Senin, 01 September 2014

(Refleksi) Mundur dari Jabatan

MUNDUR DARI JABATAN
Ketika Paus Benediktus XVI menyatakan pengunduran dirinya pada tanggal 28 Februari 2013, sontak dunia merasa terkejut. Ada perasaan aneh dan tak percaya pada berita dan keputusan itu. Orang merasa aneh karena mereka jarang menemukan peristiwa seperti itu. Dalam catatan sejarah memang jarang sekali Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik ini mengundurkan diri. Tercatat ada tiga Paus yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Pertama sekali adalah Paus Selestinus V (1294) diikuti Paus Gregorius XII (1415) dan yang terakhir adalah Benediktus XVI. Umumnya pergantian pimpinan ini terjadi karena kematian. Contoh terakhir adalah peralihan dari Yohanes Paulus II ke Benediktus XVI. Terpilihnya Paus Benediktus XVI karena takhta kosong setelah kepergian Yohanes Paulus II, yang meninggal dunia pada 2 April 2005.

Hal ini juga yang membuat orang merasa tak percaya. Orang melihat bagaimana Yohanes Paulus II “mempertahankan” jabatan kepausannya hingga akhir hayatnya. Sekalipun berbagai penyakit menderanya, tatap saja beliau bertahan di Takhta Santo Petrus. Hanya kematian saja yang menghentikannya. Kebanyakan orang berpikir bahwa Paus Benediktus XVI akan mengikuti langkah beliau dalam mempertahankan jabatan. Ternyata keputusannya lain.

Mundur dari jabatan, khusus pimpinan tinggi, juga bukan menjadi sesuatu yang baru dalam sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Sejak berstatus Prefektur Apostolik Bangka Belitung hingga berstatus Keuskupan Pangkalpinang, dominasi mundur sangat dominan. Berawal dari Mgr. Theodorus Herkenrath, sebagai Prefektur Apostolik yang pertama. Dialah pimpinan tinggi Gereja Keuskupan Pangkalpinang yang mengundurkan diri dari jabatannya (tahun 1926 mengajukan permohonan, 1928 permohonan mundur dikabulkan). Posisi beliau diganti Mgr. Vitus Bouma, yang meninggal dunia sebagai tawanan perang. Masa jabatan Mgr. Bouma sebenarnya masih panjang, namun dihentikan oleh kematian.

Untuk mengisi kekosongan jabatan ini, Vatikan memilih Mgr. Marcellinus van Soest sebagai Administrator Apostolik. Jabatan Administrator Apostolik hanyalah bersifat sementara hingga muncul pejabat resminya. Artinya, jika suatu saat Gereja Keuskupan Pangkalpinang sudah mempunyai pimpinan barunya, maka Mgr. van Soest mundur secara otomatis. Itulah yang terjadi ketika Vatikan memilih Gabriel van der Westen sebagai Vikaris Apostolik Pangkalpinang. Ini sebagai konsekuensi atas perubahan status dari Prefektur Apostolik ke Vikaris Apostolik.

Setelah kurang lebih 28 tahun berkarya, dan meskipun waktu pensiunnya masih panjang, Mgr. van der Westen memilih mundur dari jabatannya. Sekali lagi kasus seperti Mgr. van Soest terjadi lagi. Vatikan memilih Rolf Reichenbach sebagai Administrator Apostolik. Posisi Mgr. Reichenbach segera berhenti sejak terpilihnya Hilarius Moa Nurak sebagai Uskup Keuskupan Pangkalpinang. Hingga saat ini Gereja Keuskupan Pangkalpinang masih dipimpin oleh Mgr. Hilarius. Tercatat empat tahun lagi beliau memasuki usia pensiun. Artinya, empat tahun lagi beliau masih akan memimpin keuskupan ini lalu berhenti.

Jadi, keputusan mundur dari jabatan bukanlah sesuatu hal yang baru dalam sejarah Gereja Keuskupan Pangkalpinang. Malah bisa dikatakan bahwa keputusan mundur lebih dominan. Bagaimana dengan uskup sekarang ini? Apakah empat tahun lagi baru berhenti atau dalam masa empat tahun ini beliau memilih mundur? Hanya Tuhan dan beliau saja yang tahu.

Ada banyak alasan kenapa orang berusaha mempertahankan jabatannya. Selain karena kenyamanan dengan jabatan itu, mundur juga dilihat sebagai keputusan seorang pengecut. Banyak orang berpikir bahwa keputusan mundur akan mendatangkan aib. Makanya banyak orang Indonesia, entah di lembaga sipil pemerintahan maupun Gereja, malu untuk menyatakan mundur dari jabatan. Inilah yang selalu ada dalam alam pikiran orang Indonesia.

Mundur dari jabatan memang membutuhkan jiwa besar. Ada beberapa alasan kenapa orang memilih untuk mundur. Pertama, karena kegagalan dalam memimpin. Keputusan mundur dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral. Hanya orang yang berjiwa besar yang memiliki rasa tanggung jawab moral ini. Kedua, keterbatasan diri. Orang rendah hati dapat melihat dan menyadari kemampuannya yang terbatas dalam memimpin sebuah institusi. Hanya orang yang berjiwa besar yang memiliki sifat rendah hati. Inilah yang terjadi pada Paus Benediktus XVI, Mgr. Herkenrath dan Mgr. van der Westen. Mereka mau mengakui keterbatasan kemampuan mereka. Ketiga, memberi kesempatan luas terjadinya suksesi kepemimpinan.

Dapatlah dikatakan bahwa orang yang berani mengambil keputusan mundur dari jabatannya adalah orang yang TAHU DIRI. Mereka tahu kalau dirinya telah gagal dalam memimpin. Pernyataan gagal ini benar-benar didapat dari hasil refleksi pribadi yang mendalam. Mereka tahu kalau dirinya memiliki keterbatasan. Ada banyak hal yang membatasi diri orang dalam memimpin. Misalnya faktor usia yang membuat daya kritis seseorang menurun sehingga ia tidak bisa lagi memberi penilaian yang bijaksana. Mereka juga tahu kalau jabatan bukanlah miliknya selamanya. Jabatan hanyalah sebuah amanah yang dipercayakan kepadanya.
Batam, 16 Agustus 2014
by: adrian
Baca juga:
3.      Belajar dari Jepang
5.      Manajemen Rotasi
6.      Pemimpin dari Dalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar