SANTO IGNASIUS LOYOLA, PENGAKU IMAN
Ignasius Loyola lahir
di Azpeitia di daerah Basque, Provinsi Guipuzcoa, Spanyol Utara pada tahun 1491.
Putera bungsu keluarga bangsawan Don Beltran de Onazy de Loyola dan Maria
Sanchez de Licona ini diberi nama Inigo Lopez de Loyola. Semenjak kecil hingga
masa mudanya, Ignasius Loyola mengecap kenikmatan hidup mewah di lingkungan
istana. Dia dididik dalam tradisi dan kebiasaan hidup istana yang ketat.
Pada tahun 1517,
Ignasius Loyola menjadi tentara Kerajaan Spanyol. Empat tahun kemudian, pada 20
Mei 1521, Ignasius Loyola menderita luka parah terkena peluru ketika
mempertahankan benteng Pamplona dari serangan tentara Perancis. Penderitaan
fisik dan mental yang hebat ini ditanggungnya dengan sabar dan berani dalam
perawatan selama hampir satu tahun.
Masa pemulihan
kesehatannya yang begitu lama menjadi baginya suatu masa berahmat, dimana
dia menemukan ambang pintu bagi kehidupannya sebagai seorang “manusia baru”. Selama masa perawatannya, ingin sekali ia menghalau kebosanan dengan membaca
buku-buku kepahlawanan. Sayang sekali bahwa buku-buku heroik yang ingin
dibacanya tidak tersedia di situ. Satu-satunya buku yang tersedia adalah buku
tentang kehidupan Yesus Kristus dan para orang kudus. Demi memuaskan
keinginannya, ia terpaksa menjamah dan membolak-balik buku itu. Tanpa
disadarinya apa yang dibacanya tertanam dan mulai bersemi dalam lubuk hatinya.
Kalbunya terasa sejuk bila menekuni bacaan itu. Lambat laun ia memutuskan untuk
menyerahkan seluruh sisa hidupnya bagi Tuhan sebagai abdi Allah. Ia tidak ingin
lagi menjadi pahlawan duniawi. Kepribadiannya berubah secara total. Dari suatu
cara hidup duniawi yang sia-sia, ia menjadi seorang rohaniwan yang melekat erat
pada Tuhan dalam cinta kasih yang mendalam. Ia bahkan bertekad melampaui
pahlawan-pahlawan suci lainnya.
Pada tahun 1522,
Ignasius Loyola pergi ke biara Benediktin Montserrat, Timur laut Spanyol.
Selama tiga hari berada di sana, ia berdoa dengan tekun dan memohon ampun atas
semua dosanya di masa-masa silam. Semua miliknya diberikan kepada orang-orang
miskin. Niatnya yang sungguh untuk mengabdi Tuhan dan sesama ditunjukkan dengan
meletakkan pedangnya di bawah kaki altar kapel biara itu pada 24 Maret malam
hari.
Keesokan harinya
setelah merayaan ekaristi dan menerima komuni kudus, Ignasius Loyola pergi ke
sebuah gua dekat Manresa. Dia gua ini ia mengalami suasana tenang dan damai yang
menyenangkan. Dan gua itu jugalah yang menjadi tempat kelahiran baru baginya
sebagai seorang “manusia baru”. Meditasi dan doa-doanya selama berada di gua
itu mengaruniakan kepadanya suatu pemahaman yang baru tentang kehidupan rohani.
Pemahaman ini diabadikannya dalam bukunya berjudul “Latihan Rohani” yang masih
relevan hingga sekarang. Dari Manresa, Ignasius Loyola bermaksud berziarah ke
tanah suci untuk menobatkan orang-orang yang belum mengakui Kristus. Tetapi
niat ini dibatalkan karena kondisi negeri Palestina yang tidak memungkinkan.
Sebagai gantinya, ia kembali ke Barcelona, Spanyol.
Pada tahun 1524,
Ignasius Loyola semakin yakin bahwa tugas pelayanan bagi Tuhan dan sesama perlu
didukung oleh pendidikan yang memadai. Karena itu, selama 10 tahun ia berjuang
memperkaya dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan. Ia belajar di Alcala de
Henares (1526 – 1527), Salamanca (1527 – 1528), dan Paris (1528 – 1535) hingga
memperoleh gelar sarjana pada 14 Maret 1535. Masa pendidikan ini menjadikan dia
seorang yang berkepribadian matang, penuh disiplin diri dan berpengetahuan luas
dan mendalam. Kepribadian dan pengetahuan itu sangat penting bagi peranannya
sebagai pemimpin di kemudian hari. Kadang-kadang ia memberikan pelajaran agama
serta bimbingan rohani kepada orang-orang yang datang kepadanya. Tetapi
kegiatannya itu menimbulkan kecurigaan para pejabat Gereja. Sebab, tidaklah
lazim seorang awam mengajar agama dan spiritualitas.
Kariernya sebagai abdi
Allah dimulainya dengan mengumpulkan beberapa orang pemuda yang tertarik pada
karya pelayanan kepada Tuhan dan Gereja-Nya. Pemuda-pemuda yang menjadi
pengikutnya yang pertama, antara lain Beato Petrus Faber, Santo Fransiskus
Xaverius, Diego Laynez, Simon Rodriquez, Alonso Salmeron, dan Nikolas
Bobadilla. Kelompok pertama dari Serikat Yesus ini mengucapkan kaul hidup
religius di kapel biara Benediktin di Montmartre. Selain mengikrarkan ketiga
kaul hidup membiara: kemurnian, ketaatan dan kemiskinan, mereka pun
mengikrarkan kaul tambahan, yakni kesediaan menjalankan karya misioner di tanah
suci di antara orang-orang islam. Ignasius Loyola sendiri kemudian ditahbiskan
menjadi imam pada 14 Juni 1537.
Karena misi ke
Palestina tak mungkin diwujudkan akibat perang waktu itu, maka kaul tambahan
“kesediaan menjalankan karya misi di tanah suci” dibatalkan dan diganti dengan
“pengabdian khusus kepada Sri Paus.” Untuk itu Ignasius Loyola bersama
rekan-rekannya menawarkan diri kepada Paus Paulus III (1534 – 1549) untuk
mengerjakan tugas apa saja yang diberikan oleh paus, dimana saja dan kapan
saja.
Pada 27 September 1540,
Paus Paulus III merestui keberadaan kelompok Ignatian, yang kemudian dikokohkan
menjadi sebuah serikat rohaniwan dengan nama Serikat Yesus. Ignasius Loyola
sendiri diangkat sebagai pemimpin pertama dalam sebuah upacara di basilik Santo
Paulus.
Selama 15 tahun (1541 –
1556) memimpin Serikat Yesus, Ignasius Loyola memusatkan perhatiannya pada
pembinaan semangat religius ordonya. Semboyannya – yang kemudian menjadi
semboyan umum Serikat Yesus – dalam melaksanakan tugasnya ialah “Ad Maiorem Dei
Gloriam”. Ia mendirikan banyak kolese antara lain Kolese Roma (yang kemudian
menjadi Universitas Gregoriana) dan Kolese Jerman yang khusus untuk mendidik
para calon imam untuk karya kerasulan di wlayah-wilayah katolik yang sudah
dipengaruhi oleh reformasi protestan. Selama kepemimpinannnya, Ignasius Loyola
melibatkan imam-imamnya dalam usaha membendung arus pengaruh protestanisme di
Eropa Utara dan dalam pewartaan sabda kepada semua orang katolik tanpa
memandang kelas sosialnya. Ia mengutus Fransiskus Xaverius, sahabat akrabnya,
ke benua Asia yang masih kafir untuk membuka lahan baru bagi karya misioner
Gereja.
Ignasius Loyola dikenal
sebagai seorang rohaniwan yang ramah kepada sesamanya. Kasih sayangnya yang
besar kepada orang-orang sakit dan lemah, anak-anak dan pendidikannya, terutama
orang-orang berdosa banyak kali membuatnya menangis karena memikirkan
kemalangan mereka. Karena itu ia menggugah hati imam-imamnya agar dengan tulus
berkarya di tengah-tengah semua lapisan masyarakat demi menyelamatkan mereka.
Ordo Yesuit yang didirikannya dipoles menjadi sebuah ordo religius yang bebas
dari keketatan aturan hidup monastik lama yang kaku. Sebagai reaksi terhadap
kekejaman Gereja Abad Pertengahan, yang melahirkan reformasi protestan,
Ignasius Loyola menuntut ketaatan mutlak kepada Takhta Suci dan prinsip-prinsip
katolik. Retret yang teratur diupayakannya sebagai suatu sarana ampuh bagi
kedalaman spiritualitas orang-orang kristen.
Sebelum wafatnya pada
31 Juli 1556, Ignasius Loyola menyaksikan keberhasilan ordonya dalam mengabdi
Tuhan dan Gereja-Nya. Provinsi serikatnya pada masa itu telah berjumlah 12
dengan 1000 orang imam dan kira-kira 100 buah biara dan kolese. Ignasius Loyola
dinyatakan sebagai “beato” oleh Paus Paulus V pada 3 Desember 1609 dan kemudian
oleh Paus Gregorius XV ia dinyatakan sebagai “santo” pada 12 Maret 1622.
Ignasius Loyola diangkat sebagai pelindung semua kegiatan rohani oleh Paus Pius
XI pada tahun 1922.
Sumber: Orang Kudus Sepanjang Tahun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar