Kamis, 17 Juli 2014

Yesus Itu Orang Islam

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Muhammad SAW pada abad VII. Salah satu syarat utama untuk menjadi penganut agama islam adalah dengan mengucapkan syahadat "AsshHaduala ilahailallah wa AsshHaduana muhammadurrasulullah", yang artinya: aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Orang yang menganut agama islam sering disebut muslim.

Tentu sebagian besar orang langsung kaget dengan judul tulisan ini. Bagi orang kristiani, Yesus adalah peletak dan dasar bagi iman dan ajaran agama kristen. Diketahui bahwa Yesus sudah ada jauh sebelum Muhammad lahir dan menjadi rasul Allah. Selisihnya sekitar 6 abad. Jika demikian bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai seorang muslim tanpa menyebut wa AsshHaduana muhammadurrasulullah?

Agar tidak bingung dan dapat memahami judul di atas, maka terlebih dahulu kita harus memahami arti dan makna kata “islam”. Kata ini tak bisa dipisahkan atau dilepaskan dari kata “muslim”. Keduanya berkaitan erat. Muslim adalah orang yang memeluk agama islam. Jadi, muslim itu sama artinya dengan orang islam; atau dengan kata lain, muslim itu merupakan ungkapan lain untuk istilah/frase orang islam. Dan itulah Yesus. Kalau begitu, apa arti islam?

Secara etimologis kata “islam” berasal dari bahasa Arab, yang diambil dari kata salima dengan arti selamat. Dari kata salima itu terbentuk kata aslama yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh/taat. Kata ini terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 112: “Bahkan, barangsiapa menyerahkan diri (aslama) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati.”

Selain dua kata itu, Al-Quran juga memakai kata kerja “islam” dengan kata yuslim yang berarti tunduk atau menyerah/berserah diri kepada Allah. Tentang makna penyerahan diri secara total, kita dapat menemukan akar kata “islam” pada kata istalma mustaslima. Ini seperti terdapat dalam QS Ash-Shaffat ayat 26: ”Bahkan mereka pada hari itu menyerah diri.” Karena itu, menjadi muslim berarti beriman kepada Allah dengan tunduk kepada kehendak-Nya dan melaksanakan perintah-Nya. Mungkin dengan ketaatan ini maka datanglah selamat atau keselamatan.

Selain berarti berserah diri, tunduk/taat, akar kata “islam” juga memiliki arti menyelamatkan orang lain. Ini dapat ditemukan pada kata sallama. Kata ini tentu tak bisa dilepaskan dari kata salima yang berarti selamat. Maka orang muslim berarti orang yang sallama, menyelamatkan orang lain.

Sampai di sini kita menemukan dua makna besar dari kata “islam”, yaitu berserah diri sebagai ungkapan ketaatan atau kepatuhan dan menyelamatkan atau keselamatan. Orang islam, atau seorang muslim dituntut untuk berserah diri kepada Allah. Sikap berserah diri ini terlihat dari membiarkan kehendak Allah yang terjadi pada dirinya. Seorang muslim wajib taat pada kehendak Allah sekalipun kehendak Allah itu bertentangan dengan harapan dan keinginan dirinya. Selain itu juga, seorang muslim terpanggil untuk menyelamatkan orang lain (umat manusia). Menyelamatkan manusia ini tidak boleh mengikuti kehendak pribadi, melainkan kehendak Allah. Jadi, ada kaitan erat antara menyelamatkan (orang) dengan sikap tunduk dan berserah diri kepada Allah.

Gambaran muslim itu terlihat dalam diri Yesus. Semasa hidup-Nya, Yesus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Bahkan kematian Yesus di kayu salib mengungkapkan ketaatan pada kehendak Allah. Yesus tahu bahwa dengan kematian-Nya di kayu salib, yang merupakan ungkapan ketaatan atau penyerahan total diri-Nya pada kehendak Allah, maka datanglah keselamatan bagi umat manusia. Maka dari itu, pantaslah dikatakan bahwa Yesus itu adalah orang islam sejati. Dia benar-benar melaksanakan apa yang ada di dalam Al-Quran: berserah diri dan taat pada perintah Allah.

Demikianlah alasan kenapa Yesus dikatakan sebagai orang islam. Dia berserah diri secara total dan patuh setia pada kehendak Allah hingga wafat di kayu salib demi keselamatan umat manusia. Semua yang dilakukan Yesus adalah gambaran dari kata “islam”, baik dalam pengertian etimologis maupun biblis. Namun ironisnya Al-Quran malah menolak kematian Yesus di kayu salib. Di satu sisi Al-Quran menyarankan agar umat muslim berserah diri dengan tunduk pada kehendak Allah, namun ketika ada orang yang berserah diri dengan taat pada kehendak Allah (yaitu Yesus Kristus), malah ditolak. Al-Quran, dalam surah al-Nisa’ ayat 157, tidak mengakui bahwa yang tergantung di kayu salib itu adalah Yesus Kristus. Dan ini menjadi kepercayaan orang islam hingga kini.

Apa yang dilakukan Al-Quran terhadap Yesus dapat diperbandingkan demikian. Seorang dokter mengatakan kepada pasiennya bahwa dia hanya bisa sembuh jika A, B, C dan D. Karena memang ingin sembuh, maka pasien itu pun melakukan A, B, C dan D; persis seperti yang diperintahkan dokter padanya. Namun pada akhirnya dokter mengatakan kepadanya bahwa dirinya tidak sembuh, tanpa memberikan alasan. Tentulah pasien itu amat kecewa atas ketidak-konsistenan si dokter.

Akan tetapi, kematian Yesus di kayu salib bukan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang islam. Kematian-Nya hendak mengungkapkan kesetiaan dan kepatuhan pada kehendak Allah demi karya penebusan. Kematian Yesus merupakan ungkapan cinta-Nya yang tanpa pamrih kepada umat manusia. Di sini Yesus mau mengajari kita untuk taat pada kehendak Allah, sekalipun kehendak Allah itu bertentangan dengan harapan dan keinginan. Yesus juga menghendaki agar kita meneladani cinta-Nya, mencintai orang lain hingga pengorbanan. Ketaatan pada Allah dan cinta pada sesama bukan pertama-tama bertujuan untuk mendapatkan pengakuan.

Ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan Al-Quran dapat berdampak pada kebingungan orang yang beritikad baik. Karena, ketika ia hendak berserah diri kepada Tuhan, patuh dan setia melaksanakan perintah Tuhan, ia akan dihadapkan pada “penolakan” Al-Quran. Yesus sudah mengalaminya. Di satu sisi Yesus terlihat sebagai seorang muslim sejati (menurut Al-Quran) dengan berserah diri dan taat pada kehendak Allah sampai wafat di kayu salib, namun di sisi lain Al-Quran sendiri menolak sikap dan tindakannya yang sudah sesuai dengan Al-Quran.
­­Jakarta, 24 April 2014
by: adrian
sumber:
1.      www.risalahislam.com
3.      Louay Fatoohi, The Historical Jesus. Bandung: Mizan, 2013


Baca juga:

1.      Penghinaan Agama

4 komentar:

  1. Tolong dibedakan antara muslim sebelum Nabi Muhammad, SAW dan sesudahnya. Sebelum Nabi mereka tetap muslim sekalipun tidak mengucapkan syahadad. Misalnya, Adam dan Hawa, Musa dan Ibrahim itu adalah orang islam. Sesudah Nabi, orang diwajibkan mengucapkan syahadad sebagai syarat untuk menjadi muslim.
    Demikian tanggapan saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas tanggapan sekaligus masukannya. Kami hanya berargumen dari makna kata "islam" yang kemudian dikenakan pada pribadi Yesus Kristus.

      Hapus
  2. Menarik membaca artikel ini dan tanggapan di atas. Ada satu persoalan yang masih mengganjal di otak saya. Kenapa dalam syahadat itu orang musti wajib menyebut nama Muhammad? Tidak cukupkah orang sampai pada pengakuan tiada Tuhan selain Allah?
    Mengapa ini mengganjal otak saya? Muhammad dalam berbagai risalah, baik di Quran maupun hadis, mengaku bahwa dirinya adalah manusia biasa. Memang dia adalah nabi, tapi tidak berbeda dari lainnya. Nah, ada begitu banyak nabi dalam islam, bahkan jauh lebih hebat darinya (seperti Musa), tapi tak satu pun mewajibkan umatnya untuk mengucapkan pengakuan dirinya sebagai syahadat. Ada kesan pengkultusan diri seperti Hitler (bukan maksud saya menyamakan Muhammad dengan Hitler). Sidartha Buddha Gautama saja, yang sangat disanjung dan dihormati, tidak berbuat demikian.
    Analisa kecil saya, semoga keliru, Muhammad hanya mau menyamakan dirinya dengan Yesus, dimana Yesus meminta murid-muridNya untuk membaptis orang dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus. Atau pernyataan lain dimana Yesus berkata siapa yang tidak percaya kepadaKu tidak masuk ke dalam sorga.
    Demikianlah tanggapan kecil saya. Terima kasih.

    BalasHapus