Seorang sahabat Facebok mengungkapkan pengalamannya di
statusnya. Dia menulis sebagai berikut: “Jakarta,
Jumat 17, 2013. Saya berangkat menuju Tg. Periok untuk sebuah pekerjaan penting
betapapun saya telah mendengar ada banyak rumor dan himbauan dari berbagai
media kuning dan ramalan seorang kyai
yang begitu keparatnya berani menyatakan tanggal 17 January 2014, Jakarta
akan ditenggelamkan Allah karena Jokowi-Ahok bermaksiat ria di malam tahun
baru. Fakta yang saya alami sungguh berbeda antara berita media kuning atau
ramalan keparat itu.”
Kutipan di atas baru sepenggal dari kisah pengalamannya. Masih
ada beberapa alinea lagi. Yang pasti, dia masih mengulang kata “keparat” buat
si kyai tadi. Peristiwa itu terjadi pada hari Jumat. Mungkin pernyataan sang
kyai itu dilontarkan di sebuah mesjid, pas saat sholat Jumatan. Perlu diingat
bahwa sahabat saya ini adalah seorang
muslim, yang lahir di daerah islam kental.
Tampak jelas bahwa situasi hati sahabat saya itu sedang
dilanda kemarahan dan kejengkelan kepada sang kyai. Karena begitu emosionalnya,
dia sampai menyebut sang kyai itu “keparat”, sebuah kata, yang dalam Bahasa
Indonesia, memiliki makna yang negatif. Kata “keparat” identik dengan kata-kata
umpat, sumpah-serapah atau caci-maki. Jadi, secara tak langsung dapat dikatakan
bahwa sahabat saya mencaci maki sang kyai, hanya karena ramalan sang kyai yang
dikaitkan dengan peristiwa malam tahun baru lalu. Intinya, sahabat saya tidak
setuju dengan pernyataan sang kyai itu.
Saya pribadi, ketika membaca statusnya itu, langsung merasa
prihatin, meski saya dapat memahami emosinya. Saya prihatin karena dia mencaci
maki sang kyai. Bagi saya, ustadz dan kyai adalah tokoh agama yang sangat
dihormati. Sekalipun mereka manusia, yang tak luput dari kelemahan dan
kekurangan, mereka pantas dihormati. Kelemahan dan kekurangan yang ada pada
mereka bukan menjadi alasan untuk mencaci maki. Apalagi kelamahan dan
kekurangan yang tidak ada kaitan dengan kapasitas mereka.
Dalam kasus di atas, saya sama sekali tidak menemukan alasan
untuk marah kepada sang kyai. Tidak ada yang salah dari pernyataannya. Kasus sahabat
saya ini dikaitkan dengan adanya larangan merayakan tahun baru bagi umat islam.
Nah, ketika Jokowi merayakan tahun baru (bahkan terkesan mengajak warga lain,
yang bisa saja umat islam juga, untuk merayakannya), sang kyai melihat hal ini
sebagai pelanggaran bahkan penghinaan terhadap islam. Dia mengidentikkan perayaan
itu dengan tindakan maksiat (sama dengan perzinahan). Sang kyai marah. Mungkin beberapa
hari sebelumnya ia mendapat Wahyu dari Allah bahwa akan ada banjir yang akan
menenggelamkan kota Jakarta. Karena itu, tanggal 17 Januari lalu, dia sampaikan
pesan dari Allah itu.
Kenapa saya katakan bahwa tidak ada yang salah dari
pernyataan sang kyai itu. Bagi saya, sang kyai bukan saja tokoh, melainkan juga
ahli dalam hal agama. Sebagai seorang ahli, tentulah dia memahami ajaran
agamanya. Karena itu, jika dia melihat bahwa perayaan malam tahun baru itu
dilarang, itu berarti bahwa ajaran agama islam melarangnya. Sang kyai hanya
menyampaikan ajaran agama islam, bukan ajarannya. Ajaran sebuah agama mendapat
pendasarannya pada sabda Allah yang tertuang dalam Kitab Suci. Demikian pula
dengan ajaran agama islam. Jadi, soal larangan merayakan malam tahun baru bukan
merupakan perintah sang kyai, melainkan perintah dari Allah. Tuhan Allah orang
islam melarang umat islam untuk merayakan malam tahun baru.
Jadi, dengan keahliannya dalam bidang ajaran agama, saya
melihat bahwa sang kyai sedang menyampaikan pesan atau perintah dari Allah,
yaitu umat islam dilarang merayakan malam tahun baru. Karena itu, sebagai
seorang umat yang baik dan taat, sudah sepantasnya untuk mendengar pesan sang
kyai itu. Karena mendengarkan pesan sang kyai sama nilainya dengan mendengarkan
pesan Allah. Bandingkan kasus ini dengan fatwa haram mengucapkan salam natal yang dikeluarkan MUI.
Saya melihat bahwa apa yang terjadi dengan teman saya adalah
dia lebih mementingkan kesenangannya sendiri. Hal yang sama juga terjadi dengan
umat islam lainnya, yang turut ambil bagian dalam kebahagiaan malam tahun baru
yang lalu. Mereka-mereka ini dapat dilihat sebagai umat yang sudah melanggar
perintah ajaran agamanya; dengan kata lain juga, telah melanggar perintah
Tuhannya.
Melanggar perintah Tuhan, dalam agama apapun, itu berarti
dosa. Namun, kita sadar bahwa Tuhan itu adalah Allah yang Maharahim dan Pengampun.
Sebesar apapun dosa umat-Nya, asal kita mau bertobat, Allah akan mengampuninya.
Apakah kejengkelan sahabat saya itu berkaitan dengan ramalan, bahwa Allah akan menenggelamkan Jakarta lantaran Jokowi bermaksiat pada malam tahun baru? Mungkin sahabat saya berpikir, jika memang demikian, betapa Allah umat islam itu kejam dan keji. Yang salah umat-Nya, koq yang menderita umat lain juga.
Apakah kejengkelan sahabat saya itu berkaitan dengan ramalan, bahwa Allah akan menenggelamkan Jakarta lantaran Jokowi bermaksiat pada malam tahun baru? Mungkin sahabat saya berpikir, jika memang demikian, betapa Allah umat islam itu kejam dan keji. Yang salah umat-Nya, koq yang menderita umat lain juga.
Jakarta, 18 Januari 2014
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar