BELAJAR DARI SANTO YUSUF
Kita sudah kenal sosok Santo
Yusuf. Dia adalah tukang kayu. Sebagai tukang kayu, ia menggantungkan hidupnya
pada orang lain yang memanfaatkan jasa pelayanannya. Itu terletak pada hasil
kerjanya. Jika hasil kerjanya tidak bagus, mungkin karena dikerjakan dengan
tidak bertanggung jawab, tentulah orang akan meninggalkannya. Sebaliknya jika
hasil kerjanya bagus memenuhi harapan orang, tentulah orang akan setia padanya.
Dan itu terletak pada kinerjanya. Dan itulah sosok Santo Yusuf, suami Maria dan
ayah dari Tuhan Yesus.
Hari ini Gereja Katolik
merayakan sosok tersebut. Sebagaimana biasanya, salah satu tujuan Gereja
menetapkan hari raya atau peringatan orang kudus adalah agar umat menimba
teladan iman mereka. Satu teladan yang mau diberikan Santo Yusuf untuk
kehidupan kita adalah sikap mendengarkan.
Kalau kita baca Injil Matius
1: 18 – 24 (yang menjadi bacaan liturgi Hari Raya St. Yusuf), dikatakan bahwa
Santo Yusuf sudah sampai pada keputusan untuk meninggalkan Maria. Alasannya
adalah karena Maria sudah hamil, padahal mereka belum resmi menjadi suami
istri. Kita bisa tahu apa akibatnya jika mereka tidak jadi menikah, sementara
Maria lagi hamil. Tentulah publik akan menuduh Maria telah berbuat zinah. Dan
kita tahu apa hukuman bagi orang yang berbuat zinah: Mati dengan cara dirajam.
Tapi semua itu tidak terjadi
karena akhirnya Yusuf kembali menerima Maria menjadi isterinya. Ini disebabkan
karena Yusuf mau mendengarkan suara
Tuhan dalam mimpinya. Dan di sinilah letak keutamaan Yusuf: mendengarkan,
bukan hanya suara dirinya sendiri melainkan suara yang berasal dari luar
dirinya.
Salah satu penyakit manusia
dewasa ini adalah ketidak-mauan dan ketidak-mampuan untuk mendengarkan suara
dari luar dirinya sendiri. Manusia jatuh dalam egoismenya. Hal ini didukung
dengan kemajuan teknologi. Perhatikanlah di jalan-jalan. Sebagian besar orang
berjalan lalu lalang dengan headset
di telinganya. Orang sibuk dan tenggelam dalam dunianya sendiri tanpa peduli
pada suara sesamanya.
Ketidak-mampuan mendengarkan
bukan hanya dilakukan oleh awam, melainkan juga para imam. Misalnya, disaat
acara rekoleksi atau pertemuan, ada orang sibuk dengan gadgetnya, tanpa peduli
pada pembicaraan yang sedang berlangsung. Fenomena ketidak-mauan mendengarkan juga
terjadi pada para pemimpin negeri ini. Mereka sepertinya sudah tak peduli lagi
pada suara-suara rakyat kecil yang tertindas.
Oleh karena itu, pada hari
raya Santo Yusuf ini, kita diajak untuk menumbuhkan kesadaran dan kemampuan
untuk mendengarkan suara Tuhan termasuk sesama kita. Dengan mau mendengarkan
suara di luar diri kita, berarti kita berani menanggalkan egoisme kita.
by: adrian
Baca juga tulisan lain:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar