Sekitar awal Oktober lalu rakyat Indonesia sempat
dibingungkan dengan pernyataan dua “presiden”; yang satunya mantan dan satunya
lain masih aktif. Mereka adalah mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, yang
saat ini terjerat kasus korupsi daging sapi impor, dan Presiden RI, Susilo
Bambang Yudhoyono. Pusat permasalahan mereka adalah BUNDA PUTRI. Mantan
Presiden PKS itu berkata bahwa Bunda Putri itu orang dekatnya SBY. Sementara Presiden
SBY menyangkal dengan mengatakan bahwa Luthfi bohong.
Tentulah rakyat Indonesia bingung untuk menentukan siapa yang
benar dan siapa yang bohong. Masing-masing pihak mengemukakan argumennya untuk
menyatakan bahwa dirinya yang benar. (lebih lanjut masalah ini, lihat
tulisan saya di sini). Rakyat berada di antara dua
kebenaran.
Di antara kita pasti pernah mengalami situasi di atas. Tak jarang
kita dihadapkan pada dua kebenaran sehingga kita sulit untuk menentukan
pilihan. Apalagi kebenaran itu bukan saja didasarkan pada argumen-argumen
verbal tetapi mengikutsertakan status jabatan. Misalnya, jika seseorang itu
pastor atau ustadz, tentulah sulit bagi kita untuk mengatakannya berbohong. Kita
dengan mudah mengatakan dialah yang benar, tanpa lagi menelaah argumennya.
Sebuah contoh kasus. Ada sebuah sekolah baru selesai
pembangunan gedung aula. Kepala sekolahnya seorang imam. Gedung aula sudah
selesai, tapi panitia belum juga dibubarkan. Ada konflik antara panitia di satu
pihak dan pemborong (plus kepala sekolah) di pihak lain.
Kepala sekolah yang mempunyai kewenangan tidak mau
membubarkan panitia karena ada kecurigaan penyalahgunaan dana, alias korupsi. Mungkin
kepala sekolah ini mendapat masukan dari pemborong. Ia mengatakan bahwa ada
banyak sumbangan yang tidak dia ketahui; juga soal pengadaan AC.
Sementara panitia pun tak mau tinggal diam. Mereka juga balik
menuduh pemborong yang menyalahgunakan dana. Karena rasa hormatnya kepada
imamat kepala sekolah, mereka tidak mau menyinggung kepala sekolah. Mereka mengatakan
bahwa ada banyak material bangunan tidak sesuai dengan kesepakatan. Pemborong mengubahnya
tanpa sepengetahuan panitia.
Ada banyak argumen lain dilontarkan. Intinya, tiap-tiap pihak
menyatakan dirinya benar dan pihak lain salah. Para guru terbagi dua kubu. Murid-murid
pun terbelah dua. Yang tidak memihak akhirnya terhimpit di antara dua
kebenaran.
Bagaimana menyikapi hal ini? Awalnya saya membela sang kepala
sekolah. Terus terang saja, pembelaan awal saya waktu itu semata-mata karena
jabatannya: kepala sekolah dan imam.
Saya berpikir bahwa kepala sekolah merupakan sosok mulia dan tak mungkinlah
seorang imam berbohong.
Namun dalam perjalanan waktu pembelaan saya mulai bergeser. Saya
coba menelaah argumen-argumen yang mereka lontarkan. Ada satu argumen menarik
yang membuka pikiran sempit saya: audit. Saya mendengar dari pihak
panitia bahwa jika memang ada kecurigaan korupsi, silahkan saja diaudit. Ini disuarakan
oleh panitia dan mereka siap untuk itu. Yang menjadi persoalannya, kepala
sekolah menolak audit tanpa memberikan alasan yang jelas.
Selama saya menelaah argumen-argumen kedua belah pihak, saya
menemukan bahwa hanya dari pihak panitia yang memberikan solusi untuk mencari
kebenaran, yaitu audit. Sementara dari pihak kepala sekolah sama sekali tidak
ada. Ia hanya bertahan pada tuduhan-tuduhan tanpa bukti.
Nah, kenapa kepala sekolah tidak mau diadakan audit, jika
memang dengan cara itu akan didapatkan kebenaran? Dugaan saya adalah kepala
sekolah takut kebenaran yang sebenarnya akan terungkap.
Lebih aneh lagi, ketika diminta menghadirkan
pemborong untuk pertemuan segitiga dengan pengurus yayasan selalu tak pernah terwujud. Kepala sekolah selalu punya 1001 alasan untuk menghindar. Kenapa kepala
sekolah terkesan tidak mau mengadirkan pemborong itu? Ada dugaan bahwa kepala
sekolah ada main dengan sang pemborong. Artinya, pemborong sudah menyalahgunakan
dana anggaran pembangunan dan kepala sekolah turut menikmatinya.
Memang semua ini masih dugaan. Patut diduga bahwa kepala
sekolah menikmati penyalahgunaan dana yang dilakukan pemborong. Patut diduga
bahwa kepala sekolah-lah yang korupsi. Semuanya dugaan, yang masih harus
dibuktikan. Salah satu pembuktiannya adalah dengan audit. Persoalannya, kepala
sekolah menolak.
Akan tetapi, dengan dugaan ini, kita tidak lagi berada di
antara dua kebenaran yang membuat kita hidup dalam kebingungan. Kita hidup
dengan “kebenaran” kita yang memang masih harus dibuktikan. Namun setidak-tidaknya
kita sudah mempunyai pegangan.
Kesimpulan dari kisah ini adalah hidup dalam dua kebenaran
akan membuat kita bingung. Kita dapat menyitir dari pernyataan Yesus, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua
tuan.” (Mat 6: 24). Jangan terbuai oleh status, pangkat dan jabatan. Kita harus
menelaah argumen-argumen dua kebenaran sampai akhirnya kita menemukan satu
kebenaran. Sekalipun kebenaran yang kita dapat belum teruji, namun kita sudah
memiliki satu pegangan.
Jakarta, 25 Nov 2013
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar