Sabtu, 17 Mei 2014

Tiga Cerita, Satu Pertanyaan

Keprihatinan adalah ungkapan manusiawi. Setiap orang tentu pernah mengalami atau merasakan prihatin. Keprihatian selalu lahir dari situasi yang tidak baik atau keadaan yang rusak. Para nabi Perjanjian Lama dipanggil Tuhan untuk menyuarakan keprihatinan Allah atas situasi bangsa Israel yang tidak benar di mata Allah. Misalnya, penyimpangan hidup moral, sosial dan agama.

Keprihatinan merupakan ungkapan suara hati yang tertekan. Orang yang masih memiliki suara hati akan cepat merasa prihatin ketika melihat ketidakberesan situasi yang ada. Misalnya, ketika melihat kelaparan di negeri seberang, orang yang memiliki suara hati akan segera tersentuh hatinya. Berbeda dengan mereka yang tidak memiliki suara hati. Ketidakpedulian merupakan wujudnya. Misalnya, sekalipun jutaan rakyat hidup menderita, para pejabat tenang-tenang saja mencuri uang rakyat atas nama rakyat.

Keprihatinan memang bersifat individual. Sayalah yang merasakan keprihatinan tersebut. Akan tetapi keprihatinan ini dapat dijadikan sebagai keprihatinan bersama. Dengan berbagi maka orang lain pun dapat merasakan keprihatinan saya. Inipun mengandaikan orang yang mendengar keprihatinan saya masih memiliki hati nurani. Ada satu pengharapan agar keprihatinan yang menjadi milik bersama dapat melahirkan gerak bersama untuk satu perubahan.

Inilah yang melandasi tulisan ini yang terdiri dari tiga cerita. Sekalipun tidak berhubungan satu sama lain, namun memiliki keterkaitan. Ada satu poin yang merangkum tiga cerita ini. Silahkan Anda merangkai dan menemukan kaitan ketiga cerita ini.

BERAWAL DARI CERITAKU
Untuk memenuhi salah satu amanat sinode (lihat MGP no. 307), dibentuklah Tim Pendamping OMK (TPO) yang beranggota 12 orang. Memang untuk kriteria seperti yang digambarkan dalam buku sinode adalah sulit. Karena itu, pilihan didasarkan pada KEMAUAN dan potensi yang dimiliki tiap anggota. Namun belum ada tiga bulan keberadaan tim ini salah seorang anggota tim mengundurkan diri. Alasan mundur adalah faktor kesibukan.

Namun, selang beberapa bulan kemudian, mantan anggota TPO ini membentuk sebuah komunitas untuk karya pastoral parokial. Spontan muncul pertanyaan, bukankah kesibukan yang diungkap dalam surat pengunduran diri masih melekat pada dirinya. Koq masih bisa menyibukkan diri lagi dengan komunitas baru. Apakah ketika di TPO terasa sibuk, sedangkan di komunitas barunya itu tidak? Aneh.

Kebingungan semakin bertambah ketika mendengar bahwa komunitas baru tersebut dikatakan sesuai dengan amanat buku sinode. Setelah dicari-cari dalam buku sinode, tidak ditemukan pendasaran untuk komunitas ini. Aneh. Seperti ada agenda terselubung. Lebih anehnya lagi Pastor Kepala Paroki tenang-tenang saja, sebagai ungkapan setuju.

CERITA ORANG BIMAS (DEPAG)
Ada pertemuan informal dengan orang pebimas Departemen Agama (Depag) di pastoran Tiban. Tujuan pertemuan ini adalah untuk mencari tahu peluang mendapatkan dana bantuan untuk kegiatan temu imam Basepta (Bawah Sepuluh Tahun) Keuskupan Pangkalpinang di Paroki Ujung Beting pada bulan Februari tahun depan. Ketika mendengar rencana kegiatan, wajah pegawai Depag ini langsung ceria sumringah, namun segera redup saat mendengar kata Ujung Beting.

“Kalau dibuat di Batam bisa saja, Romo. Kebetulan program [/proyek] saya tahun 2013-2014 masih tinggal satu lagi. Jadi bisa pakai saya punya. Tapi itu pun hanya untuk satu hari dan panitianya dari saya.” Demikian penjelasannya.

Mendengar ceritanya ini, muncul memori kegiatan OMK yang diadakan di TK Immanuel, Sei Bati pada 21 April 2012. Sepertinya kegiatan tersebut bukan murni dari Gereja/Paroki, melainkan dari Depag atau kerjasama Depag dan oknum Gereja/Paroki. Pada waktu itu, bahkan para pesertanya pun mendapatkan “uang duduk”. Tentu menggoda.

Dari obrolan itu, akhirnya diketahui bahwa orang-orang di Depag sering membuat program/proyek pembinaan rohani. Membuat program/proyek itu sama artinya membuat proposal. Dan proposal itu identik dengan uang. Tiap orang dapat membuat lebih dari satu program. Jika programnya disetujui maka itu merupakan keuntungannya, karena selain mendapat uang dari gaji tetapnya, ia juga menerima uang dari proyeknya. Ia bisa bermain sendiri dengan tetap mendapat persetujuan dari pimpinan Gereja setempat (pastor paroki), atau bekerja sama dengan “orang kepercayaan” di Gereja lokal. Karena itulah, ada banyak orang selalu membina relasi baik dengan pastor paroki (istilahnya: orang dekat).

Misalnya, A bekerja di Depag. A punya kenalan B di Paroki X. Si B dekat dengan pastor paroki sehingga dengan mudah buat proyek rohani. Soal uang B tinggal menghubungi A. Maka dengan mudah dana cair. Di sinilah terjadi proses bagi-bagi duit.

BERAKHIR DI CERITA SAHABAT
Dalam sebuah obrolan, Rm. Yudhi mengungkapkan beberapa keprihatinan atas Gereja. Ada dua cerita Rm. Yudhi yang menarik untuk di-sharing-kan di sini. Pertama, di sebuah paroki (di wilayah Selatan keuskupan ini) ada umat rajin membuat proposal untuk kegiatan gerejawi. Proposal diajukan ke Depag, karena sejalan dengan kegiatannya. Namun sayang, proposal itu selalu ditolak, karena proposal tersebut tidak ditandatangani oleh pastor paroki sebagai pejabat resmi Gereja.

Ketika mendengar cerita ini, saya langsung berkata bahwa untung orang Depag yang menolak itu baik. Bagaimana jika orang Depag itu sudah berkonspirasi dengan umat yang membuat proposal tadi (seperti contoh di atas)? Selain itu perlu juga dipertanyakan kenapa ia tidak mau minta tanda tangan pastor paroki? Apakah ia takut diketahui niat buruknya atau ia tidak rela jatahnya berkurang karena harus berbagi dengan pastor paroki?

Kedua, di sebuah paroki lain lagi (masih di wilayah yang sama) ada umat yang bekerja di Depag kerapkali membuat kegiatan gerejawi. Semua kegiatan tersebut dia sendiri yang menanganinya. Mendengar cerita tersebut, otak saya langsung berkata bahwa orang itu membuat dan mendapat proyek yang banyak sehingga bisa melakukan banyak kegiatan gerejawi.
--o0o--
Demikianlah tiga buah cerita. Tentulah dapat dikatakan bahwa ketika membuat proposal kegiatan gerejawi itu, dokumen Gereja dan tujuan mulia dikemukakan sebagai pendasaran kegiatan tersebut. Tak peduli soal kebenaran dokumen Gereja tersebut. Tak peduli juga soal kebenaran tujuan mulia itu. Mungkin ada yang mengatakan bahwa saya anti kegiatan gerejawi. TIDAK! Saya tidak menolak kegiatan-kegiatan gerejawi. Namun dari semua ini ada satu pertanyaan mendasar saya:

APAKAH KEGIATAN-KEGIATAN GEREJAWI ITU 
DEMI PENGEMBANGAN GEREJA
ATAU 
DEMI KEPENTINGAN PRIBADI?
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar