Namanya Vera
Monica. Apakah itu nama asli atau bukan, aku tidak peduli. Apalah arti sebuah
nama! Umurnya, menurut perkiraanku, sekitar 25 tahunan, Mungkin lebih sedikit. Yang jelas tidak lebih dari tiga
puluh. Masih muda dan cantik. Rambutnya dipotong pendek model Demi Moore (era
awal 90-an), selaras dengan postur tubuhnya yang tinggi langsing. Di antara
teman-temannya ¾ semua berjumlah enam orang (cewek
semua) ditambah satu orang bapak ¾ dia dianggap sebagai leader (mereka menyebutnya Mak Geng).
Barangkali karena faktor usia dan postur tubuhnya tadi.
Kami berkenalan di atas kapal Bukit
Siguntang. Ternyata kami sama-sama naik dari pelabuhan Kijang dan
tujuan pun sama, yaitu Tanjung Priok. Vera bersama rombongannya tidur di lantai
dek lima beralas tikar yang mereka beli dari pedagang yang selalu lalu lalang
sebelum kapal berangkat. Aku juga tidur di lantai, tapi bukan dek lima.
Persisnya di putaran tangga, pertengahan antara dek empat dan lima. Antara
tempatku dan rombongan Vera tak ada batasan. Karena itulah dengan mudah aku
memperhatikan mereka, termasuk bila ada yang lagi ganti pakaian. Dari aktivitas
memperhatikan inilah akhirnya aku berkenalan dengan Vera.
Sejak kapal berlayar,
meninggalkan pelabuhan Kijang, pukul 11.00, aku selalu berada dalam rombongan
itu. Aku tak peduli dengan tasku di bawah, meski aku tahu kapal Bukit Siguntang
kaya dengan pencuri dan pencopetnya. Mungkin lantaran aku berada di antara
cewek-cewek. Pemberitahuan makan siang oleh petugas kapal tidak kami gubris,
soalnya ada persediaan. Kami asyik ngobrol, asyik ngegombal sambil bermain
kartu. Mulai empat satu sampai song.[1]
Ketawa cekikian selalu
keluar dari selah bibir mereka yang rata-rata bergincu. Vera juga
bergincu, namun warnanya tak senorak beberapa temannya: Pinta, Neneng, Elin,
Lusi, Desi dan Fitri. Gincu Vera berwarna coklat muda, serasi dengan warna
bibirnya.
Kami bermain
hingga pukul 14.15, sampai satu per satu dari kami tergeletak di atas tikar.
Tinggal aku dan Vera. Aku berdiri menghampiri Vera, yang sudah dari tadi duduk
di tangga menuju dek enam. Ia mengeluarkan sebatang Sempurna Mild, lantas menyelipkan di sela
bibirnya. Aku segera menyalakan rokok itu dengan mancisku. Dalam perhitunganku, ini mungkin rokok ke enam belas
sejak kami ngobrol bersama. Hebat benar nih
cewek, pikirku.
“Ke atas, yuk,” ajakku. “Sambil hirup udara segar.
Dari tadi kita di sini terus hirup asap rokok. Sumpek.”
“Lagi malas,
bang!” Ujarnya tanpa memperhatikan aku. Segumpal asap rokok keluar dari
mulutnya disusul isapan dalam. Tak lama kemudian gumpalan asap keluar dari dua
lubang hidungnya berbarengan dengan yang keluar dari sela bibirnya. Aku
menggeleng-geleng kecil kepalaku agar tak terlihat olehnya reaksiku atas
aksinya itu.
Vera menatap ke
arah teman-temannya yang sudah pada tiduran. Lusi dan Desi tidur berpelukan. Fitri
tidur telentang. Kaki kanannya menindih pinggul Pinta yang tidur miring
berbantalkan lengannya. Neneng tidur menantang, siap untuk digagahi, kata Vera.
Kami berdua tersenyum saja. Sementara di barisan paling ujung, seorang bapak
tidur sambil memeluk seorang gadis, yang hingga saat itu belum kuketahui
identitasnya. Tapi mereka masuk rombongan Vera.
“Ntar malam aja, bang.”
“Jam berapa?”
“Ya..., sekitar jam sembilanan lah.”
%%%
Ning – nong – ning ....., terdengar bunyi alarm, pertanda tak lama lagi bakal ada
pengumuman. Aku melihat jam di dinding dek lima. Pukul 20. 40. Dan benar, tak
lama kemudian terdengar sebuah pengumuman dari balik speaker.
“Perhatian kepada para penumpang. Dua
puluh menit lagi akan diputar film khusus dewasa di mini theater di dek dua,
tangga paling depan. Film dengan judul Original
Sin akan menampilkan aktor Antonio Banderas dan artis cantik Angelina
Jolie. Film ini menyuguhkan adegan-adegan menarik, romantis dan seru. Karcis
tanda masuk bisa anda peroleh di depan pintu masuk mini theater. Datanglah
segera! Jangan lewatkan tayangan menarik ini!”
“Nonton, yuk!” Ajak Neneng penuh semangat.
Kulihat Lusi dan Desi bersiap-siap. Yang
lain pun terlihat begitu antusias menyambut ajakan Neneng. Mereka segera
mengambil dompet dari tasnya masing-masing. Tak lupa Sempurna Mild. Cuma Vera yang tidak menampilkan
ekspresi gembira. Wajahnya biasa-biasa saja. Aku menghampirinya.
“Nggak nonton,
Ver?”
Vera menatapku
dengan tatapan bingung. Aku pun ikut-ikutan bingung. “Siang tadi maunya
jalan-jalan.”
“Habis nonton, kan bisa.”
“Malas, bang! Paling adegannya gitu-gitu aja.”
“Ya sudah. Kita
jalan-jalan saja.”
Setelah
rekan-rekan Vera turun ke dek dua, kami segera pergi keluar. Setelah puas
mengitari sisi kapal, mulai dari dek enam sampai dek tujuh, akhirnya kami
nongkrong di kafe yang berada di dek delapan, bagian paling belakang kapal. Aku
memesan dua gelas kopi dan makanan kecil. Kami duduk ngobrol sambil menikmati
alunan musik karaoke, yang suara penyanyinya jauh beda dengan musik lagunya.
Dari obrolan
itu, aku akhirnya tahu siapa Vera dan teman-temanya. Aku bukan cuma tahu
usianya yang 27 tahun, asalnya atau tentang keluarganya, tetapi aku juga tahu
profesinya. Pengakuan itu menguatkan dugaanku sebelumnya kalau mereka adalah
pelacur (kata itulah yang dipakai Vera. Ia tidak mau memakai istilah lain, yang
hanya sekedar pemanis). Aku juga akhirnya tahu siapa bapak tua dalam rombongan
mereka yang selalu dekat dengan gadis berambut panjang dan dicat pirang. Dia adalah bos mereka (dikenal dengan
istilah tekong) dan gadis itu adalah calon istrinya. Entah istri ke berapa,
jelas Vera cuek.
“Di kampung, aku
dijanjikan kerja di restoran di Singapor. Sampai di sana aku bukannya kerja di
restoran, tapi di sebuah bar tempat ajang pelacuran.”
“Apa kamu nggak
berontak?”
“Mulanya sih kita nolak. Tapi karna dipaksa dan
terpaksa, yah dijalani aja. Eh, akhirnya terbiasa. Lumayan, bisa
bantu keluarga di kampung. Adikku sudah bisa kuliah. Semester akhir.”
Aku
memperhatikan arloji Vera. Waktu menunjukkan pukul 22:15. Aku mengajaknya turun
ke lantai tujuh. Orang-orang di kafe semakin banyak. Aku merasa tak enak kalau
pembicaraan kami didengar orang lain. Vera ternyata mengerti kemauanku. Kami
duduk di atas pagar lambung kanan kapal di dek tujuh. Berdua kami menghadap ke
arah kegelapan malam. Bulan yang muncul belum sempurna bentuknya. Mungkin dua
hari lagi, pikirku.
Vera mulai
bercerita tentang tempatnya berkerja. Ia berkata bahwa rata-rata cewek-cewek di
sana masih muda. Dalam rombongannya di kapal, Desi adalah yang termuda. Umurnya
baru 18 tahun. Desi bekerja sejak usia 16 tahun, sama seperti dirinya dulu. Di
tempat mereka, suasana sungguh menyenangkan. Diri mereka sungguh dihargai,
dihormati dan dilayani. Ini membuat mereka betah dan senang dengan profesinya
(aku nggak ngerti bentuk penghargaan, penghormatan dan pelayanan yang mereka
terima).
“Di tempat kami
ada batas maksimum bekerja. Kalo udah umur 30, kita nggak dipake lagi. Udah kadaluarsa.” Vera tersenyum. ”Contohnya
dua cewek yang tidur di bawah abang.”
Aku ingat akan
dua wanita yang tidur di dek empat, persis di bawah turunan tangga. Sebelum aku
larut dalam kelompok Vera, aku sempat ngobrol dengan dua wanita itu. Keduanya sudah
berstatus janda. Yang satu sudah kawin empat kali, yang lain baru dua kali. Anak-anak
mereka di kampung bersama neneknya.
“Mereka dulu
juga kerja di sana. Tapi karna usianya udah 30, mereka pindah ke Pinang.
Soalnya, batasan maksimum di Pinang agak longgar.”
Aku mengajak
Vera turun ke dek enam. Kami berjalan bergandengan menyusuri sisi kiri kapal. Kami menuju ke anjungan, bagian depan
dek enam. Suasananya gelap agak remang-remang. Cocok buat orang pacaran. Cahaya
rembulan yang belum sempurna menambah asyik suasana. Waktu menunjukkan pukul
23:30.
Ketika kami tiba di anjungan, ternyata
sudah ada beberapa pasangan dengan berbagai aktivitas. Ada yang peluk-pelukan.
Yang duduk di bangku asyik cium-ciuman sambil raba-rabaan. Ada juga yang
pegang-pegangan atau geranyang-geranyangan. Pokoknya orang melakukan tanpa
peduli dengan kehadiran orang lain. Aku dan Vera memilih di pojok kiri
anjungan. Kami berdiri menghadap ke depan kapal. Tiupan angin
sangat terasa kencangnya. Seakan-akan diri kami mau terlempar olehnya.
Aku coba memulai
pembicaraan. Menyambung pembicaraan sebelumnya, aku coba menasehati Vera dengan
berbagai argumen etika-moral dan HAM. Tak ketinggalan juga masalah penyakit,
jender dan emansipasi wanita kuutarakan. Entah kenapa, semua itu mengalir
dengan lancar. Mungkin aku memiliki bakat sebagai konselor atau sejenisnya. Aku
tidak tahu. Namun yang membuat aku kaget adalah tanggapan Vera. Pertama kukira
Vera akan takjub dengan nasehatku, tersentuh lalu menerima perkataanku.
Ternyata Vera malah bersikap sinis.
“Kenapa sih banyak orang pada sibuk ngurusi
orang lain? Kenapa musti repot-repot kalo memang wanitanya mau diperdagangkan?”
“Tapi kalian
diperdagangkan demi sebuah bisnis kotor. Bisnis seks! Masa’ tubuh kalian mau
dihargai tujuh ratus ribu hingga satu juta.”
“Emang ada yang lebih dari itu? Mau
dong,” Vera bercanda. “Udahlah bang, nggak usah munafik dan sok moralis. Dunia
sekarang sudah kotor semua, kok. Coba
abang pikir. Apa bedanya kami ini dengan para wakil rakyat. Bukankah mereka itu
diperdagangkan ke Senayan oleh partainya. Di Senayan mereka sibuk menjual
pikiran, sibuk ngobral ocehan dan janji-janji gombal. Itu semua demi
partai. Apa itu nggak kotor?”
Aku terhentak
kaget mendengar pengakuannya. Aku jadi ingat kisah mundurnya ketua
PDI-Perjuangan dari jabatan komisi di Senayan. Yah, Sophan Sophian pernah berkata kalau dirinya mundur lantaran
dunia politik (termasuk Senayan) sudah tak cocok lagi buatnya. Yang benar
disalahkan, yang salah menjadi benar. Mungkin Pak Sophian tahu bahwa politik di
Senayan sudah kotor. Atau barangkali ia sudah sadar kalau dirinya diperdagangkan
oleh partainya. Barangkali mungkin. Dan bila demikian, benarlah apa yang
dikatakan Vera.
“Aku heran,
kenapa pemerintah sibuk nguber-nguber jaringan bisnis wanita ini. Padahal kalo
kita liat di tivi, di sana pun ada perdagangan kaum perempuan. Kok, nggak diapa-apain? Aku senang
dengan aksi para pelacur di Kalkuta, yang ada di Kompas hari ini.[2] Mereka
berkata bahwa penolakan moral atas profesi mereka adalah tidak bermoral. Mereka
menuntut pengakuan sosial dan hak-hak hukum. Mereka ingin hak-hak sebagai pekerja,
menikmati apa yang dirasakan oleh pekerja, yang bekerja dan membanting tulang
dengan tubuhnya. Kiranya Indonesia perlu mengikuti cara itu”
“Apa maksudmu
dengan perdagangan perempuan di tivi?”
“Yaa,
abang ini emang nggak tau atau pura-pura nggak tau? Iklan-iklan itu, lho! Banyak iklan menampilkan
cewek-cewek cantik, seksi, banehol, sensual, seronok dan lain-lain. Liatlah si
Yanti dengan kemontokan buah dadanya dalam iklan Hemaviton action. Atau Diana dengan kemulusan pahanya. Bukankah itu bentuk
pelecehan terhadap tubuh wanita? Atau cara berpakaian dan gaya penyanyi serta
penari wanita di tivi yang dinilai banyak orang kurang etis. Mereka memakai longdress yang diberi belahan sampai
pangkal paha. Pakaian dibuat sedemikian rupa, sehingga memperlihatkan
perut dan pusarnya dengan jelas. Kostum serba rapat tapi bahannya serba tipis,
sementara CD-nya dibuat dari bahan yang mengkilat warna kontras dengan pakaian
luarnya agar kelihatan jelas CD-nya. Apa itu bukan bentuk perdagangan tubuh
perempuan. Toh, mereka juga dibayar
agar mau tampil seronok dan sensual dengan memamerkan bagian-bagian tubuh yang
menggoda. Semakin berani tampil seronok, semakin tinggi juga bayarannya.”
Aku terdiam.
“Oya, bicara
soal iklan, aku jadi ingat satu hal ini. Ternyata agama pun sudah mulai
diperdagangkan. Orang
menawarkan barang dengan pake nama, atribut atau unsur agama. Agama
sungguh-sungguh dimanfaati, agar umatnya mau membeli. Sama saja artinya agama
diperdagangkan. Apa itu nggak lebih kotor dari perdagangan wanita? Tapi orang kok diam saja? Apa karena kami wanita?”
Aku tak bisa dan
tak mau menjawab. “Tapi, apa kamu sadar kalo dirimu diperdagangkan? Apa kamu
nggak sadar kalo kamu ada dalam bisnis yang kotor?”
“Yaaaa, si abang ini. Tadi kan udah kubilang bahwa dunia sekarang
ini memang lagi kotor semua.”
“Tapi kita nggak
usah ikut-ikutan kotor, dong. Contohnya Sophan Sophian.” Aku coba berteori. “Ia
sadar kalo dunianya sudah kotor. Ia tau bahwa dirinya sedang diperdagangkan
partainya. Namun akhirnya ia memilih keluar dari dunia politik. Ia keluar dari
Senayan.”
“Dia itu manusia
langka! Tempatnya emang bukan di Senayan, tapi di museum. Jadi barang pajangan
untuk dilihat, dikagumi dan dibicarakan orang serta menjadi bahan catatan
sejarah.”
Malam kian larut. Kapal yang kami tumpangi terus melaju membelah kegelapan
malam. Angin bertiup sangat kencang sehingga menusuk tulang-tulang
persendianku. Sesekali aku menggigil, tapi aku berusaha menahannya. Malu bila
ketahuan Vera yang sepertinya sudah biasa dengan angin malam. Aku mencoba
merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Ternyata ia melakukan hal yang sama. Maka
kucoba memberanikan diri untuk merangkulnya. Vera memeluk pinggangku.
Kuperhatikan
daerah sekitarku. Ternyata tinggal kami berdua yang ada di anjungan. Kuajak
Vera duduk di bangku tengah. Vera duduk di antara kedua pahaku. Posisi ini
memungkinkan aku puas memeluknya dari belakang. Kuraih tangan Vera untuk
melihat jam. Pukul 24:10. Tentu pintu-pintu sudah ditutup. Soalnya tadi dua
puluh menit sebelum pukul 24:00, diumumkan agar penumpang kembali ke tempatnya
masing-masing; pintu-pintu keluar akan dikunci. Aku sudah mengajak Vera untuk
kembali, tapi ia mau habiskan malam ini bersamaku.
“Dingin ya,
bang.”
“Ehm!”
Kami terdiam dalam
keheningan malam. Sejenak kami coba merasakan aliran-aliran kehangatan dalam
tubuh sebagai reaksi atas dekapan tubuh.
“Ver, apa kamu
sebenarnya suka dengan pekerjaanmu ini?”
“Segalanya serba
terpaksa. Mulanya sih Vera sempat
kaget, karena dari kampung dijanjikan kerja di restoran. Tapi, akhirnya
terpaksa Vera jalani saja.”
“Di dunia ini
banyak juga yang serba terpaksa. Ada yang sudah susah payah kuliah, akhirnya
jadi tukang ojek. Kadang ijasahnya nggak cocok dengan bidang kerja yang sedang
digelutinya. Nah, miripkan dengan
kami?” Vera tersenyum. “Ada sarjana lulusan akademi pelayaran, ujung-ujungnya
jadi guru SMP, karena nggak ada pekerjaan lain. Di pelosok desa terpencil pula [3]”
Aku jadi ingat
pada beberapa temanku yang sudah menyandang gelar sarjana. Ada yang jadi
pegawai bank. Ada yang satpam. Ada yang jadi kepala gudang. Ada yang kerja di
LSM anak jalanan. Ada juga yang kerjanya di bengkel. Benar apa yang dikatakan
Vera. Semua itu dilakukan karena terpaksa. Semua itu karena uang. Uanglah yang
membuat Vera dan rekan-rekannya terjun dalam dunia pelacuran di negeri orang.
Uang sudah menjadi dewa yang selalu
disembah dan dicari-cari. Manusia sudah menjadi budak. Apa saja
dilakukan, halal dan tak hahal, hanya demi uang. Mengapa manusia mau mencari dan
mengejar uang? Kenapa mereka mau menjadi budak uang? Demi kebahagiaan? Apakah
kebahagiaan harus diiperoleh dengan uang?
Apalagi di Indonesia ini. The name of the game is (only) money, kata orang. Di Indonesia ini yang ada cuma
permainan duit. Jangan bicara soal rasa aman. Jangan bicara soal penegakan
hukum. Jangan ngomong soal keadilan. Jangan ngomong soal kehidupan dan
bernegara yang tertib dan teratur. Jangan ngomong soal hati nurani. Semua nilai
dan ukuran kehidupan cuma diukur dengan uang... Sebab permainan yang dikenal di
Indonesia cuma duit, duit, duit. Duit menjadi permainan satu-satunya, yang
mendominasi kehidupan bangsa. Semua orang tahu, mana ada urusan apa pun di
Indonesia ini, yang tidak pakai duit.[4]
Jari telunjukku membelai lembut di pipi Vera yang mulus.
Vera tetap berada dalam dekapanku. Aku seakan tak mau melepaskannya.
Kusandarkan kepalaku ke sisi kanan kepalanya hingga ia dapat merasakan hembusan
nafasku.
“Ver ....”
Vera menengadah
menatapku. Perlahan kelopak matanya tertutup dan bibirnya sedikit terbuka.
Sebuah isyarat bahwa ia ingin dicium. Aku tak mau membuang kesempatan itu.
Segera kurapatkan bibirku. Dalam sekejap kami larut dalam lumatan kenikmatan
nafsu birahi. Tangan kananku dengan sengaja mendarat lembut di sebuah bukit yang
kenyal. Kucoba membelai dan meremasnya, namun tiba-tiba Vera menepis tangan
usilku.
“Yang ini ada
bayarannya, lho!” ujar Vera tanpa
ekspresi marah. Ia malah tersenyum, membuat aku jadi malu.
Akhirnya kami
larut dalam kehangatan malam. Dinginnya malam sudah tak terasa. Putaran waktu terus berpacu menyongsong
pagi. Kapal Bukit Siguntang tetap melaju
menembus kegelapan dan kesunyian malam di tengah lautan pekat. Pelabuhan Tanjung Priok sudah siap
menanti. Di sanalah kami nanti berpisah, menuju pada kehidupan kami
masing-masing.
Vera terlelap
dalam dekapanku.
Selamat jalan, Ver! batinku. Semoga kamu selalu bahagia walau pekerjaanmu
dipandang hina oleh masyarakat. Aku
tetap menerimamu apa adanya. Apapun dirimu, aku akan tetap selalu menerimamu,
meski aku tak bisa memilikiku ***
KM Bukit Siguntang, dalam perjalanan ke Tg.
Priok, Jakarta,
25-26 Feb 2002
by; adrian
Baca juga:
[1] Empat satu adalah jenis permainan kartu
dengan cara menjumlahkan angka kartu hingga berjumlah 41 (kartu gambar bernilai
sepuluh). Song adalah sejenis
permainan kartu khas kepulauan Riau, yang dimainkan dengan cara membuat kartu
seri atau dengan membuat kartu paralel (Joker
memiliki posisi netral). Kalau di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan Leng
[2]
Ini tambahan terakhir, dikutip dari Kompas,
(maaf kami lupa tanggalnya); yang jelas kutipan tersebut diambil dari kolom
“Kilasan Kawat Dunia”, masih dalam format lama (thn 2002).
[3]
Kisah seorang guru SMP di sebuah desa miskin di pegunungan gamping dalam Ratri, Murid Nomor Satu, cerpen karya
Seno Gumira Adjidharma
[4]
Bagian yang dicetak miring adalah tambahan kemudian, dikutip dari Kompas, 17 Maret 2002, hlm 25. Diandaikan
tulisan ini sudah ada saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar