Minggu, 19 Januari 2014

Banjir dlm Kacamata Agama Islam

Seorang sahabat Facebok mengungkapkan pengalamannya di statusnya. Dia menulis sebagai berikut: “Jakarta, Jumat 17, 2013. Saya berangkat menuju Tg. Periok untuk sebuah pekerjaan penting betapapun saya telah mendengar ada banyak rumor dan himbauan dari berbagai media kuning dan ramalan seorang kyai yang begitu keparatnya berani menyatakan tanggal 17 January 2014, Jakarta akan ditenggelamkan Allah karena Jokowi-Ahok bermaksiat ria di malam tahun baru. Fakta yang saya alami sungguh berbeda antara berita media kuning atau ramalan keparat itu.”

Kutipan di atas baru sepenggal dari kisah pengalamannya. Masih ada beberapa alinea lagi. Yang pasti, dia masih mengulang kata “keparat” buat si kyai tadi. Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat. Mungkin pernyataan sang kyai itu dilontarkan di sebuah mesjid, pas saat sholat Jumatan. Perlu diingat bahwa sahabat saya ini adalah seorang muslim, yang lahir di daerah islam kental.

Tampak jelas bahwa situasi hati sahabat saya itu sedang dilanda kemarahan dan kejengkelan kepada sang kyai. Karena begitu emosionalnya, dia sampai menyebut sang kyai itu “keparat”, sebuah kata, yang dalam Bahasa Indonesia, memiliki makna yang negatif. Kata “keparat” identik dengan kata-kata umpat, sumpah-serapah atau caci-maki. Jadi, secara tak langsung dapat dikatakan bahwa sahabat saya mencaci maki sang kyai, hanya karena ramalan sang kyai yang dikaitkan dengan peristiwa malam tahun baru lalu. Intinya, sahabat saya tidak setuju dengan pernyataan sang kyai itu.

Saya pribadi, ketika membaca statusnya itu, langsung merasa prihatin, meski saya dapat memahami emosinya. Saya prihatin karena dia mencaci maki sang kyai. Bagi saya, ustadz dan kyai adalah tokoh agama yang sangat dihormati. Sekalipun mereka manusia, yang tak luput dari kelemahan dan kekurangan, mereka pantas dihormati. Kelemahan dan kekurangan yang ada pada mereka bukan menjadi alasan untuk mencaci maki. Apalagi kelamahan dan kekurangan yang tidak ada kaitan dengan kapasitas mereka.

Dalam kasus di atas, saya sama sekali tidak menemukan alasan untuk marah kepada sang kyai. Tidak ada yang salah dari pernyataannya. Kasus sahabat saya ini dikaitkan dengan adanya larangan merayakan tahun baru bagi umat islam. Nah, ketika Jokowi merayakan tahun baru (bahkan terkesan mengajak warga lain, yang bisa saja umat islam juga, untuk merayakannya), sang kyai melihat hal ini sebagai pelanggaran bahkan penghinaan terhadap islam. Dia mengidentikkan perayaan itu dengan tindakan maksiat (sama dengan perzinahan). Sang kyai marah. Mungkin beberapa hari sebelumnya ia mendapat Wahyu dari Allah bahwa akan ada banjir yang akan menenggelamkan kota Jakarta. Karena itu, tanggal 17 Januari lalu, dia sampaikan pesan dari Allah itu.

Kenapa saya katakan bahwa tidak ada yang salah dari pernyataan sang kyai itu. Bagi saya, sang kyai bukan saja tokoh, melainkan juga ahli dalam hal agama. Sebagai seorang ahli, tentulah dia memahami ajaran agamanya. Karena itu, jika dia melihat bahwa perayaan malam tahun baru itu dilarang, itu berarti bahwa ajaran agama islam melarangnya. Sang kyai hanya menyampaikan ajaran agama islam, bukan ajarannya. Ajaran sebuah agama mendapat pendasarannya pada sabda Allah yang tertuang dalam Kitab Suci. Demikian pula dengan ajaran agama islam. Jadi, soal larangan merayakan malam tahun baru bukan merupakan perintah sang kyai, melainkan perintah dari Allah. Tuhan Allah orang islam melarang umat islam untuk merayakan malam tahun baru.

Jadi, dengan keahliannya dalam bidang ajaran agama, saya melihat bahwa sang kyai sedang menyampaikan pesan atau perintah dari Allah, yaitu umat islam dilarang merayakan malam tahun baru. Karena itu, sebagai seorang umat yang baik dan taat, sudah sepantasnya untuk mendengar pesan sang kyai itu. Karena mendengarkan pesan sang kyai sama nilainya dengan mendengarkan pesan Allah. Bandingkan kasus ini dengan fatwa haram mengucapkan salam natal yang dikeluarkan MUI.

Saya melihat bahwa apa yang terjadi dengan teman saya adalah dia lebih mementingkan kesenangannya sendiri. Hal yang sama juga terjadi dengan umat islam lainnya, yang turut ambil bagian dalam kebahagiaan malam tahun baru yang lalu. Mereka-mereka ini dapat dilihat sebagai umat yang sudah melanggar perintah ajaran agamanya; dengan kata lain juga, telah melanggar perintah Tuhannya.

Melanggar perintah Tuhan, dalam agama apapun, itu berarti dosa. Namun, kita sadar bahwa Tuhan itu adalah Allah yang Maharahim dan Pengampun. Sebesar apapun dosa umat-Nya, asal kita mau bertobat, Allah akan mengampuninya.

Apakah kejengkelan sahabat saya itu berkaitan dengan ramalan, bahwa Allah akan menenggelamkan Jakarta lantaran Jokowi bermaksiat pada malam tahun baru? Mungkin sahabat saya berpikir, jika memang demikian, betapa Allah umat islam itu kejam dan keji. Yang salah umat-Nya, koq yang menderita umat lain juga.
Jakarta, 18 Januari 2014
by: adrian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar