BERIMAN DALAM KESULITAN DAN TEKANAN
Iman Kristen bisa
dipicu oleh banyak hal. Ini bisa terjadi akibat pengalaman traumatis atau yang
mencerahkan, atau keinginan untuk mengatasi situasi sulit termasuk stres. Di
kalangan anak muda Korea, kehidupan yang stres dalam sebuah masyarakat urban
yang banyak persaingan, maju secara teknologi, iman tampaknya menjadi
pendorong yang kuat. Banyak kaum muda kemudian melakukan permenungan
dan menemukan koneksi dengan komunitas Gereja dan memilihnya sebagai
tujuan hidup mereka.
Rena (nama Korea-nya:
You Jung-sing) berusia 22 tahun dan dibaptis empat tahun lalu setelah mengalami
stres akut yang ia alami dalam mempersiapkan ujian di sekolah menengah. Ujian
di sekolah menengah adalah salah satu sumber utama stres bagi kaum muda Korea.
Mempersiapkan ujian mungkin adalah saat yang paling penting bagi remaja. Hampir
75 persen siswa mengikuti les privat dalam persiapan untuk ujian. Tak seorang
pun ingin tertinggal dan berlomba untuk mendapatkan nilai yang baik agar bisa
masuk universitas.
“Saya dibaptis pada
malam Paskah,” katanya. ”Saya dididikan di sebuah sekolah Katolik sebelum
masuk Jesuit University of Sogang.”
“Saya dibaptis
ketika saya mengalami stres berat akibat belajar KSAT (Korea Scholastic
Aptitude Test). Aku sakit pada saat itu karena terlalu banyak waktu yang
dihabiskan membaca buku-buku,” jelasnya.
Bagi Rena, masalah
tersebut muncul ketika ibunya yang memberikan tekanan luar biasa saat ujian
akhir, yang menjadi sebuah fenomena di Korea. Seorang guru bahasa Inggris
di Seoul baru-baru ini menanyakan murid-muridnya, semua berusia 16 tahun, siapa
yang paling menakutkan mereka. Sejauh ini jawaban yang paling umum adalah: “ibuku!“
Orang tua di Korea memiliki harapan tinggi atas prestasi akademis anak-anak
mereka.
Hasil baik yang
diharapkan bukan hanya memberikan kebanggaan keluarga, tapi juga gengsi dengan
teman-teman dan tetangga. Ada juga harapan bahwa dengan mendapatkan nilai yang
baik, anak-anak akan menemukan pekerjaan yang baik yang menyediakan dukungan
keuangan bagi orang tua di usia tua mereka. Hingga hari ini, cara itu adalah
lazim bahwa gaji pertama anak-anak akan diserahkan langsung kepada orang tua
sebagai tanda terima kasih.
Di Korea, kata
Rena, “jika Anda tidak melakukannya dengan baik saat tes, Anda tidak bisa masuk
perguruan tinggi terkemuka, Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan yang baik,
dan mungkin tidak mau dinikahi karena status sosial Anda yang rendah.” Rena
mengatakan dia selalu memiliki opini yang baik tentang Katolik. “Ibuku sudah
masuk Katolik, ia dibaptis lima tahun lalu. Tapi, ayahku adalah seorang ateis.
Ia adalah seorang peneliti di universitas. Saya secara pribadi memiliki kesan
yang baik tentang umat Katolik, terutama aku pernah mendengar cerita tentang
Paus Yohanes Paulus II, yang datang ke Korea dua kali.”
Pertumbuhan jumlah
umat Protestan di Korea terjadi setelah Perang Korea ketika Gereja terlibat
dalam menangani masyarakat yang dilanda perang selama beberapa dekade. Kristen
Protestan memulihkan trauma psikologis, spiritual dan material yang diderita
selama puluhan tahun konflik dan penjajahan. Sementara itu Gereja Katolik
berperan kuat dalam menentang Jepang dan dua diktator Korea dari awal tahun
1960-an sampai akhir 1980-an, dan jumlah umat Katolik mengalami pertumbuhan
tajam setelah dua kunjungan Paus Yohanes Paulus II tahun 1980.
“Saya belum lahir,
tapi saya telah mendengar banyak cerita tentang Paus Yohanes Paulus II,” ujar
Rena. “Saya melihat gambar di TV. Aku pernah membaca sebuah artikel dimana
mereka berbicara tentang permintaan maaf resmi kepada setiap kelompok yang
telah menderita atas kesalahan yang dilakukan oleh Gereja di masa lalu, seperti
Yahudi, Muslim … ini yang membuat saya sangat terkesan. Saya berpikir bahwa ini
benar-benar gerakan luar biasa untuk membangun rekonsiliasi agama.”
“Ada teman-teman
saya yang beragama Katolik menghabiskan waktu mereka menjadi relawan, yang
tidak lazim untuk anak laki-laki seusia saya. Bahkan aku mendapat inspirasi
dari mereka untuk mengikuti jalan iman yang sama. Sekarang seperti mereka, saya
juga menjadi relawan mengajar anak-anak miskin,” tambah Rena.
sumber: UCAN Indonesia
edited
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar