DOA SI TONI KECIL
Toni sedang mengerjakan
PR Matematika bersama ibunya di ruang keluarga saat Stefanus Rachmat Hadi
Purnomo masuk sambil mendesah. Antonius Padua Hadi Purnomo, yang dipanggil
Toni, adalah siswa SD St. Fransiskus Asisi kelas satu. Toni dan ibunya, Monika
Fitria Handayani, segera menghentikan aktivitas mereka sementara. Lirikan mata
ibu dan anak itu mengikuti langkah kaki Stefanus hingga di sofa. Persis di
depan mereka.
Stefanus menghempaskan
tubuhnya di sofa itu sambil meletakkan map berkas di atas meja, di samping lembaran
tugas Toni. Ia merentangkan kedua tangannya di bahu sofa sambil menerawang
langit-langit rumah, tak peduli pada empat mata yang sedari tadi mengawasinya.
“Ada apa sih, Pa? Gagal
lagi, ya?” Monika mencoba memecah kebekuan.
“Yah…,” jawab Stefanus
singkat sambil mendesah. “Kami tak tahu apa sih maunya mereka. Semua tuntutan
dalam SKB sudah dipenuhi, eh malah
dicurigai ada pemalsuan tandatanganlah, permainan uanglah, inilah, itulah.” Stefanus
terus merocos menumpahkan unek-unek kekesalannya atas penolakan izin
pembangunan gedung gereja di parokinya.
Penolakan itu bukan
baru terjadi satu atau dua kali saja, melainkan sudah berkali-kali. Sudah enam
tahun panitia pembangunan berjuang untuk mendapatkan IMB, namun yang didapat
hanyalah penolakan.
Gedung gereja Paroki
St. Yohanes Paulus II merupakan gedung lama, ketika masih berstatus stasi dari
Paroki Kristus Raja Semesta Alam. Sejak pemekaran, terjadi peningkatan jumlah
umat. Gedung lama, yang bisa menampung 1500 orang, dirasakan sudah tidak memadai
lagi, baik dari segi daya tampung maupun dari segi kondisi bangunan. Di
beberapa bagian dari gedung sudah terlihat rusak. Dengan dasar pertimbangan
inilah akhirnya Dewan Pastoral Paroki memutuskan untuk membangun gedung gereja
yang baru.
Memang sedari awal
pembentukan panitia, Pastor Paroki sudah memperingati bahwa mereka bakal
menghadapi tantangan berupa penolakan. Mereka juga berpikir begitu. Namun semua
mereka tidak menyangka penolakan akan berlangsung lama.
Dasar pertimbangan
mereka adalah relasi Gereja dengan umat non katolik di sekitarnya amat sangat
baik. Sering terjadi kegiatan lintas agama. Karena itulah, umumnya mereka
memperkirakan sekitar satu atau dua tahun IMB pasti keluar. Akan tetapi semua
perkiraaan itu buyar sama sekali. Kini sudah enam tahun. Dan IMB belum juga
muncul. Bukan cuma dari pemerintah, tetapi juga warga, yang notabene berasal dari luar.
***
Toni yang diliputi
kebingungan terus memperhatikan gerak bibir papanya. Sesekali ia melirik ke mamanya,
menunggu reaksi dari sang bunda. “Sebenarnya bukan cuma penolakan saja,
melainkan juga dipermainkan. Yah, kami dipermainkan,” ujar Stefanus. “Setelah
tuntutan kita penuhi, mereka minta ini. Setelah selesai, mereka minta itu, lalu
minta lain lagi. Pokoknya, selalu saja ada tuntutan lain yang musti dipenuhi
setiap kali kita sudah memenuhinya. Tampak jelas mereka hanya mencari-cari
alasan.” Monika membantu Toni merapikan buku-buku tugasnya. Ia memberi kode
kepada anak semata wayangnya bahwa tugas akan dilanjutkan besok.
“Sekarang mereka
pimpong kami dari satu instansi ke instansi lain. Tapi tak juga
selesai-selesai. Sepertinya urusan perizinan ini ibarat jalan tanpa ujung,”
kata Stefanus.
“Mungkin masih ada
urusan yang belum selesai,” sambung Monika. Toni segera memalingan tatapannya
kepada mamanya. Monika membalasnya dengan senyuman.
“Ya mbok diberitahu toh. Apa yang kurang, mana yang harus dilengkapi, di mana letak
masalahnya. Dengan demikian kami bisa segera mengurusnya.”
Diam membisu. Detak jam
di dinding mengisi kebisuan. Jam menunjukkan pukul 19.14. Toni kembali dari
kamarnya. Ia duduk bersandar di samping mamanya. Sambil duduk, Toni menatap
papanya yang masih tiduran di sofa.
“Padahal, jika mereka
mau mendirikan rumah ibadah, begitu mudah. Harusnya mereka sadar diri. Ada
begitu banyak rumah ibadah mereka yang tak ada izin. Tapi koq gak dipermasalahkan? Gak pernah diobok-obok. Gak pernah disegel atau dibongkar paksa,”
kata Stefanus lagi
“Maklumlah Pa, mereka
kan mayoritas,” balas Monika.
Monika membisikkan ke
telinga Toni untuk mengambil cangkir minuman papanya. “Di bagian mana ada yang
mengatakan bahwa mayoritas mendapat perlakukan istimewa? Toh negara ini bukan berdasarkan salah satu agama. Ini bukan negara
agama. Dan seandainya pun kita dapat membangun gereja semudah mereka membangun
rumah ibadahnya, bukan lantas berarti kita mendapat keistimewaan. Tidak. Kita
hanya mengharapkan perlakukan yang sama. Itu saja.” Monika mengambil cangkir
yang disodorkan Toni dan menyerahkan kepada suaminya. “Minum dulu, Pa. Biar
adem.” Monika tersenyum sambil melirik putranya. Toni membalas dengan senyuman.
“Yah, inilah nasib menjadi murid Yesus,” ujar Stefanus setelah
menegak minumannya.
“Menjadi murid Kristus
kita harus memikul salib, ditolak dan dihina.”
“Karena itu, Papa gak usah sedih dan gusar. Tuhan Yesus
sudah berkata ‘Berbahagialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.’
Papa ingat kan kotbah Romo Agus
minggu kemarin. Sabda Yesus masih relevan hingga kini. Masih saja ada orang
kristen yang mendapat perlakukan tak adil dan tak manusiawi hanya karena ia
kristen.”
“Papa bukannya sedih.
Cuma heran. Koq ada sekelompok ormas
yang berdasarkan agama, melakukan penolakan atas dasar agama. Mau mendirikan
gereja ditentang. Berdoa di rumah diserang. Bukankah agama seharusnya
menawarkan nilai-nilai kasih, toleransi, hormat dan kebaikan?”
“Udahlah Pa, tak perlu
diomongin.” Monika memotong pembicaraan suaminya. “Tak baik jelek-jelekin orang
lain. Ingat kata Romo Agus: bawakan dalam doa.” Ia segera berdiri dan mengajak
Toni, yang berbaring di kakinya, ikut berdiri.
“Toni uda ngantuk?” ujar
Stefanus sambil melihat anaknya. Toni mengangguk sambil berjalan menuju
papanya. Stefanus kemudian merangkulnya, membopongnya di pangkuan. “Toni jangan
benci teman-temannya Muslim ya? Ingat, Tuhan Yesus menasehati kita untuk
mengasihi mereka yang memusuhi dan membenci kita serta mendoakan mereka.
Termasuk mereka yang menentang berdirinya gereja kita.”
Kembali Toni
mengangguk. Stefanus kemudian memberi kecupan dan dengan ibu jarinya ia membuat
tanda salib kecil di dahi Toni. Toni kemudian berjalan menuju ke kamar.
Di dalam kamar, Toni
tidak langsung ke ranjangnya. Ia mampir sebentar ke meja kecil di sudut kamar.
Di sana ada patung Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Toni membuat tanda salib,
melipat tangan dan berdoa. “Tuhan Yesus. Hari ini papa sedang gusar karena izin
pembangunan gereja belum kelar juga. Kami belum bisa membangun rumah-Mu. Tapi
kami tetap bisa berdoa kepada-Mu.
“Tuhan Yesus, bisa gak Tuhan bantu papa agar izin
pembangunan gereja keluar? Kalau nanti Tuhan ketemu Tuhannya Umar, cobalalah
Tuhan bicarakan masalah pembangunan gereja ini. Siapa tahu mereka yang selama
ini menentang akhirnya dapat berbaik hati.
“Udah dulu ya. Toni mau
bobo. Jaga Toni, mama dan papa. Bunda, lindungilah kami. Amin.”
Toni menuju ke
ranjangnya dan tidur.
Jakarta, 21 Juni
2014
Ini redaksi versi Majalah HIDUP, no 30, Thn ke 68,
27 Juli 2014
Baca
juga artikel lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar