Rabu, 06 Agustus 2014

Prabowo Musti Gugat Diri Sendiri Dulu Sebelum Gugat Orang Lain

Hari ini proses pemilihan presiden 2014 memulai babak baru. Karena tidak mau menerima kekalahan, Prabowo dan kelompoknya mengadakan gugatan ke MK. Dan hari ini gugatan itu mulai di sidangkan di Mahkamah Konstitusi. Tim Koalisi Merah Putih tidak hanya menggugat pilpres di Mahkamah Konstitusi, meski tim ahli hukum Prabowo – Hatta tahu bahwa MK merupakan lembaga peradilan tertinggi dimana keputusannya merupakan keputusan final dan mengikat. Kubu Prabowo – Hatta siap juga menempuh jalur Pengadilan Tata Usaha Negara serta lewat jalur politik.

Jika kita telusuri perjalanan gugatan ini, kita menemukan ada banyak keanehan yang menggelikan. Kita mulai dari pernyataan Prabowo pasca pilpres. Dengan tegas (ini salah satu karakter yang sangat dibanggakan orang) ia mengatakan bahwa dirinya siap menerima hasil pilpres 2014. “Saya siap menang, siap kalah…” ujar Prabowo. Pernyataan Prabowo ini, jauh sebelum pilpres dilangsungkan, sudah ditegaskan oleh politisi Partai Gerindra, Pius Listrilanang. Pius malah menantang pihak Jokowi – JK berbuat seperti Prabowo. “Saya ingin mendengar sekali saja pernyataan Jokowi yang menyatakan dirinya siap menang siap kalah pada pilres ini. Beda dengan Prabowo – Hatta yang sudah menyatakan komitmennya dan menyatakan siap menang siap kalah.”

Tapi apa yang terjadi? Semua kita tahu bahwa Prabowo menggugat. Dia menggugat karena kalah (yakinlah, kalau menang dia tak akan menggugat). Gugatan ini menunjukkan bahwa Prabowo dan timnya tidak siap kalah. Mereka hanya mau menang dan tidak mau kalah. Lalu, dimana komitmennya? Inilah peristiwa lucu yang pertama.

Setelah hitung cepat selesai, terlihat bahwa banyak lembaga survei kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi – JK. Memang ada beberapa lembaga survei lain, yang kredibilitasnya sangat diragukan, memenangkan pasangan Prabowo – Hatta (hal ini membuat popularitas TV One sangat tinggi dan dikenal sebagai TV Beda). Menyikapi masalah ini, dengan bijak Prabowo menyatakan agar rakyat menjunjung tinggi sikap sportif dan jangan terpengaruh pada hasil quick count. “Jangan klaim-klaim dulu. Tunggu tanggal 22 Juli saat wasit memutuskan,” tegas Prabowo. Wasit yang dimaksud adalah KPU. Jika dikaitkan dengan pernyataan Prabowo di atas, maka Prabowo akan menerima apapun keputusan KPU nanti. Artinya, Prabowo tidak mau percaya pada hasil quick count lembaga-lembaga survei yang memenangkan dirinya ataupun lembaga-lembaga survei yang memenangkan Jokowi – JK. Keputusan KPU merupakan keputusan final. Dan Prabowo akan percaya paa keputusan KPU.

Tapi apa yang terjadi? Kita semua tahu bahwa beberapa jam sebelum KPU membacakan keputusannya, Prabowo menyatakan menolak proses pilpres (pernyataan itu sendiri memiliki makna ganda). Para saksi dari kubunya diperintahkan untuk mengundurkan diri dari proses rekapitulasi suara. Tampak jelas bahwa sikap Prabowo ini bertentangan dengan pernyataan bijak sebelumnya.

Setelah menyatakan akan mambawa masalah pilpres 2014 ke MK, Probowo dan kubunya sesumbar akan membawa bukti yang sangat banyak tentang kecurangan dan pelanggaran. Konon katanya karena banyaknya bukti itu sehingga waktu diserahkan kepada MK akan menggunakan banyak kendaraan. Kubu Prabowo mengklaim mempunyai bukti yang kuat sehingga mereka berani berkata bahwa kecurangan dan pelanggaran pilpres 2014 dilakukan secara struktural, sistematis dan masif.

Apa yang terjadi ketika mereka menyerahkan berkas laporan ke MK? Kubu Prabowo hanya membawa beberapa kardus bukti. Anehnya, kebanyakan bukti-bukti itu tidak lengkap dan banyak yang mengguakan sistem copy paste. Karena itu, orang dapat bertanya dimana letak kesiapan mereka akan bukti itu? Bukankah jika mereka memang benar-benar punya bukti, mereka dapat menyiapkan laporan yang terinci dan bagus? Amburadulnya bukti laporan mereka membuktikan pernyataan mereka asal sekedar bunyi saja; tak jauh berbeda dengan dua pernyataan sebelumnya. Tak sedikit juga yang menilai jangan-jangan kubu Prabowo – Hatta tidak mengerti arti dari frase “secara struktural, sistematis dan masif.”

Tiga keanehan di atas bisa diikuti lagi dengan keanehan-keanehan lainnya seperti mempermasalahkan tanggal 22 juli dan juga persyaratan Jokowi jadi calon presiden. Mengenai hal yang kedua ini ada dua soal, yaitu proses pendaftaran Jokowi dan sumpah jabatan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Terhadap keanehan-keanehan terakhir ini orang awam tentulah akan bertanya, kenapa jauh sebelum pilpres berlangsung tidak mempermasalahkan?

Dari semua keanehan-keanehan di atas, orang lantas akan merasa aneh dan bingung dengan sikap ngotot Prabowo dan timnya untuk menang. Dapatlah disimpulkan bahwa semua perjuangan yang dilakukan Koalisi Merah Putih (lewat jalur MK, PTUN dan Pansus) menunjukkan bahwa kubu Prabowo – Hatta merasa merekalah pemenang pilpres 2014. Mereka tidak kalah, tapi dikalahkan. Perasaan menang itu ditunjang oleh hasil quick count empat lembaga, yang sangat diragukan kredibilitasnya, yaitu Puskaptis, IRC, JSI, LSN, meski Prabowo pernah menyatakan tidak percaya pada lembaga survei.

Kengototan Prabowo dan timnya untuk menang membuat mereka tidak bisa melihat lagi realitas secara utuh menyeluruh. Ada empat jenis realitas dalam pilpres ini, yaitu realitas kubu Prabowo – Hatta, realitas kubu Jokowi – JK, realitas KPU (plus Bawaslu) dan realitas rakyat sebagai pemilih. Selama ini Prabowo hanya melihat realitas dari satu sisi, yaitu sisi penggagal kemenangannya. Sisi itu ada pada KPU dan kubu Jokowi – JK. Karena itu, dalam perjuangannya meraih kemenangan, Prabowo hanya menyalahkan KPU dan Jokowi – JK. Mereka juga yang nantinya akan menjadi pihak tergugat.

Seharusnya Prabowo dan timnya perlu juga melihat realitas yang lain, misalnya realitas rakyat. Manuver-manuver yang dilakukan Prabowo dan timnya jelas membuat rakyat bingung, resah dan terpecah. Padahal rakyat ingin hidup damai. Rakyat berpikir bahwa selesai pilpres 9 Juli lalu, mereka dapat dengan tenang kembali ke kehidupannya. Akan tetapi yang terjadi adalah rakyat disuguhi aksi politik kekanakan sehingga rakyat bingung. Alasan keadilan atau demi rakyat yang sering dilontarkan kubu Prabowo adalah alasan lips service. Prabowo hanya mengatasnamakan rakyat perjuangannya itu, yang sebenarnya hanyalah sekedar kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jadi, kalau Prabowo benar-benar melihat realitas rakyat, Prabowo dapat menampilkan kembali kearifannya, yaitu setia pada komitmennya untuk siap menang siap kalah, serta sikap bijak menerima keputusan KPU sebagai wasit pilpres 2014.

Selain realitas rakyat, Prabowo dan timnya juga perlu melihat realitas mereka sendiri. Sebelum menggugat pihak lain (KPU dan Jokowi), ada baiknya Prabowo menggugat dirinya sendiri terlebih dahulu. Ada banyak bahan gugatan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah dengan temperamen cepat tersinggung dan suka marah tanpa dasar cocok menjadi pemimpin dan negarawan?; apakah hasil quick count Puskaptis, IRC, JSI, LSN dapat dipercaya? Kenapa hasil mereka berbeda dengan lembaga lainnya?; apakah komitmen PKS dapat dipegang mengingat keberadaan mereka di setgab lalu sering menjadi duri dalam daging?; apakah orang-orang yang ada di sekelilingnya adalah benar-benar pendukung atau pecundang?

Dan masih ada banyak lagi pertanyaan untuk menggugat diri sendiri sebelum sibuk menggugat orang lain. Intinya, Prabowo jangan terlalu sibuk mencari-cari kesalahan pada pihak lain (KPU dan Jokowi), sementara kesalahan pada diri sendiri ada begitu banyak. Satu fakta yang musti diterima adalah semua pihak pasti ada kesalahan dan kekurangan. Pihak Jokowi – JK ada kesalahan dan kekurangan. Pihak KPU (dan Bawaslu) juga punya. Demikian pula pihak Prabowo – Hatta, bahkan rakyat sebagai pemilih pun tak luput dari kesalahan. Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan penyelenggaraan pilpres yang sempurna, bersih dari pelanggaran dan kecurangan.

Akan tetapi bukan lantas berarti kita membenarkan kecurangan dan pelanggaran, sekalipun ia memiliki tingkatnya. Kecurangan dan pelanggaran tidak boleh dibiarkan, apalagi untuk tingkatan besar yang dapat membatalkan sebuah keputusan. Karena itu, negara menyediakan fasilitas untuk menangani pelanggaran dan kecurangan ini. Dia adalah Mahkamah Konstitusi. MK akan menilai apakah pelanggaran dan kecurangan yang terjadi benar-benar merupakan pelanggaran dan kecurangan yang besar sehingga melahirkan keputusan pemilu ulang atau tidak.

Karena itu, sikap yang bijaksana adalah menyediakan bukti-bukti pelanggaran dan kecurangan itu untuk MK dan membiarkan MK memutuskannya. Yang terjadi adalah pihak Prabowo tidak hanya menempuh jalur MK saja melainkan PTUN dan pansus. Hal ini yang amat sangat disayangkan. Prabowo dan timnya hanya dapat melihat kesalahan pada pihak lain tanpa pernah mau berusaha untuk melihat kesalahan pada pihaknya sendiri. Jika Prabowo mau melihat ke diri sendiri, pastilah ia hanya sampai pada jalur MK saja.
Pangkalpinang, 5 Agustus 2014
by: Adrian
Baca juga:
1.      Prabowo Mengugat
3.      Beda Cara Pandang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar