Tanggal 2 – 3 Desember 2014, para romo, yang berada di
wilayah Kevikepan Bangka Belitung, mengadakan rekoleksi di Puri Sadhana, Kebun
Sahang. Pada hari pertama, Romo Vikep menghantar kami dalam permenungan. Romo,
yang berperan juga sebagai Pastor Kepala Katedral, menyajikan bahan refleksinya
dari ensiklik Paus Fransiskus, Evangelii
Gaudium. Topik yang di-share-kan
adalah godaan-godaan yang dihadapi para petugas pastoral.
Topik ini sangat menarik mengingat posisi saya dan
rekan-rekan lainnya sebagai petugas pastoral. Romo Vikep sendiri menyatakan
bahwa topik ini memang menarik. Yang menjadi daya tariknya adalah kata
“godaan”. Bukankah godaan itu selalu menarik? Hawa jatuh ke dalam dosa karena
ia melihat buah pohon itu menarik hati karena memberi pengertian (Kej 3: 6).
Lantas apa saja yang menjadi godaan-godaan kami pada imam,
yang adalah petugas pastoral? Perlu disadari bahwa godaan itu sekaligus juga
tantangan dalam mewartakan kabar sukacita.
Ada beberapa poin godaan dan sekaligus tantangan. Semua poin
itu menarik bagi saya, dan sangat mengena pada kehidupan saya. Akan tetapi saya
lebih terkesan dan tertarik dengan poin keenam. Kata kuncinya adalah pertikaian
dan perselisihan di antara petugas pastoral. Tema ini menjadi menarik karena ia
begitu aktual. Ada banyak imam hidup dalam pertikaian dan perselisihan. Saya
sendiri pun pernah mengalaminya.
Namun, ada satu hal yang perlu saya sampaikan. Bukan berarti
saya mau membantah topik atau bahan refleksi itu; dan bukan pula saya mau
membela diri. Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa tidak semua perselisihan
dan pertikaian itu negatif. Kebanyakan orang menilai, sebagaimana juga
dikatakan dalam bahan refleksi itu, bahwa perselisihan dan pertikaian itu
disebabkan karena cemburu dan hanya mementingkan kepentingan pribadi. Padahal
tidaklah selalu demikian. Tak sedikit orang berselisih demi kebaikan dan
kebenaran.
Tuhan Yesus, selama hidup-Nya, selalu berselisih dengan kaum
Farisi, Saduki, para imam dan ahli-ahli Taurat. Yesus sering mengecam mereka.
Apa lantas bisa dikatakan Yesus cemburu dan hanya mementingkan kepentingan diri
sendiri? Sama sekali tidak. Justru beberapa kali terlihat merekalah yang iri
hati terhadap Yesus. Dan lewat perselisihan itu Tuhan Yesus mau menunjukkan
kebenaran dan kebaikan, bukan untuk diri-Nya, melainkan untuk mereka dan umat
manusia.
Demikian dalam kehidupan para imam. Ada beberapa imam,
termasuk saya, suka mempermasalahkan soal keuangan di keuskupan ini (kebetulan
pula, dalam materi refleksi ada penyebutan “pendewaan uang” sebagai salah satu
bentuk godaan). Ada imam terima gaji tetapi tidak mau setor ke keuskupan, meski
ada aturan yang menghendaki demikian. Nah, imam-imam yang mempermasalahkan hal
ini sehingga menimbulkan pertikaian dan perselisihan, menurut pribadi saya, bukan
lantaran cemburu. Kami melakukannya demi kebenaran dan keadilan. Bukan untuk
diri kami pribadi, melainkan untuk keuskupan.
Sebuah ironisme terjadi ketika para imam membicarakan soal
situasi keuangan seminari. Ekonom mengatakan bahwa seminari butuh bantuan dana.
Banyak sumbang saran terlontar, yang ujung-ujungnya kembali ke umat. Paroki
harus membuat kolekte kedua atau khusus untuk seminari setiap bulan. Seorang imam
mengatakan kepada saya, seandainya rekan-rekan imam yang menerima gaji
menyerahkan gajinya ke keuskupan dan cukup puas dengan uang sakunya, maka tidak
ada masalah keuangan di seminari. Gaji para imam itu bisa menutupi kesulitan
dana seminari. Persoalannya ada pada kemauan: mau tidak mereka menyerahkannya;
mau tidak Bapak Uskup “mengeksekusi” peraturan yang sudah ada.
Atau ada imam, termasuk juga saya, mempersoalkan rangkap
jabatan. Bukan karena kami cemburu tidak punya banyak jabatan atau karena nafsu
akan jabatan, melainkan demi keuskupan. Fakta sudah membuktikan ada banyak tugas-tugas
yang diemban oleh seorang rekan imam terbengkelai. Tugas sekretariat kacau,
paroki terbengkelai. Kami hanya ingin keuskupan ini menjadi baik. Untuk itu,
terjadilah perselisihan.
Saya pribadi juga pernah berselisih dengan sesama rekan imam.
Waktu itu dia sebagai pastor paroki, sedangkan saya sebagai pastor pembantu.
Yang menjadi topik permasalahan kami adalah keuangan paroki. Bagi saya,
keuangan paroki itu amat sangat misterius. Tidak ada yang boleh mengetahui
keuangan paroki selain pastor paroki dan (bendahara) paroki. Saya, sebagai
pastor pembantu, pun tidak diperkenankan untuk tahu, bahkan dihalang-halangi
untuk mengetahuinya. Karena itu, saya mengecam. Saya menuntut agar diadakan
transparansi keuangan. Saya dinilai sangat berbahaya, sehingga selalu
diusahakan untuk disingkirkan atau dijauhkan dari paroki itu. Dari sini orang
lantas menilai kami berselisih.
Akan tetapi, saya tegaskan bahwa perselisihan itu bukan
disebabkan karena saya cemburu atau nafsu jabatan. Saya juga tidak sedang
memperjuangkan kepentingan pribadi. Saya hanya meminta transparansi keuangan.
Bagi saya transparansi merupakan wujud pertanggungjawaban kita kepada umat.
Uang paroki adalah uang umat. Uang itu harus digunakan untuk kepentingan
pastoral, pengembangan iman umat. Yang sering terjadi adalah ketika umat mau
mengadakan kegiatan pastoral, misalnya rekoleksi atau retret, selalu saja
menemui kendala dalam soal biaya. Pastor paroki selalu beralasan tidak ada
uang. Karena itu, beberapa kali saya mengadakan kegiatan pastoral dengan
menggunakan uang pribadi.
Jadi, sama sekali tidak ada rasa cemburu atau mementingkan
kepentingan pribadi. Saya berselisih dengan pastor paroki demi kebenaran dan
kebaikan bersama. Bagi saya, dengan transparansi maka pastor paroki tidak akan
jatuh ke dalam dosa korupsi dan uang bisa digunakan sebagaimana mestinya.
Apakah saya memusuhi pastor paroki itu? Berselisih dan
bertikai tidaklah harus berakhir dengan permusuhan, meski ia berpotensi ke
sana. Saya tidak mengadakan permusuhan dengan mantan pastor paroki, walau kami
pernah terlibat dalam perselisihan dan saya tahu bahwa paroki itu belum juga
melakukan transparansi keuangan. Beberapa kali kami bertemu dan berbicara
seperti biasa. Sekali saya kembali ke paroki itu bersamanya dalam satu kapal.
Kami ngobrol bersama di atas kapal. Sama sekali saya tidak memusuhinya. Saya
tidak tahu dengan dirinya terhadap saya.
Pangkalpinang, 7 Desember 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar