Jumat, 17 Oktober 2014

(Refleksi) Tragedi Kebun Anggur Nabot

TRAGEDI KEBUN ANGGUR NABOT
Bagi umat Kristen tentu sudah tak asing lagi kisah kebun anggur Nabot ini. Kisahnya dapat dibaca di Kitab 1Raja-Raja 21: 1 – 16. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa Raja Ahab merasa iri hati dengan kebun anggur Nabot. Dia ingin memilikinya, namun Nabot tidak memberinya. Dengan akal licik dan kekuasaannya, kebun itu akhirnya bisa berpindah kepemilikan. Tentu setelah Nabot dibunuh.

Kisah ini sudah menjadi bacaan liturgi ekaristi. Mungkin orang bertanya apa relevansi kisah tersebut untuk kehidupan kita dewasa ini. Kisah itu diperkirakan terjadi pada rentang waktu 869 – 850 SM. Jadi, nyaris 3.000 tahun yang lampau. Cerita kebun anggur Nabot merupakan cerita usang. Jika dibarangkan, mungkin kisah ini sudah kadaluwarsa. 

Sekalipun kisah kebun Nabot ini terbilang sudah lama sekali, namun tragedi tersebut masih saja terjadi di zaman modern ini.

Adalah sebuah keluarga ingin mengabdikan hidup mereka untuk membantu masyarakat kecil lewat sebuah lembaga. Sadar bahwa untuk mengurus pendirian sebuah lembaga baru sangatlah sulit dan rumit, apalagi melihat latar belakang etnisnya, maka keluarga ini meminta sebuah yayasan untuk memayunginya. Yayasan ini setuju. Maka dibuatlah kesepakatan bersama.

Dalam perjalanan waktu, lembaga ini berkembang sangat pesat. Dari satu unit kini menjadi tiga unit. Maklum, motivasi mereka murni dan Tuhan meridhoi usaha mereka. Kemurnian motivasi mereka terlihat dari kinerja dan manajemen lembaga yang baik dan manusiawi. Masyarakat pun merasa sangat senang dan terbantu dengan kehadiran lembaga ini.

Melihat perkembangan yang pesat ini, segelintir pengurus yayasan mulai iri. Hal ini mirip seperti Raja Ahab yang iri hati melihat kebun anggur Nabot. Motif iri hati itu terletak pada uang. Pengurus yayasan melihat bahwa ada banyak uang yang berputar di lembaga itu. Bukankah perkembangan pesat ditunjang dari uang yang banyak? Dari perasaan iri ini muncul niat untuk menggabungkan lembaga itu ke dalam yayasan. Dengan peleburan ini, tentulah uang lembaga itu menjadi uang yayasan, yang selama ini sudah dinikmati oleh segelintir pengurus saja.

Maka mulailah pengurus yayasan mengutarakan niatnya kepada pemilik lembaga itu, seperti Raja Ahab yang menyampaikan niatnya kepada Nabot. Sama seperti Nabot, pemilik lembaga itu tidak setuju dengan berbagai alasan. Pengurus yayasan tidak putus asa, seperti isteri Ahab yang mencoba berbagai cara. Akhirnya didapat cara halus untuk mendapatkannya, yaitu memfitnah. Dalam kisah kebun anggur Nabot, cara yang dilakukan adalah dengan fitnah dan berakhir pada pembunuhan. Hal yang sama dialami pemilik lembaga itu. Pengurus yayasan menyebarkan fitnah bahwa keluarga pemilik lembaga itu telah melakukan korupsi atau manipulasi keuangan.

Kisah ini terjadi di zaman modern ini. Kisahnya serupa tapi tak sama. Jika dalam kisah kebun anggur Nabot akhirnya muncul tokoh nabi yang memperingatkan Raja Ahab sehingga ia sadar akan keberdosaannya, akankah di zaman kini juga masih dibutuhkan nabi untuk memperingati “Raja Ahab-Raja Ahab modern” ini. Nabi memang tetap diperlukan. Akan tetapi, setidaknya masing-masing kita dapat sadar diri akan kesalahan Raja Ahab itu. Gereja memasukkan kisah kebun anggur Nabot ke dalam bacaan liturgi dengan maksud agar tidak lagi terjadi peristiwa tersebut dalam kehidupan. Jadi, dalam hal ini Gereja sudah menjadi nabi yang menyampaikan pesan Allah (Kitab Suci).

Menjadi persoalan: apakah kita siap menjadi Raja Ahab pasca perampokan kebun Nabot, yang mau mendengarkan suara “nabi” dan akhirnya bertobat? Ataukah kita sudah tutup mata, tutup telinga dan tutup hati terhadap seruan “nabi” itu sehingga kita terus beraksi memenuhi tuntutan nafsu diri?
Pangkalpinang, 11 Juli 2014
by: adrian
Baca juga:
3.      Mundur dari Jabatan
4.      Proyek Rohani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar