Orang sering
mengatakan bahwa kenyamanan adalah salah satu tanda kemapanan. Namun di pihak
lain kemapanan dan kenyamanan adalah ibarat dua sisi mata uang. Orang yang
mapan akan merasa nyaman; dan kenyamanan menjadi tanda orang merasa mapan.
Karena itu, tidak ada ruang bagi sesuatu yang baru dalam kemapanan. Orang yang
sudah mapan dan nyaman dengan kebiasaan lama akan menolak hal (kebiasaaan) yang
baru, sekalipun hal baru itu baik dan benar. Kebiasaan baru akan dilihat
sebagai perusak kemapanan dan kenyamanan.
Untuk lebih
jelasnya, kita akan melihat cerita berikut ini. Ini hanyalah sebuah cerita
rekayasa. Kesamaan nama, tokoh, ide, latar belakang dan lainnya hanyalah
kebetulan belaka. Karena itu, jangan lihat nama, tokoh, latar belakang dan
lainnya, melainkan lihatlah pesannya.
Pak Emanius
adalah kepala sekolah SMK Fatamorgana. Sudah satu dekade ia memimpin sekolah
itu. Ia mempunyai seorang asisten, namanya Atikus. Banyak orang bingung dengan
peran Atikus ini. Dikatakan bendahara sekolah juga bukan, karena sekolah sudah
punya dua orang bendahara. Tapi dia suka menyibukkan diri dengan urusan uang.
Dikatakan sekretaris sekolah juga bukan, karena sekolah sudah punya
sekretarisnya. Tapi, kalau mau tanya soal arsip-arsip sekolah atau hal-hal
berkaitan dengan administrasi sekolah, orang selalu bertanya kepada dia.
Sekalipun tidak jelas tugas dan perannya, setiap bulan ia menerima gaji.
Atikus
benar-benar memiliki kuasa yang besar, bahkan lebih besar dari wakil kepala sekolah.
Dia bisa saja mengatur guru-guru. Bahkan wakil kepala sekolah pun diaturnya.
Dia benar-benar tangan kanan kepala sekolah. Karena itu, ke mana saja kepala
sekolah pergi, dia pasti ikut. Entah sudah berapa kali dia ikut mendampingi
kepala sekolah pergi ke luar kota, malah ke luar negeri juga. Sekalipun
kepergian itu sama sekali tidak ada kaitan dengan tugasnya. Yah itu tadi, tugasnya memang tidak
jelas. Tapi dia digaji.
Selama satu
dekade memimpin sekolah itu, wakil kepala sekolah sudah berganti sebanyak empat
kali. Jabatan wakil kepala sekolah keempat diduduki oleh Pak Julius, yang terkenal
sebagai orang yang disiplin dan kritis. Namun kalah juga di hadapan Atikus,
karena dengan mudah dan seenaknya ia mengatur wakil kepala sekolah. Atikus
selalu berkelit bahwa ini perintah kepala sekolah. Tentulah tak ada yang berani
melawan pimpinan.
Pak Julius
adalah tipe orang yang agak perfeksionis. Ia selalu ingin memperbaiki
ketidak-beresan. Orang yang ingin memperbaiki ketidak-beresan, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah menemukan ketidak-beresan. Jika sudah dapat, maka tugas
selanjutnya adalah membereskannya. Inilah prinsip Pak Julius. Setiap ada
masalah, selalu ia segera menanganinya: mencari solusi dan menyelesaikannya.
Dia tidak mau menunda dan membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.
Karena itu,
sejak kedatangannya di sekolah itu, ia memperhatikan kehidupan sekolah. Dia
melihat ada begitu banyak ketidakberesan di sekolah, dimulai dari soal
aturan-aturan, kebijakan-kebijakan hingga masalah keuangan sekolah. Awalnya ia
menyampaikan masalah itu ke kepala sekolah, namun tidak ada reaksi. Maka dari
itu, di setiap rapat atau pertemuan, ia menyuarakan ketidakberesan itu.
Aksi Pak Julius
ini membuat banyak guru dan murid bingung. Mereka sudah terbiasa hidup “adem-tentrem”, menerima saja apa yang dikatakan
kepala sekolah. Karena itu, mereka sedikit merasa heran kenapa setiap kali
pertemuan, wakil kepala sekolah dan kepala sekolah selalu berseberangan atau
beda pendapat. Hal ini dilihat mereka sebagai sesuatu di luar kebiasaan.
Kepada beberapa
guru dan murid, Pak Julius menyampaikan pemikirannya soal ketidakberesan yang
terjadi di sekolah. Salah satunya soal keuangan. Dia merasa heran, kenapa soal
keuangan hanya diketahui oleh kepala sekolah dan Atikus. Kenapa ketika orang
lain ingin mengetahuinya selalu dihalangi? Kenapa kepala sekolah tidak mau
mengadakan transparansi keuangan? Padahal transparansi itu merupakan wujud
pertanggungjawaban kepada guru, murid dan orang tua murid. Harap diingat bahwa uang
sekolah itu berasal dari murid, dan dipergunakan untuk kesejahteraan guru dan perkembangan
murid.
Mereka
membenarkan pendapat Pak Julius. Mereka juga mengakui merasa aneh dengan kebiasaan
Atikus yang sering pergi mendampingi kepala sekolah ke luar kota, padahal itu
bukanlah tugasnya. Mereka bertanya duit transportasi itu dari mana? Hanya
mereka tidak mau menyampaikannya demi kebiasaan
“adem-tentrem” di sekolah. Dan mereka meminta agar Pak Julius juga
tenang-tenang saja – mengikuti kebiasaan
selama ini – tidak usah selalu sering beda pendapat dengan kepala sekolah.
Nanti akan menggangu kebiasaan
“adem-tentrem”.
Jelas, Pak Julius
tak setuju. Ia protes. Saya melihat adanya ketidak-benaran, maka saya
terpanggil untuk memperbaikinya supaya menjadi benar. Koq malah diajak bersekutu dengan ketidak-benaran, hanya demi
sebuah kebiasaan “adem-tentrem”?,
demikian ungkapnya. Ada penyalahgunaan wewenang; ada pemerasan terselubung; ada
korupsi, dan ketidak-benaran lainnya. Masak
dibiarkan saja?
Suatu hari, Pak Julius
menerima surat mutasi dari Ketua Yayasan Alibius. Ia ditarik ke yayasan untuk
tugas yang baru. Pak Julius menerima surat itu dengan tenang, meski dia sedikit
agak prihatin dengan nasib para guru dan murid. Siapa lagi yang akan
memperjuangkan nasib mereka, keluhnya. Maklum, soal keuangan yang sungguh
misterius di sekolah itu, bermakna bahwa murid dan guru diperas demi
kepentingan segelintir orang saja. Karena itu, sebelum berangkat, Pak Julius
sempat berdiskusi dengan beberapa orang guru dan murid hanya sekedar memberi
pencerahan.
Beberapa bulan
setelah kepergiannya, Pak Julius menerima email dari seorang guru, yang
bercerita bahwa Atikus mengatakan bahwa sikapnya yang selalu berseberangan
dengan kepala sekolah dulu merupakan cermin sikap iri hatinya. Pak Julius iri
hati karena tidak seperti kepala sekolah.
Membaca email
itu, Pak Julius hanya tersenyum saja. Dengan tenang ia membalas email itu,
katanya:
“Ini
hanya usaha untuk menutupi masalah utama, yaitu ketidakberesan di sekolah,
khususnya masalah keuangan. Saya dikatakan iri hari kepada kepala sekolah? Ahk,
lucu! Saya sendiri tidak punya ambisi untuk menjadi kepala sekolah. Saya juga
tidak punya ambisi untuk memiliki kekayaan dan kemewahan seperti kepala
sekolah, apalagi memperolehnya dengan cara tidak benar. Sama sekali saya tidak
punya hasrat untuk iri hati atau cemburu. Jadi, jelas sekali apa yang dikatakan
Atikus adalah usaha untuk menutupi masalah utama.
Bagi
saya, menjadi guru saja sudah hebat. Dan itulah panggilanku. Saya hanya tidak
tahan melihat ketidakberesan atau ketidak-benaran dalam sekolah. Saya tidak
suka kita memaksa murid untuk bayar uang sekolah, di mana uang sekolah itu
seharusnya untuk kesejahteraan guru dan perkembangan murid, malah
disalah-gunakan untuk kepentingan segelintir orang. Saya tidak senang dengan
kebijakan yang merugikan murid hanya demi kesenangan pribadi. Dan saya
terpanggil untuk membenahinya. Itu saja. Semuanya demi kebaikan bersama, bukan
demi diri saya sendiri. Saya tak peduli kepala sekolah mau berkuasa lebih lama
lagi; asalkan yang benar.
Karena
itu, saya merasa lucu jika Atikus mengatakan kalau saya iri hati. Satu hal lain
yang perlu disadari adalah apa yang dilakukan oleh Atikus terhadap saya, itu
juga yang dilakukannya kepada wakil-wakil kepala sekolah yang terdahulu. Saya
pernah mendengar bagaimana ia menjelek-jelekkan wakil kepala sekolah sebelum
saya. Pak Yodi dan Pak Yos. Tujuannya adalah menumbuhkan kebencian kepada yang
dijelekkan dan membangkitkan simpati kepada kepala sekolah.
Rekanku,
tetaplah setia pada kebenaran. Terus terang saya takut, kalau suatu saat kepala
sekolah diganti, Atikus akan dikemanakan? Yang jelas, kalau mengikuti struktur
baru yayasan, dia sama sekali tidak punya jabatan. Entah kenapa kepala sekolah
masih mempertahankan dia. Padahal untuk itu, sekolah harus mengeluarkan uang
untuk gajinya. Sementara sekolah masih butuh uang. Tanpa ada dia pun sebenarnya
tidak ada gangguan. Sebenarnya tugas dia itu bisa ditangani oleh wakil kepala
sekolah. Tapi persoalannya, apakah kepala sekolah mau dan siap berbagi peran?
Karena selama ini, semua tugas-tugas ditangani sendiri oleh kepala sekolah. Single fighter. Serakah akan peran, sekalipun banyak tugas yang terbengkelai. Yang
menanggung resikonya adalah murid.
Semoga,
kalian tetap setia memperjuangkan kebenaran.
Salam,
Pak
Julius”
Terlihat jelas
bahwa warga SMK Fatamorgana sudah merasa mapan; dan mereka merasa nyaman dengan
kemapanan itu. Karena itu, gebrakan baru yang dicanangkan Pak Julius dirasakan
sebagai pengganggu kenyamanan. Mereka menolaknya sekalipun mereka sadar dan
tahu bahwa apa yang dikatakan Pak Julius baik dan benar, bahkan mereka tahu
kalau ada yang buruk dalam kemapanan mereka. Kemapanan dan kenyamanan jarang
memberi ruang bagi suatu pembaharuan.
Jakarta, 5 April 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar