NASRUDDIN SUDAH MATI
Pada suatu
hari Nasruddin menyuarakan pikirannya dengan nada filosofis, “Siapakah yang
dapat menjelaskan makna kehidupan dan kematian?”
Istrinya,
yang sedang sibuk di dapur mendengar pertanyaan itu lalu berkata, “Dasar
laki-laki – tidak praktis! Orang bodoh pun tahu, jika ujung-ujung jari
seseorang sudah kaku dan dingin, ia sudah mati.”
Nasruddin
terkesan oleh kebijaksanaan isterinya yang praktis itu. Sekali peristiwa, pada
musim dingin ia berjalan-jalan di atas salju dan merasakan tangan dan kakinya
mati rasa serta kaku karena kedinginan. “Aku ternyata sudah mati,” pikirnya.
Lalu muncul pikiran berikutnya, “Mengapa aku masih berkeliaran di jalan jika
sudh mati? Aku harus berbaring seperti layaknya semua orang mati.” Nah, ia pun
lalu berbaring persis seperti orang mati.
Sejam
kemudian lewatlah beberapa pejalan kaki. Mereka menemukannya terbaring di tepi
jalan. Mereka pun mulai berdiskusi, apakah orang itu masih hidup atau sudah
mati. Nasaruddin ingin berteriak sekuat tenaga dan berkata, “Hai orang-orang
bodoh, tidakkah kamu lihat bahwa aku sudah mati? Tidak tahukah kamu bahwa
ujung-ujung tangan dan kakiku dingin dan kaku.” Tetapi ia menyadari bahwa orang
yang mati tidak pantas masih berbicara. Maka ia pun diam.
Akhirnya
mereka memutuskan bahwa orang yang terbaring di atas salju itu pasti sudah
mati. Maka mereka mengusung jenasahnya ke kuburan. Belum begitu jauh berjalan,
mereka sampai di persimpangan jalan. Mulailah mereka bertengkar lagi mengenai
jalan mana yang menuju ke kuburan. Nasaruddin menahan diri untuk diam selama ia
dapat. Tetapi akhirnya ia tidak tahan lagi dan berkata, “Maaf, saudara-saudara.
Jalan ke kuburan adalah jalan di sebelah kiri saudara. Saya tahu, orang mati
diandaikan tidak berbicara, tetapi untuk kali ini saja saya membuat
kekecualian. Maaf, saya berjanji tidak akan mengucapkan sepatah kata lagi.”
ð Jika kebenaran terbentur pada kepercayaan yang kaku,
niscaya kebenaran itu akan
kalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar