Hari ini proses pemilihan presiden 2014 memulai babak baru.
Karena tidak mau menerima kekalahan, Prabowo dan kelompoknya mengadakan gugatan
ke MK. Dan hari ini gugatan itu mulai di sidangkan di Mahkamah Konstitusi. Tim Koalisi
Merah Putih tidak hanya menggugat pilpres di Mahkamah Konstitusi, meski tim
ahli hukum Prabowo – Hatta tahu bahwa MK merupakan lembaga peradilan tertinggi
dimana keputusannya merupakan keputusan final dan mengikat. Kubu Prabowo –
Hatta siap juga menempuh jalur Pengadilan Tata Usaha Negara serta lewat jalur
politik.
Jika kita telusuri perjalanan gugatan ini, kita menemukan ada
banyak keanehan yang menggelikan. Kita mulai dari pernyataan Prabowo pasca
pilpres. Dengan tegas (ini salah
satu karakter yang sangat dibanggakan orang) ia mengatakan bahwa dirinya siap
menerima hasil pilpres 2014. “Saya siap menang, siap kalah…” ujar Prabowo.
Pernyataan Prabowo ini, jauh sebelum pilpres dilangsungkan, sudah ditegaskan
oleh politisi Partai Gerindra, Pius Listrilanang. Pius malah menantang pihak Jokowi
– JK berbuat seperti Prabowo. “Saya ingin mendengar sekali saja pernyataan
Jokowi yang menyatakan dirinya siap menang siap kalah pada pilres ini. Beda
dengan Prabowo – Hatta yang sudah menyatakan komitmennya dan menyatakan siap
menang siap kalah.”
Tapi apa yang terjadi? Semua kita tahu bahwa Prabowo
menggugat. Dia menggugat karena kalah (yakinlah, kalau menang dia tak akan
menggugat). Gugatan ini menunjukkan bahwa Prabowo dan timnya tidak siap kalah. Mereka
hanya mau menang dan tidak mau kalah. Lalu, dimana komitmennya? Inilah
peristiwa lucu yang pertama.
Setelah hitung cepat selesai, terlihat bahwa banyak lembaga
survei kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi – JK. Memang ada beberapa lembaga
survei lain, yang kredibilitasnya sangat diragukan, memenangkan pasangan
Prabowo – Hatta (hal ini membuat popularitas TV One sangat tinggi dan dikenal
sebagai TV Beda). Menyikapi masalah ini, dengan bijak Prabowo menyatakan agar
rakyat menjunjung tinggi sikap sportif dan jangan terpengaruh pada hasil quick count. “Jangan klaim-klaim dulu.
Tunggu tanggal 22 Juli saat wasit memutuskan,” tegas Prabowo. Wasit yang
dimaksud adalah KPU. Jika dikaitkan dengan pernyataan Prabowo di atas, maka
Prabowo akan menerima apapun keputusan KPU nanti. Artinya, Prabowo tidak mau
percaya pada hasil quick count
lembaga-lembaga survei yang memenangkan dirinya ataupun lembaga-lembaga survei
yang memenangkan Jokowi – JK. Keputusan KPU merupakan keputusan final. Dan Prabowo
akan percaya paa keputusan KPU.
Tapi apa yang terjadi? Kita semua tahu bahwa beberapa jam
sebelum KPU membacakan keputusannya, Prabowo menyatakan menolak proses pilpres
(pernyataan itu sendiri memiliki makna ganda). Para saksi dari kubunya
diperintahkan untuk mengundurkan diri dari proses rekapitulasi suara. Tampak
jelas bahwa sikap Prabowo ini bertentangan dengan pernyataan bijak sebelumnya.
Setelah menyatakan akan mambawa masalah pilpres 2014 ke MK,
Probowo dan kubunya sesumbar akan membawa bukti yang sangat banyak tentang
kecurangan dan pelanggaran. Konon katanya karena banyaknya bukti itu sehingga
waktu diserahkan kepada MK akan menggunakan banyak kendaraan. Kubu Prabowo
mengklaim mempunyai bukti yang kuat sehingga mereka berani berkata bahwa
kecurangan dan pelanggaran pilpres 2014 dilakukan secara struktural, sistematis
dan masif.
Apa yang terjadi ketika mereka menyerahkan berkas laporan ke
MK? Kubu Prabowo hanya membawa beberapa kardus bukti. Anehnya, kebanyakan
bukti-bukti itu tidak lengkap dan banyak yang mengguakan sistem copy paste. Karena itu, orang dapat
bertanya dimana letak kesiapan mereka akan bukti itu? Bukankah jika mereka
memang benar-benar punya bukti, mereka dapat menyiapkan laporan yang terinci
dan bagus? Amburadulnya bukti laporan mereka membuktikan pernyataan mereka asal
sekedar bunyi saja; tak jauh berbeda dengan dua pernyataan sebelumnya. Tak sedikit
juga yang menilai jangan-jangan kubu Prabowo – Hatta tidak mengerti arti dari
frase “secara struktural, sistematis dan masif.”
Tiga keanehan di atas bisa diikuti lagi dengan
keanehan-keanehan lainnya seperti mempermasalahkan tanggal 22 juli dan juga
persyaratan Jokowi jadi calon presiden. Mengenai hal yang kedua ini ada dua
soal, yaitu proses pendaftaran Jokowi dan sumpah jabatan Jokowi sebagai Gubernur
DKI Jakarta. Terhadap keanehan-keanehan terakhir ini orang awam tentulah akan
bertanya, kenapa jauh sebelum pilpres berlangsung tidak mempermasalahkan?
Dari semua keanehan-keanehan di atas, orang lantas akan merasa
aneh dan bingung dengan sikap ngotot Prabowo dan timnya untuk menang. Dapatlah
disimpulkan bahwa semua perjuangan yang dilakukan Koalisi Merah Putih (lewat
jalur MK, PTUN dan Pansus) menunjukkan bahwa kubu Prabowo – Hatta merasa
merekalah pemenang pilpres 2014. Mereka tidak kalah, tapi dikalahkan. Perasaan menang
itu ditunjang oleh hasil quick count
empat lembaga, yang sangat diragukan kredibilitasnya, yaitu Puskaptis, IRC, JSI,
LSN, meski Prabowo pernah menyatakan tidak percaya pada lembaga survei.
Kengototan Prabowo dan timnya untuk menang membuat mereka
tidak bisa melihat lagi realitas secara utuh menyeluruh. Ada empat jenis
realitas dalam pilpres ini, yaitu realitas kubu Prabowo – Hatta, realitas kubu
Jokowi – JK, realitas KPU (plus Bawaslu) dan realitas rakyat sebagai pemilih. Selama
ini Prabowo hanya melihat realitas dari satu sisi, yaitu sisi penggagal
kemenangannya. Sisi itu ada pada KPU dan kubu Jokowi – JK. Karena itu, dalam
perjuangannya meraih kemenangan, Prabowo hanya menyalahkan KPU dan Jokowi – JK.
Mereka juga yang nantinya akan menjadi pihak tergugat.
Seharusnya Prabowo dan timnya perlu juga melihat realitas
yang lain, misalnya realitas rakyat. Manuver-manuver yang dilakukan Prabowo dan
timnya jelas membuat rakyat bingung, resah dan terpecah. Padahal rakyat ingin
hidup damai. Rakyat berpikir bahwa selesai pilpres 9 Juli lalu, mereka dapat
dengan tenang kembali ke kehidupannya. Akan tetapi yang terjadi adalah rakyat
disuguhi aksi politik kekanakan sehingga rakyat bingung. Alasan keadilan atau
demi rakyat yang sering dilontarkan kubu Prabowo adalah alasan lips service. Prabowo hanya
mengatasnamakan rakyat perjuangannya itu, yang sebenarnya hanyalah sekedar
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Jadi, kalau Prabowo benar-benar melihat
realitas rakyat, Prabowo dapat menampilkan kembali kearifannya, yaitu setia
pada komitmennya untuk siap menang siap kalah, serta sikap bijak menerima
keputusan KPU sebagai wasit pilpres 2014.
Selain realitas rakyat, Prabowo dan timnya juga perlu melihat
realitas mereka sendiri. Sebelum menggugat pihak lain (KPU dan Jokowi), ada
baiknya Prabowo menggugat dirinya sendiri terlebih dahulu. Ada banyak bahan
gugatan yang bisa diajukan. Misalnya, apakah dengan temperamen cepat
tersinggung dan suka marah tanpa dasar cocok menjadi pemimpin dan negarawan?;
apakah hasil quick count Puskaptis,
IRC, JSI, LSN dapat dipercaya? Kenapa hasil mereka berbeda dengan lembaga
lainnya?; apakah komitmen PKS dapat dipegang mengingat keberadaan mereka di
setgab lalu sering menjadi duri dalam daging?; apakah orang-orang yang ada di
sekelilingnya adalah benar-benar pendukung atau pecundang?
Dan masih ada banyak lagi pertanyaan untuk menggugat diri
sendiri sebelum sibuk menggugat orang lain. Intinya, Prabowo jangan terlalu
sibuk mencari-cari kesalahan pada pihak lain (KPU dan Jokowi), sementara
kesalahan pada diri sendiri ada begitu banyak. Satu fakta yang musti diterima
adalah semua pihak pasti ada kesalahan dan kekurangan. Pihak Jokowi – JK ada
kesalahan dan kekurangan. Pihak KPU (dan Bawaslu) juga punya. Demikian pula
pihak Prabowo – Hatta, bahkan rakyat sebagai pemilih pun tak luput dari
kesalahan. Jadi, sangat tidak mungkin mengharapkan penyelenggaraan pilpres yang
sempurna, bersih dari pelanggaran dan kecurangan.
Akan tetapi bukan lantas berarti kita membenarkan kecurangan
dan pelanggaran, sekalipun ia memiliki tingkatnya. Kecurangan dan pelanggaran
tidak boleh dibiarkan, apalagi untuk tingkatan besar yang dapat membatalkan
sebuah keputusan. Karena itu, negara menyediakan fasilitas untuk menangani pelanggaran
dan kecurangan ini. Dia adalah Mahkamah Konstitusi. MK akan menilai apakah
pelanggaran dan kecurangan yang terjadi benar-benar merupakan pelanggaran dan
kecurangan yang besar sehingga melahirkan keputusan pemilu ulang atau tidak.
Karena itu, sikap yang bijaksana adalah menyediakan
bukti-bukti pelanggaran dan kecurangan itu untuk MK dan membiarkan MK
memutuskannya. Yang terjadi adalah pihak Prabowo tidak hanya menempuh jalur MK
saja melainkan PTUN dan pansus. Hal ini yang amat sangat disayangkan. Prabowo dan
timnya hanya dapat melihat kesalahan pada pihak lain tanpa pernah mau berusaha
untuk melihat kesalahan pada pihaknya sendiri. Jika Prabowo mau melihat ke diri
sendiri, pastilah ia hanya sampai pada jalur MK saja.
Pangkalpinang, 5
Agustus 2014
by: Adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar