Salah satu poin yang dipermasalahkan dalam gugatan tim
Prabowo – Hatta ke Mahkamah Konstitusi adalah adanya demokrasi noken. Demokrasi
noken hanya terjadi di beberapa TPS di wilayah Papua Tengah. Yang dimaksud
dengan demokrasi noken, dalam kaitan dengan PEMILU adalah surat suara, yang
semuanya diwakili oleh Kepala Suku, dimasukkan ke dalam sebuah noken.
Gambaran prosesnya adalah sebagai berikut. Di TPS, tempat
diselenggarakannya pemilihan, tidak ada bilik dan kotak suara sebagaimana
lazimnya. Ketika surat suara tiba, semua surat suara itu, sebanyak jumlah
pemilih, diserahkan kepada Kepala Suku untuk dicoblos. Setelah pencoblosan,
semua surat suara itu tidak dimasukkan ke dalam kotak suara, tapi ke dalam
noken yang telah disiapkan.
Demokrasi noken bukan baru terjadi pada pilpres 2014 ini
saja, melainkan juga sudah terjadi pada pileg sebelumnya. Bahkan pada pemilu
yang lalu juga ada sistem ini. Lalu, kenapa kubu Prabowo mempermasalahkannya?
Jawaban sederhananya adalah karena dia kalah. Andai menang, pastilah Prabowo
tidak akan mempersoalkannya.
Akan tetapi, di hadapan umum, terlebih di hadapan MK, tim
hokum Prabowo – Hatta mempermasalahkan demokrasi noken dari sisi hukum. Sangat
jelas bahwa sistem noken dalam pemilu menyalahi aturan yang ada. Bahkan ada
yang menilai sistem noken tidak demokratis.
Saya menilai bahwa orang yang mengatakan demokrasi noken itu
buruk dan tidak demokratis adalah orang yang tidak memakai kacamata orang Papua
dalam melihat makna dan nilai noken. Pada umumnya orang melihat noken hanyalah
sebatas tas keranjang, tak jauh beda dengan asesoris lainnya. Akan tetapi, jika
orang melihat dengan cara pandang orang Papua, maka akan ditemui sejumlah nilai
yang luhur yang sejalan dengan asas demokrasi.
Noken adalah tas yang terbuat dari anyaman kulit kayu.
Awalnya noken ini hanya “milik” kaum wanita saja, karena dulu bawaan kaum pria
adalah busur dan tombak. Sekarang ini saja kita dapat melihat kaum pria juga
membawa noken.
Jika kita perhatikan kehidupan perempuan Papua dulu, baik
secara langsung maupun lewat gambar-gambar foto, kita akan dapat melihat
seorang perempuan sedang menggendong anak babi di depannya, sedangkan sebuah
noken ada di belakangnya, tergantung di kepalanya. Di dalam noken itu ada
barang-barang hasil kebun, dan terkadang bisa juga dijumpai anak bayinya. Dapat
dikatakan bahwa, anak yang baru lahir selalu berada di noken ketika sang ibu
bepergian.
Dari sini, saya menemukan sebuah nilai dari noken, yaitu tempat
kehidupan. Bagi seorang anak yang baru lahir, noken itu adalah rahim kedua.
Rahim adalah tempat kehidupan. Sejak pertemuan sel telur dan sperma, selama
sembilan bulan kita ada di rahim ibu hingga kita benar-benar siap untuk
kehidupan dunia. Dan setelah lahir, ternyata anak manusia belum bisa apa-apa. Karena
masih dalam kondisi tak berdaya, seorang bayi Papua biasanya ditempatkan di
dalam noken hingga ia mampu berjalan. Jadi, noken adalah rahim kedua bagi
seorang bayi Papua. Di sini sang bayi mulai sedikit belajar mengenal kehidupan
real.
Selain menampung kehidupan anak manusia yang baru dilahirkan,
noken juga menampung barang-barang hasil kebun: petatas, daun singkong, buah
merah, daging, dll. Semua yang berguna untuk kehidupan manusia ditampung di
noken. Benda-benda hasil kebun (bisa juga dari belanjaan di pasar) kemudian
akan diolah di rumah (honai) menjadi bahan makanan untuk kehidupan anggota
keluarga.
Dalam pemilu, surat suara merupakan hidup rakyat. Hidup
rakyat itu dipercayakan kepada anggota legislatif (bandingkan lagu Wakil
Rakyat, karya Iwan Fals) dalam pileg, dan juga presiden dalam pilpres. Semua
kita tentu berharap agar ada perubahan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa
pasca pemilu. Kita berharap para wakil rakyat dan juga presiden terpilih
mengusahakan kesejahteraan hidup rakyatnya.
Apa hubungannya dengan noken? Bagaimana nilai ini dikaitkan
dengan pemilu? Nilai dasar sebuah noken adalah penampung kehidupan. Warga sadar
bahwa surat suara adalah hidup mereka. Karena noken merupakan penampung
kehidupan, maka dari itu, surat suara mereka pun dimasukkan ke dalam noken.
Warga Papua Tengah yang memiliki budaya noken menemukan tempat yang pas sebagai
sarana menampung kehidupan mereka. Bagi mereka, kotak suara tidak memiliki
makna dan nilai.
Jadi, dalam noken ada kehidupan warga tempat berlangsungnya
pemilihan itu. Kehidupan itu nantinya akan diolah, sebagaimana benda-benda
kehidupan dari kebun yang diolah menjadi hidangan kehidupan bagi anggota
keluarga. Artinya, kehidupan itu nanti akan kembali lagi kepada mereka, baik
berupa bantuan langsung perbaikan taraf kehidupan maupun berupa sistem yang
dapat mengangkat taraf kehidupan mereka.
Melihat nilai dan makna noken yang sangat luhur ini, sangat
disayangkan jika masih ada orang yang mempermasalahkannya. Dapatlah dikatakan
bahwa mereka tidak memahami nilai noken itu sebenarnya. Mereka hanya melihat
sebatas hukum saja. Memang harus diakui bahwa sistem noken menyalahi aturan
hukum. Namun sadarkah kita bahwa saat membuat aturan itu, tak satu pun ahli
yang mempertimbang hal ini. Artinya, produk hukum yang dihasilkan sama sekali
tidak mempertimbangkan nilai-nilai dan kekhasan budaya setempat. Karenanya
wajar bila dikatakan bahwa sistem noken itu salah dari aspek hukum. Namun bukan
lantas berarti sistem noken itu buruk, baik dari aspek hukum apalagi moral.
Demikian pula soal peran Kepala Suku dalam proses
pencoblosan. Sistem ini dilihat melanggar hak asasi manusia. Orang melihat
bahwa setiap pemilih memiliki hak atas dirinya sendiri. Namun orang perlu
memahami sistem kekeluargaan dalam alam budaya Papua. Bukan berarti demokrasi
noken tidak menghargai suara pribadi seorang warga pemilih. Dalam sistem
kesukuan di Papua, peran Kepala Suku bukan hanya sekedar melindungi,
memperhatikan kesejahteraan warga sukunya atau lainnya, melainkan juga berperan
sebagai penampung aspirasi warganya.
Sebelum proses pemilihan berlangsung, Kepala Suku melakukan
pembicaraan dengan warganya berkaitan dengan siapa yang bakal dipilih. Ini
menyangkut hidup mereka bersama. Karena itu, mereka musti satu suara. Suara
yang bulat ini dipercayakan kepada Kepala Suku. Karena itu, waktu pemilihan,
semua surat suara diserahkan kepada Kepala Suku untuk dicoblos, sesudah itu,
surat suara dimasukkan ke dalam noken.
Sama sekali tidak melanggar prinsip demokrasi. Justru dalam
demokrasi noken, kita melihat nilai demokrasi sebenarnya. Yang selama ini
terjadi adalah orang menilai demokrasi noken hanya pada sisi permukaan saja,
yaitu pada saat proses pemilihan. Jika orang melihat lebih ke dalam lagi, maka
orang akan merasa kagum dengan demokrasi noken.
Oleh karenaa itu, sangatlah tidak pantas orang yang tidak
paham akan nilai luhur demokrasi noken, khususnya orang dari luar Papua,
mempermasalahkan demokrasi ini. Orang harus menggunakan kacamata Papua dulu
untuk melihat demokrasi noken ini. Justru kita berharap agar demokrasi noken
ini dilestarikan. Bukan tidak mungkin, ia menjadi daya tarik wisata, saat
menjelang pemilu.
Batam, 12 Agustus 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar