Pada pilpres 2014 ini, kita disuguhkan aksi dagelan aneh tapi
lucu yang dilakukan Prabowo dan antek-anteknya. Aksi itu adalah pengumuman
Prabowo mundur dari proses pilpres (pernyataannya sendiri bermakna ganda)
menjelang KPU mengumumkan hasil rekapitulasi. Dikatakan aneh karena proses
rekapitulasi belum selesai tapi Prabowo menyatakan mundur; dan kemudian mempermasalahkan
proses pilpres, lalu menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Rakyat awam tentu
akan bertanya, jika memang hendak menggugat ke MK, kenapa musti pakai acara
mundur? Karena itulah, tindakan Prabowo dan anteknya ini dinilai lucu. Tak sedikit
orang menilai Prabowo kekanak-kanakan.
Apa yang dilakukan Prabowo pada 22 Juli lalu, serta merta
menghapus citra sportif dirinya. Awalnya banyak rakyat melihat sosok Prabowo
sebagai orang yang sportif dan gentlement,
apalagi setelah menyaksikan acara debat calon presiden dimana Prabowo
mengakui dan setuju pada program-program Jokowi. Prabowo malah terkesan
menyalahkan tim ahlinya yang menyarankan agar dirinya selalu tidak mengakui
semua gagasan Jokowi. “Jika program itu baik, saya akan mengakuinya dan
mendukung,” demikian kira-kira pernyataan Prabowo, yang lantas diikuti dengan
gerakan menyalamai Jokowi. Orang terpesona dengan sikap Prabowo itu; dan orang
pun mulai simpatik padanya.
Akan tetapi, tanggal 22 Juli siang, pesona Prabowo yang gentle dan sportif itu langsung luntur. Andai
Prabowo tidak melakukan tindakan itu, tentulah rakyat masih simpatik padanya,
sekalipun akhirnya ia tetap datang ke MK untuk menyampaikan gugatan. Menjadi pertanyaan
kita adalah kenapa Prabowo ngotot tidak mau menerima pengumuman KPU yang
menetapkan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden
terpilih. Alasan keadilan yang sering disuarakan kiranya bukanlah sebuah alasan
yang mendasar, malah terkesan mengada-ada. Lalu, apa alasan mendasarnya?
Ada tiga alasan yang mendasar, membuat Prabowo menolak hasil
KPU. Di balik penolakan itu terbersit sebuah fakta bahwa dirinyalah
pemenangnya. Artinya, pilpres 2014 dimenangkan pasangan nomor urut 1, Prabowo –
Hatta. Pertama, otak Prabowo sudah
dipengaruhi oleh hasil quick count 4
lembaga yang memenangkan dirinya, yaitu Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan
Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Jaringan Suara Indonesia
(JSI) dan Indonesia Research Center (IRC). Hasil hitung cepat keempat lembaga
ini menjadi dasar bagi Prabowo untuk tetap berharap akan menang.
Besarnya harapan akan menang yang ditunjang hasil hitung
cepat tersebut membuat Prabowo kehilangan daya kritisnya. Misalnya, mengapa kepercayaannya
pada beberapa lembaga survei yang kredibel seperti Lingkaran Survei Indonesia
(LSI) segera hilang? Padahal lembaga-lembaga survei itu sudah sekian lama
bergelut di bidang itu; malah waktu pileg, dua bulan sebelumnya juga, tidak ada
masalah. Masalah lain, kenapa Prabowo tidak merasa heran dengan penolakan dua
lembaga, yang memenangkannya, untuk diaudit? Penolakan ini menunjukkan ada yang
salah dengan hasil survei mereka. Tapi, kenapa Prabowo tetap memilih percaya.
Kedua, ada ketakutan Prabowo dirinya akan
diadili terkait kasus penghilangan aktivis ’98 andai dia kalah dalam pilpres. Kasus
penghilangan aktivis ’98 sudah jelas muaranya setelah terbongkarnya surat Dewan
Kehormatan Perwira. Bukan tidak mungkin akan ada desakan untuk membongkar
kembali kasus itu. Dan jika kembali dibongkar, dapat dipastikan akan berakhir
di pengadilan; dan ini menjadi ancaman serius bagi dirinya. Karena itulah, dengan
segala daya upaya, Prabowo berjuang untuk menggagalkan hasil pengumuman KPU,
atau berjuang untuk kembali memenangkan pilpres ini. Dengan mendapatkan
kekuasaan, tentulah dirinya aman dari kasus tragedi ’98.
Ketiga, syahwat kekuasaan yang begitu besar
di kalangan pendukung Prabowo. Ada beberapa oknum pendukung Prabowo yang begitu
bernafsu mendapatkan kekuasaan, sehingga secara halus terus mempengaruhi
Prabowo. Nafsu berkuasa yang amat sangat besar ini membuat mereka, tidak hanya
kehilangan akal sehat, melainkan juga hati nurani. Mereka tidak lagi memikirkan
kepentingan bangsa. Yang dipikirkan hanyalah kepentingan pribadi dan partai
yang diatasnamakan kepentingan rakyat dan keadilan.
Demikianlah tiga alasan mendasar kenapa Prabowo menolak hasil
pengumuman KPU dan menggugatnya ke MK. Memang apa yang dilakukan Prabowo adalah
haknya yang harus dihargai. Akan tetapi, perlu juga disadari bahwa hak Prabowo
tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga berdampingan dengan hak ratusan juta
rakyat Indonesia. Memperjuangkan hak pribadi adalah baik dan wajar. Namun mengabaikan
hak pribadi demi kepentingan umum adalah luar biasa. Hanya negarawan dan para
ksatria saja yang dapat melakukan hal demikian.
Pangkalpinang, 25 Juli 2014
by: adrian
Baca juga:
dasar pecundang
BalasHapusdi belakangnya ada makhluk-makhluk haus kekuasaan. Ada PKS, ARB dan Fadli Zon
BalasHapusada orang-orang yang haus kekuasaan di belakangnya
BalasHapusMemangan wajib menang. Kalau kalah, Prabowo takut kasus pelanggar HAM-nya diangkat ke ranah hukum; Bakrie takut kasus Lapindo dan pajaknya dimejahijaukan. Sementara PKS, kekalahan menutup peluangnya untuk memperjuangkan syariat islam. Semuanya bukan demi kepentingan bangsa.
BalasHapusada kemungkinan Prabowo menang di MK. Ada 2 alasannya: pertama, ada 2 para normal hadir di MK menjelang kedatangan Prabowo; kedua, ada 2 hakim MK bekas anggota parta pendukung Prabowo (PKS dan PAN)
BalasHapus