Rabu, 18 November 2020

KESESATAN PIKIR DALAM RUU LARANGAN MIKOL


Publik Indonesia kembali dihebohkan dengan munculnya wacana pelarangan minuman beralkohol (mikol) di Indonesia. Wacana ini bukan sekedar basa basi, tetapi bakal jadi kenyataan karena wacana tersebut sudah tertuang dalam Rancangan Undang-undang (RUU). Dan sebagaimana biasa, reaksi pro kontra pun bermunculan. Terlihat bahwa masing-masing pihak hanya melihat dari sudut pandangnya saja. Misalnya, pihak pro mendukung RUU ini karena melihat dampak buruk dari mikol. Argumentasinya tak jauh beda dengan apa yang ada dalam RUU tersebut. Sementara pihak kontra menolak karena melihat dampak negatif ekonomi yang ditimbulkan oleh RUU tersebut.

Di sini kami tidak mau mengulangi argumentasi-argumentasi pro kontra tersebut. Dalam tulisan ini kami hanya ingin mengungkap kesesatan logika pembuat RUU ini. Setelah membaca RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol secara utuh (termasuk juga penjelasannya), kami mencoba menggambarkan jalan pikiran yang ada dalam RUU ini. Seperti inilah jalan pikirannya: Ada mikolada orang mabukada ekses: tindak kejahatan yang menggangu kenyamanan masyarakat, dan masalah gangguan kesehatan.

Akan tetapi, sepertinya jalan pikiran pembuat RUU ini terbalik. Pembuat RUU ini memulai dari ekses yang ada di tengah masyarakat, dan langsung menuju kepada mikol sebagai biangnya. Dengan cara berpikir seperti ini akhirnya pembuat RUU langsung melompat kepada kesimpulan untuk melarang mikol. Inilah lompatan pikiran, yang menyebabkan mikol berada pada pihak yang disalahkan. Karena lompatan ini ada beberapa alur pikir yang terlewati. Salah satu alur pikir yang terlewati adalah penyalah-gunaan mikol.

Harus jujur diakui bahwa mikol tidak salah dan tidak jahat. Mikol bukan penyebab langsung tindak kriminal di tengah masyarakat dan juga gangguan kesehatan. Keberadaan mikol justru bisa berdampak langsung bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Karena itu, dalam islam Allah SWT mengizinkan umat islam untuk membuat miras dan menjualnya sehingga mendatangkan rezeki (QS 16: 67). Di sini tampak bahwa Al-Qur’an menyatakan mikol tidak dilarang sama sekali, malah dianjurkan. (Lebih lanjut baca: Ajaran Islam tentang Miras dan Apa Kata Allah SWT dan Muhammad SAW tentang Miras)

Kebijakan langsung melarang mikol, sebagaimana alur pikir pembuat RUU ini justru malah berdampak pada dimensi kehidupan lainnya. Sepertinya pembuat RUU ini menutup mata terhadap dimensi-dimensi ini. Perlu diketahui, ada beberapa daerah di Indonesia yang dikenal sebagai daerah penghasil mikol. Ada banyak orang mendapatkan kehidupan yang layak dari hasil menjual mikol. Bagi sebagian masyarakat, itulah sumber ekonomi mereka. Pelarangan mikol jelas-jelas bertentangan dengan hak atas penghidupan yang layak dan memilih pekerjaan, sebagaimana tertuang dalam pasal ayat [2] dan pasal 28E ayat [1] UUD 1945.

Cara berpikir pembuat RUU ini sungguh sesat dan berbahaya bila diterapkan juga pada hal-hal lain. Misalnya, kita buat perbandingan dengan terorisme. Jalan pikirannya kurang lebih sama: ada agama ada teroris ada ekses, yaitu keresahan masyarakat. Sudah jadi rahasia umum kalau islam merupakan agama teror, karena para teroris mendasarkan tindakannya pada ajaran agama. Hanya sekedar menyebut misalnya QS 2: 191; QS 4: 91; QS 8: 12; QS 9: 5, 12, 14, 73, 123; QS 33: 26; QS 59: 2; QS 66: 9. Jika kita menggunakan cara pikir pembuat RUU ini, maka logikanya adalah melarang agama yang melahirkan teroris. Beranikah pembuat undang-undang melakukan hal itu? (Tentang islam dan terorisme, silahkan baca: Catatan Lepas Buku "Sejarah Teror", Islam, ISIS dan Terorisme, Islam dan Radikalisme)

Perbandingan lain dapat kita temui dalam soal senjata tajam (sajam). Jalan pikirannya seperti ini: ada sajamada pembunuhada ekses, yaitu tindak kriminal yang meresahkan masyarakat. Ada pembunuhan, ada perampokan, ada begal, ada tawuran, dll. Artinya, ada banyak tindak kriminal yang menggunakan senjata tajam, seperti pisau dan parang, yang melahirkan banyak korban, baik luka, cacat permanen maupun meninggal dunia. Jika memakai cara pikir pembuat RUU ini, maka logikanya adalah melarang senjata tajam yang membuat resah masyarakat.

Pembuat RUU ini sepertinya lupa kalau masih banyak orang membutuhkan mikol, bukan untuk menyalah-gunakannya tetapi untuk kepentingan positif lainnya. Sama seperti masih banyak orang yang membutuhkan agama, yang telah dibajak oleh teroris; atau masih banyak orang yang membutuhkan senjata tajam untuk kebutuhan positp lainnya. Tindakan pelarangan justru menghilangkan juga sisi positip yang ada.

Karena itu, adalah bijak jika mikol tidak dilarang. Mikol bukanlah subyek permasalahan; ia hanyalah korban dari penyalah-gunaan. Untuk menghindari dampak buruk yang lahir dari penyalah-gunaannya, sebagaimana tertuang dalam RUU ini, maka yang ditindak adalah orang yang menyalah-gunakan mikol. Mungkin langkah awalnya adalah mengubah judulnya menjadi RUU tentang Larangan Penyalah-gunaan Minuman Beralkohol. Terkait dengan ini, maka harus ada beberapa perubahan, khususnya pada klasifikasi, larangan dan ketentuan pidana.

1.    Pasal 4: yang dilarang adalah mikol oplosan. Yang dimaksud dengan mikol oplosan adalah mikol yang di dalamnya ada campuran bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan, seperti obat nyamuk.

2.    Pasal 5: yang dilarang adalah memproduksi mikol yang mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi keselamatan jiwa (seperti oplosan dengan bahan obat nyamuk). Jika campuran atau racikan bahan yang berguna bagi kesehatan, tentulah tidak masalah. Mikol golongan A, B, dan C umumnya sudah berlabel, dan jelas siapa yang memproduksinya, sehingga produsennya mudah diminta pertanggung-jawaban jika terjadi penyalah-gunaan produksi.

3.    Pasal 6: yang dilarang adalah mengedar dan menjual mikol oplosan atau mikol yang tak jelas kandungannya, atau tahu jelas bahwa kandungannya dari bahan-bahan yang berbahaya, seperti obat nyamuk. Mikol golongan A, B, dan C sudah jelas kandungan dan kadar alkoholnya sehingga tak masalah untuk diedar dan dijual.

4.    Perlu ditambah larangan untuk mengedar dan menjual mikol, apapun jenis dan golongannya, kepada anak di bawah usia 19 tahun.

5.    Pasal 7: yang dilarang adalah mengonsumsi mikol secara berlebihan sehingga berdampak pada mabuk yang negatif. Perlu diketahui bahwa ada mikol tradisional dan mikol campuran untuk kesehatan, yang baru bisa berdaya-guna jika diminum.

6.    Perubahan pada pasal 5 – 7 berdampak pada penghapusan pasal 8.

7.    Pasal 9 lebih baik dimasukkan ke Bab IV, Pengawasan.

8.    Sanksi berat seharusnya diberikan kepada penyalah-guna mikol.

a)   Sanksi pidana penjara 5 – 20 tahun atau denda Rp. 1 – 2 miliyar diberikan kepada mereka yang mengonsumsi mikol secara berlebihan sehingga berdampak pada mabuk yang negatif. Jika dampak negatif itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 18.

b)   Sanksi pidana penjara 5 – 15 tahun atau denda Rp. 500 juta – 1 miliyar diberikan kepada mereka yang memproduksi mikol oplosan (campuran dengan bahan-bahan yang tak lazim). Jika akibat perbuatannya ini mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 19.

c)   Sanksi pidana penjara 2 – 10 tahun atau denda Rp. 100 juta – 500 juta diberikan kepada mereka yang mengedar dan menjual mikol oplosan (campuran dengan bahan-bahan yang tak lazim) dan/atau mengedar dan menjual mikol kepada anak di bawah usia 19 tahun. Jika akibat penjualannya itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 20.

d)   Sanksi pidana penjara 6 bulan – 5 tahun atau denda Rp. 10 – 100 juta diberikan kepada orangtua yang anaknya kedapatan mengonsumsi, mengedarkan dan menjual mikol. Jika akibat perbuatan anak itu mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, maka pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga). Ini perubahan pasal 21.

Demikianlah perubahan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol sebagai konsekuensi dari penanganan langsung ke subyek permasalahan. Subyek masalah sebenarnya bukan mikol, tetapi manusia yang menyalah-gunakan mikol tersebut. Jika mikol dipakai sebagaimana seharusnya, mikol malah mendatangkan manfaat, baik itu kesehatan, hiburan dan juga ekonomi. Memanfaatkan mikol dengan baik dan benar justru sejalan dengan UUD 45 pasal ayat [2] dan pasal 28E ayat [1].

Selain memaparkan kesesatan pikir yang ada dalam RUU ini, kami juga hendak mengungkapkan beberapa catatan terkait pasal-pasal tertentu. Pastinya pasal-pasal yang termasuk dalm perubahan tidak termasuk. Pertama-tama kami memfokuskan pada pasal 3 yang berisi tujuan dari larangan mikol. Pembuat RUU ini tidak sadar kalau tujuan pelarangan mikol berdampak pada hal-hal lain, yang justru merugikan masyarakat. Sebenarnya ada banyak cara untuk melindungi, menumbuhkan kesadaran secara menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum mikol tanpa harus melenyapkan sama sekali mikol. Misalnya dengan iklan-iklan di media cetak dan elektrik, baliho atau dengan membuat sanksi pidana yang sangat berat bagi mereka yang kedapatan mabuk dan bikin rusuh.

Dalam RUU tersebut, ada kesan bahwa pasal 8 bertentangan dengan pasal 3, atau jika tidak mau dikatakan bertentangan bisa dikatakan larangan atas mikol adalah larangan setengah hati. Harus disadari bahwa akar permasalahan terletak pada penyalah-gunaan. Kita tahu bahwa penyalah-gunaan mikol yang berdampak pada keresahan masyarakat dan dampak negatif lainnya bisa terjadi dimana saja, entah itu pada upacara adat-keagamaan, di lokasi wisata atau juga di tempat-tempat yang diizinkan oleh hukum.

Kami tidak menemukan masalah pada Bab IV, V dan VII. Khusus bab IV ada penambahan pasal, yaitu pasal 9. Akan tetapi, perlu juga dipertimbangkan untuk melibatkan pihak produsen atau distributor mikol untuk membiayai sosialisasi akan bahaya penyalah-gunaan mikol (bandingkan dengan rokok) dan juga rehabilitasi korban kecanduan mikol.

Pada Penjelasan Atas RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, khusus pada paragraf 4 bagian UMUM, pembuat RUU ini mengatakan bahwa mikol bertentangan dengan norma agama. Ada kesan bahwa pembuat RUU ini mau mencari dukungan dari agama agar RUU ini tidak mendapat perlawanan. Karena orang yang menentang RUU ini pasti akan berhadapan dengan “dakwaan” agamanya. Kita dapat mengajukan pertanyaan, agama mana yang terang-terangan melarang mikol? Jangan hanya sekedar mengatas-namakan agama sementara agama sendiri tidak melarang. Yang jelas-jelas dilarang oleh agama adalah penyalah-gunaan mikol. Secara sederhana, agama melarang umatnya untuk tidak mabuk oleh mikol.

Dabo Singkep, 17 November 2020

by: adrian, seorang penikmat mikol

Tidak ada komentar:

Posting Komentar