Minggu, 28 Maret 2021

BOM BUNUH DIRI DAN TANGGAPAN KLASIK


Minggu, 28 Maret 2021, sekitar pukul 10.28 WITA, umat katolik Makasar baru saja selesai mengikuti perayaan Minggu Palma. Belum sempat keluar dari halaman Gereja katedral Makasar, sebuah bom bunuh diri meledak. Tepatnya di dekat pintu gerbang gereja. Menurut kesaksian beberapa orang, pelakunya ada 2 orang, menaiki kendaraan motor-matic. Mereka hendak masuk ke dalam, namun dicegah oleh satpam katedral. Tindakan biadab nan sadis itu menewaskan pelakunya dan melukai sekitar 9 orang serta merusak beberapa kendaraan dan fasilitas umum di sekitarnya.

Berita bom bunuh diri ini sontak menjadi trending topik di media sosial. Beberapa stasiun televisi menjadikannya sebagai breaking news. Yang menarik dari setiap peristiwa aksi terorisme ini adalah tanggapan dari tokoh-tokoh agama islam. Dapat dikatakan bahwa tanggapan tersebut sangatlah klasik, karena tanggapannya ya itu-itu juga. Setiap kali muncul aksi terorisme, apa pun bentuknya, tanggapan tokoh-tokoh agama ini sama saja. Sepertinya tanggapan tersebut sudah direkam, sehingga saat ada aksi terorisme rekaman itu tinggal diputar. Tanggapan itu adalah “Aksi terorisme tidak ada dalam ajaran agama mana pun termasuk islam.” Tanggapan ini sungguh klasik, karena selalu muncul menanggapi setiap aksi terorisme di mana saja, bukan hanya di Indonesia.

Pada aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makasar, tanggapan ini lahir dari mulut wakil ketua MUI, Menteri agama dan tokoh pimpinan ormas islam lainnya. Semuanya menyatakan bahwa aksi bom bunuh diri itu tidak bisa dibenarkan oleh agama, termasuk islam. Di balik pernyataan ini, mereka hendak menegaskan bahwa pelaku bom bunuh diri atau para teroris ini bukanlah umat islam. Atau dengan nada bahasa lain, mereka hendak mengatakan bahwa agama islam tidak mengajarkan tentang terorisme. Karena itu, bila ada umat agama lain mengaitkan terorisme dengan islam, dengan mudah mereka akan dicap “islamfobia” (ini pun klasik).

Berhadapan dengan aksi terorisme atau bom bunuh diri ini, umat non muslim tidak lagi diluputi oleh rasa takut saja, tetapi juga oleh rasa bingung, yang akhirnya bermuara pada rasa muak. Mereka bingung dan muak, bukan karena menghadapi aksi terorisme, tetapi karena menghadapi tanggapan klasik dari tokoh-tokoh agama islam. Bagi mereka tanggapan klasik itu hanyalah upaya pembenaran atau rasionalisasi untuk membenarkan islam dan menyalahkan para teroris. Atau secara sederhana bisa dikatakan bahwa tanggapan klasik itu merupakan upaya “mencuci tangan”.

Dasar kebingungan dan kemuakan itu muncul ketika orang berusaha mencerna jawaban atas pertanyaan: benarkah terorisme itu bukan islam? benarkah para teroris itu bukan pemeluk islam?

Pertanyaan itu memang tidaklah sulit. Sebagian besar umat islam tentu langsung menjawab bahwa terorisme itu bukan islam dan bahwa para teroris itu bukan pemeluk islam, karena islam tidak mengajarkan kekerasan. Mereka lantas mengutip istilah Arab untuk menggambarkan seperti apa agama islam itu: rahmatan lil alamin. Akan tetapi, justru jawaban umat islam inilah yang menjadi pemicu kebingungan bagi umat non muslim, karena dengan mata kepala mereka sendiri mereka melihat para pelakunya adalah umat islam. Dari berita-berita diketahui bahwa para teroris melakukan aksinya berdasarkan ajaran islam. Hal ini didukung dengan buku-buku yang berhasil disita oleh pihak polisi.

Sekedar perbandingan, kebingungan ini dapat dibandingkan dengan soal aksi intoleransi atau radikalisme. Rakyat Indonesia sudah tahu kalau FPI dengan Habib Rizieq-nya itu selalu diidentikkan dengan intoleransi, atau Abu Bakar Ba’asyir itu selalu diidentikkan dengan radikalisme. Tokoh-tokoh islam selalu menegaskan bahwa islam itu agama yang toleran, dan bahwa radikalisme itu bertentangan dengan ajaran islam. Namun, siapa yang berani mengatakan bahwa Habib Rizieq dan Abu Bakar Ba’asyir bukan islam; bahwa mereka tidak melaksanakan ajaran islam?

Demikianlah halnya terkait dengan aksi terorisme atau bom bunuh diri. Sudah jadi rahasia umum kalau islam itu dikaitkan dengan terorisme dan radikalisme. Akarnya ada dalam Al-Qur’an. Ada ayat perang dan ayat membunuh dalam Al-Qur’an. Dan umat islam terpanggil untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an. Karena itu, bisa dikatakan bahwa para pelaku teror sedang menjalankan ajaran agamanya, yaitu agama islam. Dan karena dasar aksinya itu ada dalam Al-Qur'an, hal ini membuat terorisme sulit dibasmi.

Rasionalisasi sebagai tanggapan klasik justru membuat umat non muslim merasa muak. Yang membuat orang tambah muak adalah tanggapan klasik itu hanya sebatas retorika belaka. Ketika para teroris ini melakukan aksinya dengan dasar ayat-ayat Al-Qur’an, tokoh-tokoh islam hanya memberikan tanggapan dengan beretorika tanpa dasar. Inilah yang membuat orang merasa muak.

Sudah seharusnya tokoh islam, dengan semangat rendah hati membuka topeng-topeng kemunafikannya. Sudah saatnya umat islam dengan jujur dan tulus mengakui bahwa terorisme itu adalah islam. Pengakuan jujur ini tentulah akan menghilangkan rasa bingung dan muak tadi, dan menyisakan rasa takut. Akan tetapi, rasa takut ini akan bisa berlalu bila umat agama lain akhirnya menyadari dan mengetahui sumber ketakutan itu. Ketakutan itu umumnya bisa muncul dari situasi yang sama sekali belum diketahui. Tapi, bila itu sudah diketahui tentulah ketakutan itu akan berkurang atau bahkan hilang sama sekali.

Dabo Singkep, 28 Maret 2021

by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar