Jumat, 23 Mei 2014

Fitnah: Antara Kebenaran & Pembenaran

Tentu kita pernah dengar pepatah ini, “Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” Ini mengandaikan bahwa kita sering mendengar kata ‘fitnah’ itu. Tapi apakah kita sungguh tahu apa itu fitnah? Kriteria apa yang menyebabkan sesuatu itu menjadi fitnah atau bukan? Fitnah itu ibarat berada di antara kebenaran dan pembenaran.

Sebuah contoh. Yuni bercerita kalau si Toni itu membenci dirinya karena ia tidak mau membantu Toni. Padahal selama ini Yuni sering membantu Toni. Hanya waktu itu dia memang lagi tak bisa membantu Toni, karena dia harus pergi. Yang membuat Yuni sedih adalah bahwa Toni menceritakan kepada orang-orang kalau dirinya tidak berbudi. Toni menjelek-jelekkan dirinya. Sungguh sakit dikatakan demikian.

Melihat cerita di atas sekilas kita menilai bahwa Toni sudah memfitnah Yuni. Karena itu, wajar kalau kita membela Yuni dan menyalahkan Toni. Akan tetapi, ketika kita mengonfirmasi cerita Yuni ke Toni, maka kita akan menemukan cerita yang lain. Ternyata Toni tak pernah menjelek-jelekkan Yuni. Toni malah menantang, “Tunjukkan satu orang saja yang pernah saya ceritakan tentang kejelekan Yuni!” Dan ternyata memang tak ada satu orang pun yang pernah mendengar cerita kejelekan Yuni dari mulut Toni.

Jadi, siapa yang memfitnah siapa?

Cerita lain. Lusi bercerita kepada Martha kalau Joko pindah kelas karena wali kelas yang memindahkannya. Ini ia dengar sendiri. Waktu itu Joko bercerita kepada Ramli bahwa dirinya dipindahkan karena ide wali kelas. Memang aneh si Joko ini, demikian kata Lusi. Bisanya menjelek-jelekkan wali kelas. Padahal wali kelas sama sekali tidak ada niat memindahkannya. Lagi pula wali kelas kan tak punya kuasa untuk itu. Hanya Kepala Sekolah saja yang punya kuasa memindahkan murid.

Dari cerita di atas ada kesan bahwa Joko telah memfitnah wali kelas. Karena itu wajar kalau Martha lantas membela wali kelas dan membenci Joko. Lama kebencian itu bersemanyam dalam diri Martha, sampai suatu hari ia bertemu dengan Joko. Tanpa sadar ia menceritakan apa yang diceritakan Lusi kepadanya. Joko tidak lantas membela panjang lebar. Dia hanya menyarankan Martha untuk bertanya kepada Ramli apakah dirinya pernah bercerita bahwa kepindahannya itu karena wali kelas.

Keesokan harinya Martha bertemu dengan Ramli. Dia langsung bertanya apakah dirinya pernah ngobrol dengan Joko perihal kepindahannya. Ramli hanya berkata bahwa dirinya sering bertemu dengan Joko. Sering juga ngobrol. Tapi bercerita soal kepindahannya yang dikaitkan dengan wali kelas, sama sekali tidak pernah. Joko hanya cerita soal kebingungan akan kepindahan dirinya, karena dirinya punya banyak rencana untuk kelas itu. Karena ia pindah, ia tak dapat lagi mewujudkan mimpinya untuk kelas itu.

Nah, siapa yang memfitnah siapa?

Dari dua cerita di atas dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa fitnah itu berada di antara kebenaran dan pembenaran. Ia bisa menjadi terlihat sebagai suatu kebenaran, tapi bisa juga sebagai pembenaran. Namun semuanya itu hanyalah semu. Dalam cerita pertama awalnya kita melihat kebenaran ada pada Yuni; dan dalam cerita kedua ada pada Lusi. Akhirnya, baik Yuni maupun Lusi adalah yang salah. Justru merekalah yang penyebar fitnah. Kebenaran awal mereka bukanlah kebenaran yang sebenarnya, melainkan sebuah pembenaran. Pembenaran itu bukanlah sebuah kebenaran, tetapi seolah-olah kebenaran.

Kenapa akhirnya fitnah itu berpindah? Kenapa akhirnya pembenaran itu diketahui bukanlah sebuah kebenaran, melainkan sebuah fitnah. Ini bisa terjadi jika ada cross check atau konfirmasi. Tanpa konfirmasi pembenaran tetap menjadi kebenaran. Konfirmasi akan membuka selubung fitnah sehingga kita dapat mengetahui kebenaran. Seperti cerita di atas. Dengan mengonfirmasikan cerita Yuni ke Toni, kita akhirnya tahu kebenaran. Karena Martha mengonfirmasi cerita Lusi ke Joko, yang kemudian diteruskan kepada Ramli, Martha akhirnya tahu kebenaran.

Satu kesimpulan yang dapat ditarik di sini adalah, jangan mudah percaya begitu saja pada omongan orang. Sekalipun orang itu menarik dan terkesan baik serta punya jabatan religius, omongannya jangan ditelan begitu saja tanpa adanya konfirmasi; apalagi bila omongan itu berbau fitnah. Jangan sampai kita termakan oleh omongannya sehingga kita pun terlibat dalam pemvonisan orang lain yang mungkin sebenarnya tidak bersalah.
Jakarta, 22 Nov 2013
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar