Rabu, 18 Desember 2013

Menyikapi Fatwa Haram Ucap Salam Natal

MEMAHAMI ADALAH KUNCI AWAL MENGHARGAI
Setiap pemeluk agama di muka bumi ini tentulah mempunyai hari-hari istimewa keagamaan. Umat muslim memiliki Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Umat Hindu ada Hari Raya Nyepi dan Galungan. Hari Raya Waisak merupakan hari istimewa bagi umat Buddha. Orang Kristen punya Hari Raya Natal dan Paskah. Konghucu atau etnis Tionghoa merayakan imlek.

Adalah kebiasaan umum bila menjelang atau pada saat hari raya yang bersangkutan sering terdengar ucapan selamat hari raya antar manusia. Bagi masyarakat plural, adalah wajar dan biasa jika ucapan selamat itu diucapan. Ketika orang islam merayakan Hari Raya Idul Fitri, ucapan selamat hari raya itu tidak hanya diucapkan oleh umat muslim saja, melainkan juga oleh umat agama lain. Demikian pula bila orang Buddha merayakan Waisak, maka akan ada ucapan selamat dari rekan, kenalan atau keluarga yang non Buddha.

Pengalaman pribadi penulis sendiri sudah membuktikan hal itu. Sekalipun penulis bukan muslim, namun ketika Idul Fitri atau Idul Adha, penulis biasa mengucapkan selamat kepada keluarga, rekan, kenalan dan sahabat. Adalah suatu kebahagiaan saat mengucapkan hal itu, apalagi bila ucapan itu dilakukan secara langsung dengan salaman dan seuntai senyum. Sungguh dunia terasa damai. Demikian saat Hari Raya Waisak (kepada kenalan) atau Imlek.

Karena itu, penulis sedikit kaget membaca berita bahwa ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, mengeluarkan fatwa haram bagi ucapan selamat Natal. Artinya, umat muslim Aceh dilarang mengucapkan selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani. Dikatakan bahwa larangan tersebut merupakan aqidah.

Sebenarnya, soal fatwa haram mengucapkan Selamat Hari Raya Natal bukanlah merupakan hal yang baru. Pada level nasional pun sebenarnya fatwa ini sudah ada. Pada Maret 1981, Majelis Ulama Indonesia, yang saat itu dipimpin oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang biasa dikenal Buya Hamka, mengeluarkan fatwa haram ucapan selamat Natal. Konon, sekalipun mendapat tekanan dari penguasa saat itu, Presiden Soeharto, yang memintanya untuk mencabut fatwa itu, Buya Hamka bersikukuh, tidak mau mencabut fatwanya. Beliau malah lebih memilih mundur dari MUI ketimbang menarik kembali fatwa haram tersebut.

Sampai saat ini fatwa haram tersebut belum pernah dicabut oleh MUI. Ini menunjukkan bahwa fatwa itu masih berlaku. Jadi, fatwa haram yang dikeluarkan oleh ulama Aceh, hanya sekedar menegaskan atau mengingatkan kembali umat muslim akan fatwa lama. Artinya, umat islam di Indonesia dilarang mengucapkan Selamat Hari Raya Natal.

Seperti yang telah penulis katakan di atas, reaksi awal penulis adalah kaget. Namun ketika penulis berusaha memahami, rasa kaget itu lenyap. Salah satu pemahaman sederhana adalah, fatwa haram tersebut lahir dari seorang dengan “jabatan” sebagai ulama. Bagi penulis, ulama adalah sosok orang yang ahli dalam bidang agama. Mereka bukanlah orang sembarangan. Segala keputusan mereka selalu berdasarkan pertimbangan ajaran agama. Oleh karena itu, fatwa haram ini lahir dengan pertimbangan ajaran agama. Dengan kata lain, agama islam mengajarkan umatnya untuk tidak mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada umat kristiani.

Ajaran agama selalu mendapatkan pendasarannya pada perintah Tuhan. Kehendak Tuhan bagi umat-Nya dibakukan dalam ajaran iman. Setiap pemeluknya wajib mengikuti ajaran agama yang merupakan kehendak Tuhan. Jadi, jika larangan mengucapkan Selamat Hari Raya Natal kepada orang kristen didasarkan pada ajaran agama, itu berarti juga memang Tuhan menghendaki demikian. Bisa dikatakan bahwa Tuhannya orang islam melarang umat-Nya untuk memberi salam Natal kepada kaum nasrani.

Dengan memahami semuanya ini, dari sinilah akhirnya muncul sikap menghargai. Penulis menghargai keputusan tersebut. Penulis menghormati fatwa haram itu, karena ia lahir dari ajaran agama. Agama Islam melarang umat islam memberi ucapan Selamat Natal. Karena itu, penulis dapat memaklumi bila pada Hari Raya Natal nanti, penulis tidak menerima ucapan salam dari saudara, kenalan, rekan dan sahabat yang beragama islam.

Penulis mengajak umat kristiani untuk bisa juga memakluminya. Umat kristen hendaknya memahami situasi yang dihadapi oleh rekan, kenalan, keluarga atau sahabatnya yang muslim, karena mereka terikat oleh fatwa haram tersebut. Umat kristiani tidak boleh merasa bingung dan aneh, karena fatwa itu bukan lahir dari orang yang tidak paham akan agamanya, melainkan orang yang benar-benar mengerti. Harus dimengerti dan dipahami bahwa Tuhan orang muslim tidak menghendaki umat islam mengucapkan Selamat Hari Raya Natal.

Dengan memahami hal ini, maka kita akan bisa menghargai. Yang dihargai bukan hanya orangnya, tetapi juga agamanya. Dengan demikian pula, kita sudah mengharagai dan menghormati Tuhan mereka.

Semoga fatwa haram ini tidak mengurangi rasa hormat umat kristiani kepada umat muslim, sehingga benih toleransi tetap terjaga dan terpelihara di bumi Indonesia yang bhineka ini. Yesus, yang akan diperingati kelahirannya nanti, mengajarkan kita untuk memberkati, bukan mengutuk, mereka yang membenci atau memusuhi kita.
Jakarta, 17 Desember 2013
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar