal transparansi itu merupakan wujud pertanggungjawaban kepada guru, murid dan orang tua murid. Harap diingat bahwa uang sekolah itu berasal dari murid, dan dipergunakan untuk kesejahteraan guru dan perkembangan murid.

Mereka membenarkan pendapat Ibu Julia. Mereka juga mengakui merasa aneh dengan kebiasaan ibu Atikus yang sering pergi mendampingi kepala sekolah ke luar kota, padahal itu bukanlah tugasnya. Mereka bertanya duit transportasi itu dari mana? Hanya mereka tidak mau menyampaikannya demi kebiasaan “adem-tentrem” di sekolah. Dan mereka meminta agar Ibu Julia juga tenang-tenang saja – mengikuti kebiasaan selama ini – tidak usah selalu sering beda pendapat dengan kepala sekolah. Nanti akan menggangu kebiasaan “adem-tentrem”.

Jelas, Ibu Julia protes. Saya melihat adanya ketidak-benaran, maka saya terpanggil untuk memperbaikinya supaya menjadi benar. Koq malah diajak bersekutu dengan ketidak-benaran, hanya demi sebuah kebiasaan “adem-tentrem”?, demikian ungkapnya. Ada penyalahgunaan wewenang; ada pemerasan terselubung; ada korupsi, dan ketidak-benaran lainnya. Masak dibiarkan saja?

Suatu hari, Ibu Julia menerima surat mutasi dari Ketua Yayasan Alibius. Ia ditarik ke yayasan untuk tugas yang baru. Ibu Juli menerima surat itu dengan tenang, meski dia sedikit agak prihatin dengan nasib para guru dan murid. Siapa lagi yang akan memperjuangkan nasib mereka, keluhnya. Maklum, soal keuangan yang sungguh misterius di sekolah itu, bermakna bahwa murid dan guru diperas demi kepentingan segelintir orang saja. Karena itu, sebelum berangkat, Ibu Julia sempat berdiskusi dengan beberapa orang guru dan murid hanya sekedar memberi pencerahan.

Beberapa bulan setelah kepergiannya, Ibu Julia menerima email dari seorang guru, yang bercerita bahwa Ibu Atikus mengatakan bahwa sikapnya yang selalu berseberangan dengan kepala sekolah dulu merupakan cermin sikap iri hatinya. Ibu Juli iri hati karena tidak seperti kepala sekolah.

Membaca email itu, Ibu Julia hanya tersenyum saja. Dengan tenang ia membalas email itu, katanya:
“Ini hanya usaha untuk menutupi masalah utama, yaitu ketidakberesan di sekolah, khususnya masalah keuangan. Saya dikatakan iri hari kepada kepala sekolah? Ahk, lucu! Saya sendiri tidak punya ambisi untuk menjadi kepala sekolah. Saya juga tidak punya ambisi untuk memiliki kekayaan dan kemewahan seperti kepala sekolah, apalagi memperolehnya dengan cara tidak benar. Sama sekali saya tidak punya hasrat untuk iri hati atau cemburu. Jadi, jelas sekali apa yang dikatakan Ibu Atikus adalah usaha untuk menutupi masalah utama.

Bagi saya, menjadi guru saja sudah hebat. Dan itulah panggilanku. Saya hanya tidak tahan melihat ketidakberesan atau ketidak-benaran dalam sekolah. Saya tidak suka kita memaksa murid untuk bayar uang sekolah, di mana uang sekolah itu seharusnya untuk kesejahteraan guru dan perkembangan murid, malah disalah-gunakan untuk kepentingan segelintir orang. Saya tidak senang dengan kebijakan yang merugikan murid hanya demi kesenangan pribadi. Dan saya terpanggil untuk membenahinya. Itu saja. Semuanya demi kebaikan bersama, bukan demi diri saya sendiri. Saya tak peduli kepala sekolah mau berkuasa lebih lama lagi; asalkan yang benar.

Karena itu, saya merasa lucu jika Ibu Atikus mengatakan kalau saya iri hati. Satu hal lain yang perlu disadari adalah apa yang dilakukan oleh Ibu Atikus terhadap saya, itu juga yang dilakukannya kepada wakil-wakil kepala sekolah yang terdahulu. Saya pernah mendengar bagaimana ia menjelek-jelekkan wakil kepala sekolah sebelum saya. Pak Yodi dan Ibu Yosie. Tujuannya adalah menumbuhkan kebencian kepada yang dijelekkan dan membangkitkan simpati kepada kepala sekolah.

Rekanku, tetaplah setia pada kebenaran. Terus terang saya takut, kalau suatu saat kepala sekolah diganti, Ibu Atikus akan dikemanakan? Yang jelas, kalau mengikuti struktur baru yayasan, dia sama sekali tidak punya jabatan. Entah kenapa kepala sekolah masih mempertahankan dia. Padahal untuk itu, sekolah harus mengeluarkan uang untuk gajinya. Tanpa ada dia pun sebenarnya tidak ada gangguan. Sebenarnya tugas dia itu bisa ditangani oleh wakil kepala sekolah. Tapi persoalannya, apakah kepala sekolah mau dan siap berbagi peran? Karena selama ini, semua tugas-tugas ditangani sendiri oleh kepala sekolah. Single fighter. Serakah akan peran, sekalipun banyak tugas yang terbengkelai. Yang menanggung resikonya adalah murid.

Semoga, kalian tetap setia memperjuangkan kebenaran.

Salam,
Ibu Julia”
Bandung, 3 Des ‘13
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar