Sabtu, 16 Juni 2012

(Inspirasi Hidup) Kami Bertiga, Kamu Bertiga

KAMI BERTIGA, KAMU BERTIGA

Ketika kapal seorang Uskup berlabuh untuk satu hari di sebuh pulau yang terpencil, ia bermaksud menggunakan hari itu sebaik-baiknya. Ia berjalan-jalan menyusur pantai dan menjumpai tiga orang nelayan sedang memperbaiki pukat. Dalam bahasa Inggeris pasaran mereka menerangkan bahwa berabad-abad sebelumnya mereka telah dibaptis oleh para misionaris. “Kami orang kristen,” kata mereka sambil dengan bangga menunjuk dada.

Uskup amat terkesan. Secara iseng Uskup bertanya kepada mereka apakah mereka tahu doa Bapa Kami? Ternyata mereka belum pernah mendengarkannya. Uskup terkejut sekali. Bagaimana mungkin orang-orang ini dapat menyebut diri mereka kristen jika mereka tidak mengenal sesuatu yang begitu dasariah seperti doa Bapa Kami.

“Lantas, apa yang kamu ucapkan bila berdoa?”

“Kami memandang ke langit. Kami berdoa: kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami. Amin.” 

Uskup heran akan doa mereka yang primitif dan jelas bersifat bidaah ini. maka sepanjang hari ia mengajar mereka berdoa Bapa Kami. Nelayan-nelayan itu sulit sekali menghafal, tetapi mereka berusaha sebisa-bisanya. Sebelum berangkat lagi pada pagi hari berikutnya, Uskup merasa puas. Sebab, mereka dapat mengucapkan doa Bapa Kami dengan lengkap tanpa satu kesalahan pun.

Beberapa bulan kemudian kapal Uskup kebetulan melewati kepulauan itu lagi. Uskup mondar-mandir di geladak sambil berdoa malam. Dengan rasa senang ia mengenang, bahwa di salah satu pulau yang terpencil itu ada tiga nelayan yang mampu berdoa Bapa Kami dengan lengkap berat usahanya yang penuh kesabaran. Sedang ia termenung, secara kebetulan ia melihat seberkas cahaya di arah Timur. Cahaya itu bergerak mendekati kapal. Sambil memandang keheran-heranan, Uskup melihat tiga sosok tubuh manusia berjalan di atas air, menuju ke kapal. Kapten kapal menghentikan kapalnya dan semua pelaut berjejal-jejal di pinggir geladak untuk melihat pemandangan ajaib itu.

Ketika mereka sudah dekat, barulah Uskup mengenali tiga sahabatnya, para nelayan dulu. “Bapak Uskup,” seru mereka, “Kami sangat senang bertemu dengan Bapak lagi. Kami dengar kapal Bapak melewati pulau kami, maka cepat-cepat kami datang.”

“Apa yang kamu inginkan?” tanya Uskup tercengang-cengang.

“Bapak Uskup,” jawab mereka, “Kami sungguh-sungguh amat menyesal. Kami lupa akan doa yang bagus itu. Kami berkata: Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu; datanglah kerajaan-Mu ... lantas kami lupa. Ajarilah kami sekali lagi seluruh doa itu.”

Uskup merasa rendah diri. “Sudahlah, pulang saja, saudara-saudaraku yang baik. Dan setiap kali kamu berdoa, katanlah saja: kami bertiga, kamu bertiga, kasihanilah kami. Amin.”
 ð   Aku kadang-kadang melihat wanita-wanita tua berdoa rosario tak habis-habisnya di gereja. Bagaimana mungkin Tuhan dimuliakan dengan suara berguman yang tidak keruan ini? Tetapi setiap kali aku melihat mata mereka atau memandang wajah mereka menengadah, di dalam hati aku tahu bahwa mereka lebih dekat dengan Tuhan daripada banyak orang terpelajar.

 ð  Dari dulu doa umat di kelompok selalu diidentikkan dengan rosario. Dalam doa itu aku melihat adanya keterlibatan semua umat, dari yang usia 5 tahun sampai yang usia 60-an tahun. Sebagai imam muda yang mendapat banyak ilmu di sekolah aku mau membuat perubahan agar tidak ada kebosanan. Lalu aku “memaksakan” pertemuan dengan sharing Kitab Suci. Yang datang mulai berkurang. Anak-anak dan orang tua pun lebih memilih diam.

by: Anthony de Mello, Burung Berkicau
Baca juga refleksi lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar