Salah satu berita hangat beberapa hari lalu adalah penundaan
seragam jilbab untuk para polisi wanita. Penundaan itu langsung dari Kapolri
sendiri, Jenderal Sutarman, dan ada alasan yang logis. Akan tetapi reaksi yang
muncul adalah negatif. Banyak pihak seakan tidak mau mendengarkan alasan dari
pihak Polri dan hanya memaksakan kehendaknya sendiri.
Dari sekian banyak reaksi itu, ada dua lembaga yang cukup
menarik dicermati reaksinya. Kedua lembaga itu adalah Komnasham dan MUI. Kita tahu
bahwa Komnasham adalah lembaga yang sibuk mengurusi hak-hak asasi manusia. Kebetulan
soal jilbab polwan ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Jenderal Sutarman, merupakan
hak dan bukan kewajiban, maka tidak salah kalau Komnasham turut meramaikan dengan
reaksi terhadap penundaan itu. Mereka mendesak Kapolri untuk tidak menunda lagi
dan segera dilaksanakan.
Di satu sisi kita salut dengan Komnasham. Mereka sungguh
memperhatikan hak-hak polwan. Namun, apakah jilbab itu masuk kategori asasi? Masih
banyak masalah hak-hak manusia yang paling asasi, tapi seakan tidak kedengaran
gaung reaksi Komnasham. Ada banyak saudara-saudara umat kristen yang terpasung
haknya untuk mendirikan rumah ibadah. Tak terdengar gaung reaksi Komnasham akan
nasib pengungsi Syiah, Ahmadiyah dan juga pengungsi eks Timor Timur. Artinya,
masih ada persoalan hak manusia yang jauh lebih asasi ketimbang urusan “mode”
jilbab.
Menarik juga kalau dicermati reaksi dari MUI. Salah satu
pengurus MUI mengatakan bahwa jilbab merupakan kewajiban seorang muslimah. Mereka
hanya memperhatikan kepentingan mereka saja, tanpa memperhatikan kepentingan
Polri berkaitan dengan penundaan itu. MUI seakan tidak sadar kalau para polwan
itu berada di institusi yang selalu menegakkan “seragam”. Dan pada titik inilah
yang dijadikan alasan penundaan. Tapi MUI tidak memperhatikan hal itu dan terus
mendesak Kapolri untuk segera menerapkan aturan itu. Di sini seakan muncul
kesan, “karena kami mayoritas, kami dapat memaksakan kehendak kami.” Aneh!
Harus disadari bahwa Polri tidak melarang penggunaan jilbab
bagi polwan yang beragama islam (seharusnya MUI bangga). Artinya, Polri sudah
memperhatikan kepentingan umat islam. Polri sudah mengerti tuntutan agama
islam. Akan tetapi, Polri juga sadar diri bahwa mereka selalu menekankan
keseragaman. Dan kenapa MUI tidak bisa mengerti Polri? Kenapa MUI tidak mau
memperhatikan kepentingan Polri? Bukankah kita hidup itu harus saling mengerti
satu sama lain, saling menghargai dan saling lainnya?
Namun, satu keanehan lain dari jilbab ini adalah salah satu
alasan penundaan itu, yaitu anggaran. Dikatakan bahwa jilbab polwan tidak bisa
diterapkan tahun ini atau tahun 2014, karena belum dianggarkan. Diperkirakan,
baru tahun 2015 para polisi muslimah ini dapat mewujudkan mimpinya mengenakan
jilbab dalam menjalankan tugas. Ini berarti, pada tahun 2014 nanti akan
dianggarkan. Dan anggaran ini pun tentulah harus menunggu persetujuan DPR. Kalau
berbicara soal anggaran, maka itu berarti diambil dari uang negara; dan uang
negara itu berarti juga uang rakyat.
Menjadi keanehan, kenapa untuk mewujudkan kewajiban individu
polisi muslimah harus memakai anggaran negara, yang adalah uang rakyat? Kalau uang
rakyat itu nantinya untuk jilbab polwan muslimah, bagaimana nanti dengan polwan
yang beragama hindu, budha dan yang kristen? Dengan turunnya anggaran uang
negara untuk pengadaan jilbab, berarti polwan muslimah akan makan uang rakyat,
sementara yang lain hanya gigit jari. Ataukah polwan yang lain juga akan
menuntut pengadaan sesuatu berkaitan dengan agamanya, sehingga semua polwan ini
sama-sama makan uang rakyat? Mungkinkah Komnasham akan juga mau memperhatikan hak
polwan yang non muslim ini?
MUI sudah mengatakan bahwa dalam agama islam jilbab itu
merupakan kewajiban. Yang namanya kewajiban itu selalu terikat pada individu. Yang
melaksanakan kewajiban itu adalah individu yang bersangkutan, bukan pihak luar.
Jadi, jika jilbab itu merupakan kewajiban wanita muslim, maka wanita muslim
itulah yang harus melaksanakannya. Polri hanya memberikan ketentuan demi
seragamnya saja. Keseragaman itu bukan hanya soal warna saja, melainkan juga
soal model dan biayanya. Kita dapat meniru dunia pendidikan. Para siswa
diwajibkan memakai seragam. Yang perlu diperhatikan adalah agar baju seragam
itu tidak terkesan mahal dan mencolok sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Oleh karena itu, jilbab polwan tidak perlu dianggarkan. Tidak
perlu memakai uang rakyat. Uang rakyat dapat dipakai untuk keperluan umum yang
jauh lebih penting daripada urusan pribadi-pribadi tertentu. Karena merupakan
kewajiban bagi polwan muslimah, maka yang bersangkutanlah yang membiayai jilbab
itu.
Jakarta, 7 Des 2013
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar