Hari ini Injil berbicara soal pertentangan yang dibawa oleh Yesus. Renungan hari ini pun membahas soal hal itu. Untuk menegaskan isi renungan hari ini, kami akan menurunkan kisah hidup orang yang menemukan gejolak hidup dan pertentangan ketika menemukan kebenaran dalam Yesus. Orang itu adalah Mark A Gabriel.
Yesus Membawa
Pertentangan:
Sebuah Kesaksian Hidup
Latar Belakang
Sejak umur 5 tahun saya sudah belajar
menghafal Al-Quran. Paman saya yang mengajar dan membimbing saya hampir setiap
hari. Ia menjadi penasihat saya. Ketika saya berumur enam tahun, ia memasukkan
saya ke sekolah dasar Al-Azhar. Sekolah bergengsi ini difokuskan pada
pendidikan agama Islam.
Hampir setiap pagi, saya pergi bersama
ayah dan paman ke mesjid untuk shalat subuh, yang dimulai sekitar pukul 03.30
pagi dan berakhir sekitar pukul 04.30. Setelah sembahyang, saya biasanya
menunggu di mesjid dengan salinan Al Quran saya. Sebelum saya mulai menghafal
ayat-ayat baru, saya menguji diri saya sendiri akan ayat-ayat yang telah saya
hafalkan dua hari sebelumnya. Setelah saya yakin bahwa hafalan saya benar, saya
mulai dengan materi yang baru.
Saya sangat berhati-hati mempertahankan
apa yang telah saya pelajari, jadi saya menghabiskan waktu dua atau tiga hari
dalam sebulan untuk meninjau ulang. Jika Anda bertanya kepada saya tentang
sebuah ayat yang telah saya hafalkan beberapa bulan sebelumnya, ayat itu telah
ada di dalam pikiran saya.
Paman bukan hanya membantu saya untuk
menghafal, tetapi ia juga memastikan bahwa saya memahami bahasa Arab kuno –
bahasa di dalam Al-Quran. Orang yang berbahasa Arab rata-rata tidak akan dapat
membaca atau mengerti jenis bahasa Arab seperti ini dengan baik, dengan
demikian mempelajari bahasa ini menjadi suatu hal yang penting dalam pendidikan
agama.
Selama tujuh tahun, paman mengajari saya,
ayat demi ayat dan pasal demi pasal. Ketika saya berusia dua belas tahun, saya
telah berhasil menghafal Al-Quran seluruhnya.
Berhasil mempelajari Al-Quran menempatkan
saya pada posisi yang sangat terhormat bagi seorang anak kecil. Orang-orang
memperlakukan saya seperti orang kudus karena saya membawa buku kudus di dalam
pikiran saya. Sejak saat itu, saya secara berurutan membaca dan meninjau
kembali Al-Quran untuk memastikan bahwa saya tidak melupakan apa yang telah
saya pelajari.
Ketika saya masuk Sekolah Menengah
Al-Azhar, satu dari empat tugas utama kami adalah mengingat cerita-cerita yang
paling penting dalam hadits. Hadits adalah catatan yang berisi ajaran dan
tindakan dari Muhammad. Terdapat lebih dari setengah juta hadits.
Tetapi sekolah kami memiliki hadits-hadits
tertentu yang harus dihafal tiap semester. Setelah tamat dari SMA, saya
perkirakan saya telah menghafal antara lima sampai enam ribu hadits.
Setelah lulus dari SMA saya mendaftar ke
Universitas Al-Azhar di Kairo dan memilih untuk bersekolah di Jurusan Bahasa
Arab, seperti yang paman saya lakukan.
Pada hari pertama di kelas, saya
memperoleh pengantar pelajaran yang mengejutkan. Sheikh yang mengajar pada
pelajaran pertama di hari itu memberitahukan kami, “Apa yang saya sampaikan
kepada kalian harus diterima sebagai sebuah kebenaran. Saya tidak akan
mengijinkan diskusi dalam bentuk apapun di dalam kelas. Apa yang tidak saya
katakan, tidak pantas untuk dipelajari. Dengar dan taati, dan jangan bertanya
tentang apapun.”
Saya terganggu dengan filosofi seperti
ini. Kami bersitegang. Masalah ini sampai ke dekan fakultas. Peristiwa ini
mengajarkan saya untuk berdiam dan tunduk seperti yang diminta oleh
universitas. Metode belajar kami adalah membaca buku yang ditulis oleh
ahli-ahli agama Islam terbesar, baik yang modern maupun kuno. Kemudian kami
akan membuat daftar poin-poin penting dari setiap buku dan menghafalkan daftar
tersebut.
Walaupun saya tahu, seringkali saya
mengajukan pertanyaan yang tidak disukai oleh guru-guru saya. Sebagai contoh,
saya bertanya pada salah satu profesor, “Mengapa pada awalnya Muhammad
mengajarkan kita untuk berteman dengan orang-orang Kristen tetapi kemudian
meminta kita untuk membunuh mereka?”
Profesor itu menjawab, “Apa yang telah
nabi perintahkan kepadamu untuk dilakukan, lakukanlah itu. Apa yang
dilarangnya, maka itu terlarang untukmu. Apa yang ia ijinkan, maka itu
diijinkan untukmu. Kamu bukanlah umat Islam yang sebenarnya jika kamu tidak
tunduk kepada kata-kata Muhammad.”
Saya bahkan bertanya pada Sheikh Omar
Abdel, salah satu profesor di kelas penafsiran Al-Quran. Saya bertanya,
“Mengapa setiap saat Anda mengajarkan kami semua tentang jihad? Bagaimana
dengan ayat-ayat lain di dalam Al-Quran yang berbicara tentang damai, kasih dan
pengampunan?”
Wajahnya langsung memerah. “Saudaraku,”
katanya, “ada surat (pasal) yang disebut ’Rampasan Perang’. Tetapi tidak ada
surat yang dinamakan ’Damai’. Jihad dan membunuh adalah inti dari agama Islam.
Jika kamu menghapusnya, maka kamu memotong inti dari Islam.” Jawaban yang saya
dapat darinya dan profesor-profesor lainnya tidak memuaskan saya.
Saya lulus dengan peringkat kedua terbaik
dari enam ribu siswa. Setelah selesai saya kembali di Al-Azhar. Saya memutuskan
bahwa tidak ada profesor atau sheikh yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
saya. Saya harus menjawab pertanyaan saya sendiri. Tetapi, bukannya menemukan
jawaban, saya malah menjadi kecewa dengan Islam. Tetapi saya menyimpannya
sendiri.
Tesis master saya menimbulkan banyak
keributan karena saya menyentuh salah satu isu yang kontroversial. Namun
pemerintah mendukung saya. Universitas meminta saya untuk mulai mengajar bidang
yang saya kuasai – sejarah dan budaya Islam. Pada usia dua puluh delapan tahun,
saya menjadi salah satu dosen termuda yang pernah ada. Saya juga memimpin doa
dan ceramah di sebuah mesjid di pinggiran kota Kairo. Namun, di dalam hati
saya, saya masih terus mencari kebenaran.
Tidak masuk akal untuk meninggalkan semua
pendidikan ini. Saya tidak punya pilihan lain selain melanjutkan perjalanan
ini. Saya pun mulai melanjutkan gelar doktor. Saya menghabiskan waktu dua tahun
melakukan penelitian untuk memperoleh gelar doktor.
Saat mengajar, saya membangun semangat
baru dalam kelas. Saya buka kesempatan untuk bertanya. Saya ingin mahasiswa
saya berpikir bebas dan menggunakan otak mereka tanpa merasa takut karena
adanya konsekuensi-konsekuensi tertentu.
Beberapa mahasiswa mendatangi pemimpin
universitas dan berkata, “Ini adalah dosen yang berbahaya. Kami tidak tahu
apakah ia masih seorang muslim atau telah berpaling.”
Al-Azhar sangat takut akan adanya kekuatan
asing yang menyerangnya dari dalam. Ketua departemen, memanggil saya untuk
menemuinya. Dalam pertemuan itu, ketua departemen memahami perkembangan
pemikiran saya. Ia menjadi takut karenanya dan menyadari bahwa saya perlu
ditangani.
Kemudian saya dipanggil dalam pertemuan
lainnya dengan komite penegakan peraturan universitas. Pertemuan ini awalnya
berjalan dengan baik. Mereka tidak ingin saya keluar dari universitas tetapi
juga saya tidak boleh mengritik Islam.
Sampai di sini, saya punya pilihan. Saya
dapat menyangkal semua kesalahan saya, setuju untuk mengajar dengan cara lama,
dan saya akan baik-baik saja. Atau, saya memberitahu mereka apa yang saya
pikirkan. Pertemuan dengan komite itu sangat panas.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar ayah
saya mendengar suara ketukan di depan pintu. Ketika ia membuka pintu, lima
belas sampai dua puluh orang pria dengan cepat melewatinya sambil membawa
senjata Kalashnikov. Mereka naik ke atas dan mencari saya.
Mereka mendorong saya ke bagian belakang
mobil dan pergi. Saya terkejut, tetapi saya tahu, inilah hasil dari apa yang
telah terjadi di universitas sehari sebelumnya. Saya ditaruh di tempat yang
mirip dengan penjara dimana saya ditempatkan di dalam sel dengan tahanan
lainnya.
Keesokan paginya, orangtua saya dengan
gelisah mencoba mencari tahu apa yang telah terjadi kepada saya. Segera saja
mereka pergi ke kantor polisi dan bertanya tentang keberadaan saya. Tetapi tak
seorangpun tahu Kalau saya ada di tangan polisi rahasia Mesir.
Dituduh Menjadi Seorang Kristen
Selama tiga hari, para penjaga tidak
memberi saya makan ataupun minum. Pada hari keempat, interogasi dimulai. Selama
empat hari ke depan, tujuan polisi rahasia ini adalah untuk membuat saya
mengaku bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan menjelaskan bagaimana hal
itu terjadi. Cara mereka adalah dengan meninggalkan saya sendirian sepanjang
hari dan mengeluarkan saya dari sel pada malam hari untuk diinterogasi.
Pada malam pertama, pertanyaan dimulai di
dalam sebuah ruangan dengan meja besar. Orang yang menanyakan saya duduk di
belakang meja dengan sebatang rokok di tangannya, dan saya duduk di sisi
lainnya. Ia yakin bahwa saya telah murtad dan menjadi seorang Kristen.
Saya memiliki bekas luka bakar pada
tangan, lengan dan muka saya akibat sundutan rokok dan alat pemanas dari besi
untuk menunjukkan kesungguhannya.
Ia ingin saya mengaku bahwa saya telah
murtad, tetapi saya menjawab, “Saya tidak mengkhianati Islam. Saya hanya
mengatakan apa yang saya percayai. Saya adalah seorang akademisi. Saya seorang
pemikir. Saya punya hak untuk membahas topik apapun di dalam agama Islam. Ini
adalah bagian dari pekerjaan dan kehidupan akademik saya. Saya bahkan tidak
pernah bermimpi untuk murtad dari Islam – Islam adalah darah saya, budaya,
bahasa, keluarga dan hidup saya. Tetapi jika Anda menuduh saya telah murtad
dari Islam karena apa yang saya katakan kepadamu, maka keluarkanlah saya dari
Islam. Saya tidak keberatan dikeluarkan dari Islam.”
Para penjaga menarik saya dan
mengembalikan saya ke sel sepanjang hari itu itu. Teman satu sel saya yang
berpikir saya dihukum karena saya adalah seorang pengkaji agama Islam,
memberikan saya makanan dan minumannya.
Keesokan malamnya, saya dibawa ke dalam
sebuah ruangan dengan tempat tidur besi di dalamnya. Para penjaga selalu
mengucapkan sumpah serapah atas saya dan menghina saya, mencoba untuk
mendapatkan pengakuan dari saya. Mereka mengikat saya di tempat tidur dan
mencambuk kaki saya sampai saya pingsan.
Ketika saya bangun, mereka membawa sebuah
tangki kecil berisi air dingin. Mereka memaksa saya untuk bangun, dan itu tidak
lama sebelum akhirnya saya pingsan kembali. Ketika bangun, saya tergeletak di
atas tempat tidur di mana mereka mencambuki saya, masih dengan pakaian yang
basah.
Saya menghabiskan satu hari lagi di dalam
sel. Malam berikutnya saya dibawa keluar, ke bagian belakang bangunan itu. Saya
melihat ada sebuah ruangan kecil, tanpa jendela ataupun pintu. Satu-satunya
cara untuk membukanya adalah melalui jendela di bagian atasnya. Para penjaga
itu memaksa saya untuk masuk. Saya merasakan air di seluruh tubuh saya, tetapi
kemudian saya merasakan kaki saya berpijak di atas tanah. Air menutupi tubuh
saya sampai sebatas bahu. Kemudian saya melihat sesuatu berenang di atas air –
tikus.
Mereka menutup pintu atas, dan saya tidak
dapat melihat apapun. Saya berdiri di air dan menunggu di dalam kegelapan.
Beberapa menit berlalu. Kemudian beberapa jam. Keesokan paginya para penjaga
datang kembali untuk melihat apakah saya masih hidup. Saya tidak akan pernah
melupakan sinar matahari yang terlihat ketika pintu atas ruangan itu dibuka.
Sepanjang malam saya merasakan tikus-tikus menaiki kepala dan bahu saya, tetapi
tidak satu ekorpun yang mengigit saya. Para penjaga kemudian membawa saya
kembali ke dalam sel dengan heran.
Malam harinya, para penjaga membawa saya
ke depan sebuah ruangan kecil dan mengatakan bahwa ada seseorang yang sangat
mencintai saya dan ingin bertemu. Saya berharap itu adalah salah satu anggota
keluarga atau teman saya yang mengunjungi atau membawa saya keluar dari penjara
itu. Mereka membuka pintu ruangan, dan di dalamnya saya melihat seekor anjing
besar. Tidak ada orang lain di dalam ruangan itu. Mereka mendorong saya masuk ke
dalam dan menutup pintu.
Saya berjalan ke tengah ruangan yang
kosong itu dan duduk bersila di atas lantai. Anjing itu lalu menghampiri saya
dan duduk di depan saya. Menit-menit berlalu sementara anjing itu memandangi
saya.
Anjing itu kemudian berdiri dan mulai
berjalan mengelilingi saya, seperti seekor binatang yang hendak memakan
sesuatu. Ia lalu berjalan ke sisi kanan saya, menjilati telinga saya dan duduk.
Saya sangat lelah. Tidak lama setelah ia duduk di sebelah kanan saya, saya pun
tertidur. Ketika saya bangun, anjing itu duduk di sudut ruangan. Lalu berlari
ke arah saya dan duduk kembali di sebelah kanan saya. Ketika para penjaga
membuka pintu mereka melihat saya sedang berdoa dengan anjing duduk di sebelah
saya. Mereka mulai benar-benar bingung karena saya.
Selama ini keluarga saya terus mencoba
mencari tahu di mana saya berada. Tetapi mereka tidak berhasil. Paman saya
memiliki jaringan yang tepat. Lima belas hari setelah saya diculik, ia datang
ke penjara itu seorang diri dengan surat jaminan pembebasan dan membawa saya
pulang ke rumah.
Saya kembali ke rumah orang tua saya untuk
mencari tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Kemudian seorang polisi
memberikan laporan kepada ayah saya:
“Kami telah menerima fax dari Universitas
Al-Azhar yang menuduh anak Anda meninggalkan agama Islam, tetapi setelah
interogasi selama lima belas hari kami tidak menemukan bukti-bukti yang
mendukung pernyataan itu.”
Berjumpa dengan Yesus
Saya keluar dari penjara dengan rasa marah
terhadap agama Islam tetapi tetap meyakini bahwa ada kuasa yang luar biasa yang
telah menjaga saya hingga tetap hidup. Setiap hari, keingintahuan saya akan
“Tuhan” itu menjadi semakin besar. Saya tidak pernah berpikir tentang Tuhannya
orang Yahudi atau orang Kristen, karena saya masih dipengaruhi oleh Al-Quran
dan ajaran-ajaran Muhammad, yang mengatakan orang Kristen menyembah tiga Tuhan.
Sedangkan saya mencari Tuhan yang satu. Selain itu Al-Quran mengatakan bahwa orang
Yahudi telah menyelewengkan Kitab Suci mereka.
Hal ini mendorong saya untuk melihat
agama-agama di Timur Jauh – Hindu dan Budha. Saya telah mendengar tentang
agama-agama ini ketika saya menempuh kuliah S-1, dan saat itu saya telah
menemukan banyak buku untuk mempelajari tentang agama-agama tersebut. Tetapi
setelah mempelajari semuanya itu, kesimpulan saya adalah: Tidak.
Saya mulai mengalami sakit kepala akut.
Saya pergi ke dokter untuk melakukan scan terhadap otak saya. Dokter kemudian
memberikan obat penghilang sakit yang diminum setiap malam.
Suatu hari sakit kepala menyerang begitu
hebat, sehingga saya pergi ke apotek untuk membeli pil lagi. Apoteker yang saya
datangi adalah orang Kristen. Saya sudah biasa bertemu dengannya sehingga saya
merasa nyaman untuk berbicara dengannya. Saya mulai mengeluh, “Pil-pil ini
tidak lagi membantu saya seperti sebelumnya.”
Ia menjawab, “Kamu sepertinya sudah pada
tahap berbahaya. Kamu mulai menjadi terbiasa dengan tablet-tablet itu. Kamu
meminumnya bukan untuk menghilangkan rasa sakit tetapi karena kamu tidak bisa
menghentikannya sekarang.” Lalu ia berkata dengan lembut, “Apa yang terjadi
dalam hidupmu?”
Saya memberitahukannya bahwa saya sedang
mencari Tuhan. Ia terkejut. Saya menceritakan kisah saya kepadanya.
Ia kemudian mengeluarkan sebuah buku dari
bawah mejanya dan berkata perlahan-lahan, “Saya akan memberimu buku ini.
Sebelum kamu meminum pilmu malam ini, cobalah untuk membaca sesuatu dari buku
itu. Kemudian lihat apa yang kamu rasakan.”
Saya membawa pil-pil ini di tangan yang
satu sementara tangan yang lainnya memegang buku itu. Buku itu adalah Kitab
Suci.
Lalu saya pulang ke rumah dan masuk ke
dalam kamar. Ini adalah saat pertama dalam hidup saya membawa sebuah Alkitab.
Saya berusia tiga puluh lima tahun pada saat itu.
Saat itu malam di musim panas, sekitar
pukul 10.00. Sakit kepala saya begitu hebat, tetapi saya tidak meminum obat
saya. Saya hanya menaruhnya di atas meja dan melihat pada Alkitab itu. Saya
tidak tahu harus membaca dari mana. Jadi saya menjatuhkannya dan terbuka begitu
saja. Buku itu jatuh dan terbuka di Matius 5.
Saya mulai membaca tentang khotbah Yesus
di atas gunung. Kemudian saya melihat sebuah gambaran – Yesus di atas gunung
sedang mengajar kerumunan orang di sekitarnya. Sementara saya membaca, saya
lupa kalau saya sedang di rumah. Saya tidak merasakan apa-apa di sekitar saya.
Kitab Matius itu membawa saya dari satu cerita kepada cerita yang lain.
Saya terus membaca Alkitab tanpa menyadari
waktu, sampai akhirnya saya mendengar panggilan sembahyang pagi dari mesjid. Saya terkejut melihat jam di tempat
tidur di samping saya. Waktu telah menunjukkan pukul empat pagi. Saya mendengar
anggota keluarga berjalan-jalan di sekitar rumah, bersiap-siap untuk pergi ke
masjid. Tapi pagi ini saya tidak memiliki hasrat untuk berdoa: Saya merasa damai luar biasa dan saya hanya ingin beristirahat.
Saya bahkan tidak menyadari bahwa sakit
kepala saya telah hilang sepenuhnya. Pada jam tujuh pagi, saya bangun dan
merasa segar sekali. Saya siap untuk mengambil keputusan saya. Saya telah menemukan Tuhan Maha
Kuasa penguasa surga yang saya cari selama ini.
Tanpa keraguan sedikitpun saya berdoa.
Kemudian saya kembali ke Alkitab. Saya telah selesai membaca keempat Injil,
Kisah Para Rasul dan Roma. Saya tidak tahu apa lagi yang akan saya baca,
sehingga saya membiarkan Alkitab apoteker itu terbuka. Kali ini saya sampai di
Mazmur 91. Saya membacanya. Itu seperti pesan pribadi untuk saya dan situasi
yang saya alami!
Sekitar jam sebelas siang saya kembali ke
apotek dengan obat di satu tangan dan Alkitab di tangan yang lain. Apoteker itu
bertanya apakah saya sudah membaca Alkitab? Saya menjawab bahwa saya memutuskan
menjadi Kristen.
Dia melompat dan mulai memuji Tuhan dengan
nyaring, kemudian memeluk saya. Ia langsung menelpon suaminya. Setengah jam
kemudian suaminya tiba. Kemudian mereka membawa saya ke gereja, karena mau
memperkenalkan saya dengan pendeta.
Setelah berbicara beberapa saat dengan
pendeta di kantornya, maka ia sampai pada sebuah kesimpulan yang mengagetkan
kami semua. Pendeta itu menolak saya. Ia takut islam radikal akan menyerang
gereja ketika mendengar bahwa seorang muslim telah murtad dan menghadiri
kebaktian mereka. Ketika kami meninggalkan kantornya, saya berkata kepadanya:
”Dengar, saya tidak khawatir tentang apa yang telah anda lakukan sekarang.
Juruselamat saya akan membantu saya dan akan menjaga saya. Walaupun kamu menolak saya, Ia
tetap setia menemani saya ke mana saja. Tetapi
anda memerlukan bantuan.”
Selama setahun kemudian, saya tinggal
sebagai ”Orang Kristen Rahasia” di Mesir. Saya tidak memberitahu keluarga. Saya
mengalami banyak kesulitan dalam mencari gereja yang menerima saya. Tiga orang
pendeta mengatakan kepada saya bahwa saya tidak diterima di gereja mereka. Pada
akhirnya saya naik taksi untuk pergi ke biara yang berada jauh di gurun di luar
Kairo. Seorang biarawan bicara dengan saya di luar tembok biara yang
menyampaikan hal yang sama. Tetapi saya diberi nama seorang pendeta yang mungkin
dapat membantu.
Pada hari berikutnya saya tiba di gereja
tersebut. Pendetanya awalnya sangat keras, ia mencoba untuk memastikan bahwa
saya jujur. Ia menerima saya, dan saya datang ke gereja itu dengan berhati-hati
selama setahun. Saya berhati-hati untuk tidak menarik perhatian orang.
Saya naik bus ke gereja, alih-alih membawa mobil untuk menghindari diikuti oleh
muslim radikal. Saya tidak menceritakan kisah saya kepada anggota gereja yang
lain. Gereja besar di Mesir biasanya menempatkan polisi orang Mesir untuk
menjaga keamanan di pintu masuk. Sampai polisi terbiasa melihat saya, saya
bersembunyi di antara sekelompok orang untuk masuk dan keluar dari gereja, saya
harus yakin bahwa saya tidak akan dihentikan dan ditanyai siapa saya.
Akhirnya keluarga saya tahu. Suatu hari,
tanpa rencana, saya mengatakan yang sebenarnya pada ayah saya. Segera ayah saya
mengambil pistol revolver dari bahunya dan menembakkan lima peluru pada saya.
Dalam beberapa hari, saya meninggalkan rumah dan Mesir untuk selamanya. Itu
adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.
Saya ke Afrika Selatan dan akhirnya
Amerika Serikat. Saya membawa Alkitab apoteker bersama saya dan memilikinya
hingga hari ini. Perempuan itu membayar harga untuk menolong saya. Setelah saya
meninggalkan Mesir, muslim radikal membakar apoteknya, mencoba untuk membunuh
dia. Beberapa kristen Koptik di Mesir memberitahu saya bahwa ia dan suaminya
meninggalkan Mesir dan berimigrasi ke Kanada.
by:
adrian
diolah dari Bab 1 – 3 dan Bab
20 buku “YESUS Dan MUHAMMAD: Kesamaan yang Mencengangkan dan Perbedaan yang
Besar” karya Mark A. Gabriel PhD.
Baca juga sharing
lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar