ANTARA FAKTA, PERSEPSI DAN KEBENARAN
Pastor Eko adalah mantan pastor pembantu Paroki A. Pastor Eko
pernah berkata bahwa di Paroki A telah terjadi kasus korupsi. Yang mencuri uang
Gereja atau yang melakukan korupsi adalah Pastor Paroki; dan kemungkinan juga
bendahara paroki.
Untuk membenarkan pernyataannya, Pastor Eko memberikan
beberapa fakta. Pertama, tidak ada
transparansi keuangan di paroki A. Soal keuangan hanya Pastor Paroki dan bendahara
paroki saja yang tahu. Bahkan Pastor Eko dihalang-halangi untuk mengetahui
keuangan. Kedua, setidaknya dua kali
Pastor Eko menemukan ketidakcocokan data kolekte yang dicatat oleh petugas
penghitung uang dengan yang diumumkan di gereja. Pastor Eko pernah
menceritakan hal ini kepada salah seorang umat, dan umat itu menegaskan bahwa
kasus ini pernah juga terjadi sebelum Pastor Eko di Paroki A. Ketiga, Pastor Paroki selalu menghindar
jika diminta pertanggungjawaban keuangan. Keempat,
HP Pastor Paroki selalu gonta-ganti; dan harganya mahal-mahal.
Pernyataan Pastor Eko dengan segala dasar pembenarannya sampai
ke telinga umat dan beberapa rekan imam lainnya. Mereka semua pada percaya. Mereka
percaya bahwa telah terjadi korupsi di Paroki A; atau setidak-tidaknya Pastor
Paroki A telah melakukan tindak korupsi. Sikap percaya yang tumbuh dalam diri
umat dan beberapa rekan imam membuat pernyataan “Pastor Paroki A melakukan
korupsi” telah menjadi sebuah kebenaran.
Akan tetapi, menjadi persoalan, apakah benar Pastor Paroki A melakukan korupsi? Atau dengan kata lain, apakah pernyataan “Pastor Paroki A melakukan korupsi” merupakan suatu kebenaran?
Akan tetapi, menjadi persoalan, apakah benar Pastor Paroki A melakukan korupsi? Atau dengan kata lain, apakah pernyataan “Pastor Paroki A melakukan korupsi” merupakan suatu kebenaran?
Fakta, Persepsi dan
Kebenaran
Dari contoh kasus di atas, setidaknya ada tiga hal berbeda yang
terpisah namun disatukan. Ketiga hal itu adalah fakta, persepsi dan kebenaran. Dalam
kasus di atas, ada empat fakta. Dari fakta ini lahirlah persepsi: “Pastor
Paroki A melakukan korupsi” atau “Di Paroki A telah terjadi kasus korupsi yang
dilakukan Pastor Paroki, juga bendahara paroki.” Dan dari persepsi muncullah
kebenaran: “Pastor Paroki A (mungkin juga bendahara paroki) melakukan korupsi”.
Di sini terlihat bahwa orang menggabungkan begitu saja ketiga
hal itu, antara fakta, persepsi dengan kebenaran. Orang merasa bahwa persepsi
itu sama dengan fakta. Lantas orang berpikir bahwa persepsi adalah kebenaran, karena
mereka menilai bahwa kebenaran itu sama
dengan persepsi. Jelas, ini merupakan kekeliruan berpikir.
Persepsi itu bukanlah fakta, meski ia lahir darinya. Demikian
pula persepsi itu bukanlah kebenaran. Fakta, persepsi dan kebenaran berbeda
satu sama lain. Oleh karena itu, ada baiknya terlebih dahulu orang memahami
arti dan makna dari ketiga istilah itu.
Fakta, menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, adalah segala
sesuatu yang tertangkap oleh indra manusia atau data keadaan nyata yang
terbukti dan telah menjadi suatu kenyataan. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa
fakta merupakan sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi. Seperti dalam
kasus di atas, empat contoh yang dikemukakan Pastor Eko adalah memang fakta,
karena semuanya benar-benar ada dan terjadi. Semua itu dialami sendiri oleh
Pastor Eko.
Masih dari Wikipedia Bahasa Indonesia, kita dapat mengatakan
bahwa persepsi itu merupakan tindakan menyusun, mengenali dan menafsirkan
informasi indrawi guna memberi gambaran dan pemahaman. Secara ringkas bisa
dikatakan bahwa persepsi adalah proses seseorang mengetahui sesuatu hal melalui
pancaindranya. Pernyataan Pastor Eko bahwa Pastor Paroki A (dan juga
kemungkinan bendahara paroki) korupsi adalah sebuah “pengetahun”, yang didapat
dari fakta-fakta yang ada. Semua fakta yang dia lihat, dia dengar dan dia
rasakan (informasi inderawi) itu disusun, dikenali dan kemudian ditafsirkan. Dari
sini lahirlah gambaran dan pemahaman, yang biasa juga disebut pendapat atau opini. Dan itulah persepsi.
Apa itu kebenaran? Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
kebenaran adalah persesuaian antara pengetahuan dan obyek. Martin Heidegger,
seorang filsuf eksistensialisme, mengatakan bahwa kebenaran berarti tidak tersembunyi. Martin berangkat
dari arti kata kebenaran dalam bahasa Yunani, yaitu Aletheia (a= tidak; theia= tersembunyi). Jadi, sesuatu itu benar
jika tampil apa adanya, tanpa rekayasa dan pemalsuan serta embel-embel, yang
justru menutup atau menyembunyikan keaslian. Secara ringkas bisa dikatakan,
antara obyek dan pengetahuan terjadi kecocokan.
Dengan kata lain, kebenaran itu merupakan pembuktian
pengetahuan, sehingga melahirkan kesesuaian dengan obyek. Dalam kasus di atas,
yang dimaksud dengan pengetahuan itu adalah persepsi, yaitu “Pastor Paroki A
(dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi”; sedangkan obyek adalah faktanya.
Kita bisa bertanya apakah ada kesesuaian antara fakta dengan persepsi? Atau,
apakah persepsi itu sudah dibuktikan? Artinya, orang harus terlebih dahulu
membuktikan bahwa Pastor A dan bendahara Paroki telah melakukan tindak korupsi.
Hasil pembuktian inilah yang akan menjadi kebenaran, bukan hanya didasarkan
dari fakta saja.
Misalnya, jika dari pembuktian itu ternyata Pastor Paroki A
dan juga bandaharanya terbukti tidak melakukan korupsi, maka terjadi
ketidak-sesuaian dengan fakta-fakta yang sudah diutarakan. Artinya, pernyataan “Pastor
Paroki A (dan juga kemungkinan bendahara paroki) korupsi” bukanlah sebuah
kebenaran. Atau jika dari pembuktian ternyata Pastor Paroki A dan juga
bandaharanya terbukti melakukan korupsi, maka ada kesesuaian dengan fakta-fakta
yang sudah diutarakan. Maka bisa dikatakan bahwa pernyataan “Pastor Paroki A (dan juga
kemungkinan bendahara paroki) korupsi” adalah sebuah kebenaran.
Akan tetapi, dalam kasus di atas orang sudah terlebih dahulu
termakan pada persepsi dan menganggap persepsi itu adalah kebenaran. Orang menilai
bahwa persepsi itu adalah kebenaran karena diperkuat dari fakta-fakta. Padahal belum tentu ada korelasi antara fakta dan persepsi; dan tidak
semua persepsi itu adalah kebenaran. Persepsi bisa menjadi kebenaran jika
persepsi itu diuji kebenarannya. Batu uji persepsi bukan pada fakta yang ada,
melainkan pada persepsi itu sendiri.
Akhir Kata
Persepsi, fakta dan kebenaran merupakan tiga istilah yang
berbeda namun saling berkaitan. Persepsi bisa lahir dari fakta-fakta yang ada,
baik dari apa yang dilihat, diamati ataupun yang didengar. Jadi, persepsi itu
merupakan hasil kegiatan inderawi kita atau suatu proses yang didahului oleh
penginderaan sementara kebenaran dapat datang dari persepsi. Sebuah persepsi
bisa menjadi sebuah kebenaran apabila persepsi itu melalui proses pembuktian.
Dalam kehidupan seringkali orang mencampuradukan ketiga hal
ini. Orang dengan sangat mudah menyamakan kebenaran dengan fakta atau persepsi
tanpa melalui suatu pembuktian. Melihat fakta-fakta yang ada orang langsung
berpikir bahwa itulah sebuah kebenaran, padahal belumlah tentu demikian. Persepsi
yang berangkat dari fakta lantas dikira sebagai kebenaran.
Padahal tidak semua persepsi itu merupakan sebuah kebenaran. Bahkan
fakta sekalipun belum bisa secara otomatis menjadi sebuah kebenaran. Untuk menjadi
sebuah kebenaran, persepsi atau fakta musti diuji terlebih dahulu. Kebenaran harus
lahir dari proses pembuktian; dan dasar pembuktiannya bukan hanya pada fakta
yang ada atau persepsi, melainkan pada kebenaran itu sendiri.
Pangkalpinang, 20 November 2014
by: adrian
Baca juga:
sangat menarik
BalasHapusdewasa ini lagi heboh dengan rekening gendut pejabat. Kalau mau diselidik, pasti ada imam yang punya rekening gendut. Bukan tidak mungkin uang itu hasil korupsi. Untung saja KPK tidak masuk ke gereja
BalasHapusBetul itu! Ada banyak romo punya kemewahan, padahal gajinya tak seberapa. Mirip seperti Gayus. Gaji rendah tapi harta kekayaan melimpah. Dari mana kalau bukan korupsi
HapusBiar bagaimana pun, apa yang katakan saudara kita di atas ini adalah sebuah persepsi atau opini. Itu bukanlah kebenaran, meski persepsi mengarah kepada kebenaran. Kita harus buktikan terlebih dahulu apakah benar kekayaan yang dimiliki para romo itu hasil korupsi?
HapusMemang sungguh memprihatinkan.
BalasHapussaya tertarik dengan fakta ke dua diatas. Saya punya pengalaman yg sama. Jumlah uang kolekte gak sama antara yang dicatat dengan yang diumumkan. Entah kemana uang itu lari.
BalasHapusTapi kamu harus tetap bisa bedakan antara fakta dan kebenaran. Belum tentu fakta itu adalah kebenaran. Ia harus diuji dulu.
Hapusketika terjadi kasus korupsi di negara, banyak romo berkomentar kritis. Tak sedikit juga mereka melontarkan kritik. Tapi, benarkah mereka sudah bebas dari korupsi? Mereka patut bersyukur karena KPK tidak menyentuh Gereja dan PPATK tidak mengusik rekening mereka. Andai terjadi, bukan tidak mungkin penjara penuh dengan para gembala umat ini
BalasHapusgak nyangka kalau para romo juga banyak yang korupsi
BalasHapusKorupsi tak kenal batas. Mau sipil atau Gereja, entah awam atau imam, bahkan uskup sekalipun, tak luput dari godaan korupsi. Benar apa yang dikatakan Rasul Paulus: "Akar kejahatan adalah cinta akan uang!"
BalasHapusmembuka wawasan
BalasHapus