Jumat, 29 Januari 2021

KAJIAN ISLAM ATAS SURAH AL FATIHAH AYAT 5

 

Al-Qur’an merupakan wahyu Allah secara langsung yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW. Hal ini bisa dipahami seperti Allah berbicara kepada Muhammad, dan Muhammad mendengarnya. Apa yang didengar Muhammad itulah yang kemudian ditulis dan menjadi sebuah kitab yang bernama Al-Qur’an. Dengan perkataan lain, umat islam percaya dan meyakini bahwa apa yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah merupakan kata-kata Allah SWT sendiri. Karena itu, umat islam menaruh hormat yang tinggi kepada Al-Qur’an. Pelecehan terhadap Al-Qur’an sama artinya pelecehan kepada Allah SWT. Dan orang yang melakukan hal itu, berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an, wajib dibunuh.

Berangkat dari pemahaman ini, maka apa yang tertulis dalam surah al-Fatihah ayat 5 (dan juga ayat-ayat lainnya) merupakan perkataan langsung dan asli dari Allah SWT. Allah berbicara dan Muhammad mendengarnya. Apa yang tertulis di sana seperti itu juga yang didengar oleh nabi Muhammad SAW. Teksnya berbunyi, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

Sepintas tidak ada yang aneh dari teks tersebut. Namun bila ditelaah secara kritis, maka pembaca yang masih mempunyai akal sehat akan tersenyum-senyum. Dalam surah al-Fatihah itu dapat dikatakan Allah SWT berkata kepada Muhammad, “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Cobalah sejenak membayangkannya! Aneh dan lucu kan.

Dalam kalimat itu terdapat dua keanehan. Pusat keanehan yang pertama ada pada kata ENGKAU. Kita bisa bertanya, siapa yang dimaksud dengan kata “engkau” dalam teks tersebut; apakah Muhammad atau Allah SWT yang berbicara. Di sini Allah yang sedang berbicara, dan Muhammad sebagai lawan/kawan bicaranya. Allah yang berbicara memakai kata “engkau”, yang tentunya perkataan-Nya itu ditujukan kepada Muhammad. Pertama-tama kita harus menyingkirkan penggunaan huruf “e” kapital, karena saat diucapkan tentulah tidak dapat diketahui pasti apakah huruf kecil atau huruf kapital. Jadi, kata “engkau” itu merujuk kepada Muhammad atau Allah SWT.

Dapat dipastikan kata itu tidak dimaksudkan dengan Muhammad. Kepastian ini diperkuat dengan kata “menyembah”. Tentulah tidak mungkin Muhammad yang disembah. Karena itu, pilihannya tinggal Allah SWT yang berbicara. Akan tetapi, pilihan ini bukan lantas menyelesaikan masalah, namun justru meninggalkan keanehan baru. Bagaimana mungkin Allah yang berbicara menyebut “engkau” untuk diri-Nya sendiri. Sungguh aneh dan menyalahi tata aturan bahasa.

Dalam tata bahasa, kata “engkau” merupakan kata ganti orang kedua tunggal. Kata ini sepadan dengan kata “kamu”, “kau”, atau “Anda”. Berdasarkan hukum tata bahasa, orang yang sedang berbicara merupakan orang pertama, sedangkan yang bukan berbicara atau lawan bicaranya adalah orang kedua. Dengan kata lain, orang kedua merupakan pribadi lain selain orang pertama. Jadi, ada 2 orang yang berbeda.

Karena itulah, perkataan Allah yang memakai kata “engkau” menunjuk kepada pribadi lain selain diri-Nya sendiri. Siapa pribadi itu? Yang pasti pribadi tersebut pantas untuk disembah; hanya pribadi itu yang disembah. Karena Muhammad tak pantas untuk disembah, maka pastilah pribadi itu adalah Allah yang lain selain Allah SWT yang sedang berbicara. Dengan demikian, ada 2 Allah, yang satunya sedang berbicara dan yang lainnya menjadi bahan pembicaraan, yaitu Allah yang kepada-Nya, “kami menyembah dan …. Mohon pertolongan.” (Baca lebih lanjut "Memahami Konsep Ketauhidan Islam")

Siapakah Allah yang dimaksud dalam teks ini? Jika diperhatikan dan mengaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya (ayat 1 – 4), dapatlah dikatakan bahwa Allah yang dimaksud dalam ayat 5 adalah Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Tuhan seluruh alam dan Pemilik hari pembalasan. Dia inilah yang “kami menyembah dan …. Mohon pertolongan.” Jadi, Allah ini berbeda dengan Allah SWT yang saat itu sedang berbicara dengan nabi Muhammad SAW.

Keanehan kedua terletak pada kata KAMI. Sama seperti pada keanehan pertama, di sini juga kita dapat mengajukan pertanyaan yang sama, siapa yang dimaksud dengan kata “kami” itu. Dalam tata bahasa, kata “kami” merupakan kata ganti orang pertama jamak. Kata ini sepadan dengan kata “kita”. Berdasarkan hukum tata bahasa, dalam kata “kami” itu terkandung saya dan dia, bisa juga saya, mereka dan dia, atau hanya saya dan dia, sedangkan pada kata “kita” engkau dilibatkan. Dengan demikian, dalam kata “kami” itu, Allah SWT yang sedang berbicara termasuk.

Telaah linguistik atas kata “kami” mendapatkan bahwa nabi Muhammad tidak termasuk di dalamnya. Siapa saja yang dimaksud dalam kata “kami” itu, selain Allah SWT yang berbicara? Ada kemungkinan kata itu merujuk pada Allah dan para malaikat. Namun yang pasti, Muhammad bukan bagian dari kata “kami” itu.

Demikianlah keanehan yang terdapat dalam surah al-Fatihah ayat 5 ini. Tentulah keanehan ini baru dirasakan ketika orang memakai akal sehatnya membaca teks tersebut. Bagaimana keanehan ini bisa dijawab? Ada beberapa kemungkinan atau pendekatan dan problematiknya.

1.    Allah SWT sedang mendiktekan kepada Muhammad. Perlu dipahami, surah ini secara keseluruhan (ayat 1 – 7) bisa merupakan satu kesatuan. Karena itu, bisa saja saat itu Allah SWT datang kepada Muhammad dan menyampaikan surah ini. Konteksnya, Allah ingin supaya Muhammad mengulangi apa yang dikatakan-Nya. Dengan pendekatan ini, maka yang dimaksud dengan kata “engkau” adalah Allah yang saat itu sedang berbicara, sedangkan kata “kami” adalah Muhammad dan kaum muslim.

Akan tetapi, pendekatan ini bukan tanpa masalah. Jika memang demikian, seharusnya Allah berkata, “Katakanlah: ……” Model seperti ini dapat ditemui dalam banyak surah Al-Qur’an. Sekedar menyebut beberapa QS al-Baqarah: 136; QS Ali Imran: 26; QS al-Anam:  14; QS al-Araf: 32 atau dalam ayat 1 dari tiga surah terakhir. Sebagai contoh, kita lihat 2 ayat dari surah az-Zumar. Kedua ayat ini sangat mirip dengan kutipan teks yang dibahas ini, malah dapat dikatakan bahwa 2 ayat ini merupakan penjabaran dari ayat 5 surah al-Fatihah. Teksnya sebagai berikut, “Katakanlah: Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” (ayat 14); dan teks kedua, “Katakanlah: Pertolongan itu hanya milik Allah semuanya …..” (ayat 44).

Jika surah al-Fatihah juga dimaksudkan sebagai upaya Allah agar Muhammad mengulangi perkataan-Nya, maka ini menunjukkan ketidak-konsistenan Allah. Allah yang berbicara dalam Al-Qur’an adalah allah yang suka berubah-ubah. Indikasi ketidak-konsistenan Allah dalam Al-Qur’an memang jamak ditemui. Salah satunya adalah penggunaan kata ganti untuk diri-Nya sendiri.

2.    Malaikat Jibril yang berbicara dan menghendaki agar Muhammad mengulangi apa yang dikatakannya. Umat islam meyakini bahwa malaikat Jibril merupakan utusan Allah. Dia-lah yang paling sering bertemu dan berbicara dengan Muhammad untuk menyampaikan pesan Allah. Karena itulah, teks atau bahkan surah ini seluruhnya disampaikan oleh malaikat Jibril. Pendekatan ini tidak hanya menyelesaikan masalah kata “engkau” dan kata “kami”, melainkan juga masalah ketidak-konsistenan Allah seperti yang ditemukan pada pendekatan pertama di atas.

Jika malaikat Jibril yang berkata, maka yang dimaksud dengan kata “engkau” adalah Allah SWT, sedangkan “kami” adalah malaikat Jibril dan para malaikat lainnya. Karena nanti yang berbicara adalah Muhammad, maka yang dimaksud dengan kata “kami” adalah Muhammad dan juga umat islam. Tidak adanya frase “Katakanlah, ….”, seperti dalam banyak surah yang mengindikasikan ajakan untuk mengulangi, hal ini disebabkan karena yang berbicara adalah malaikat Jibril  Frase itu hanya digunakan oleh Allah sendiri ketika berbicara kepada Muhammad.

Meski demikian, pendekatan ini bukan lantas tanpa masalah. Umat islam sudah yakin bahwa Al-Qur’an adalah kata-kata Allah sendiri yang langsung disampaikan kepada Muhammad. Jika dikatakan bahwa yang berbicara dalam surah ini adalah malaikat jibril (bukan Allah), maka esensi atau substansi Al-Qur’an berubah. Dia tidak lagi sebagai kata-kata Allah yang langsung, tetapi juga kata-kata Allah yang disampaikan oleh pihak lain.

3.    Perubahan dalam penulisan. Surah ini disampaikan Allah secara langsung kepada Muhammad. Ada kemungkinan, ketika menyampaikan wahyu-Nya, Allah tidak menggunakan kata “engkau” tetapi kata “Aku”; demikian pula bukan kata “kami” tetapi “kalian”. Jadi, kurang lebih perkataan Allah itu seperti ini, “Hanya kepada Akulah kalian menyembah dan hanya kepada Akulah kalian mohon pertolongan.” (Jika memang demikian, maka memang tidak ada masalah bahasa). Namun, ketika Muhammad menyampaikan untuk ditulis (diandaikan Muhammad tidak bisa menulis), muncul keraguan dalam hati kecilnya. Jika dia menyampaikan seperti apa yang dikatakan Allah, maka muncul kesan bahwa dirinyalah yang umat islam sembah dan mohon pertolongan. Muhammad bingung, jangan-jangan umat mengasosiasikan kata “aku” dengan dirinya dan “kalian” dengan umat islam. Untuk mengatasi kebingungan itu, mungkin Muhammad mengubahnya menjadi teks yang kita baca sekarang ini.

Sebenarnya masalah ini dapat diatasi dengan menambah frase “Allah berfirman, ….” Dan frase ini banyak juga ditemui dalam Al-Qur’an, misalnya dalam QS al-Araf: 38 dan QS Yunus: 89. Menjadi pertanyaan, kenapa Muhammad tidak menambah frase tersebut, tapi justru malah mengubah perkataan Allah. Artinya, jika dia punya wewenang mengubah, maka dia juga punya wewenang untuk menambah.

Bisa juga yang mengubah perkataan Allah itu adalah penulisnya. Cara berpikirnya kurang lebih hampir mirip. Ketika Muhammad menyampaikan wahyu Allah secara persis, penulisnya takut umat islam nanti salah memahami perkataan Allah dalam ayat 5 (dan juga 7). Karena itu, penulis mengubahnya. Toh, Muhammad tidak bisa membaca, sehingga tidak tahu adanya perubahan tersebut.

Pendekatan ini pun masih menyisahkan persoalan. Jika memang benar bahwa Muhammad telah mengubah perkataan Allah, maka keaslian Al-Qur’an patut dipertanyakan. Umat islam yakin bahwa Al-Qur’an merupakan asli kata-kata Allah SWT yang disampaikan langsung kepada Muhammad. Karena itu, jika ada perubahan, maka keyakinan tersebut bisa luntur. Al-Qur’an tidak asli lagi.

4.    Kata-kata Muhammad. Patut dicurigai kalau semua isi surah al-Fatihah ini merupakan kata-kata Muhammad sendiri, bukan perkataan Allah SWT. Nabi Muhammad merekayasanya dengan mengatas-namakan Allah. Dengan kata lain, sekalipun merupakan perkataannya sendiri, tapi Muhammad “menjualnya” sebagai wahyu Allah. Sebenarnya soal adanya rekayasa dalam Al-Qur’an ini sudah diungkapkan orang sejak jaman Muhammad. Dalam surah al-Anbiya: 5 dengan tegas dikatakan bahwa Al-Qur’an itu hasil rekayasa Muhammad (bdk. QS al-Furqan: 4; QS Saba: 43 dan QS al-Ahqaf: 8). Karena itu, tidak mustahil jika surah al-Fatihah ini pun merupakan hasil rekayasa Muhammad.

Pendekatan ini tentulah membuat seluruh isi surah al-Fatihah ini menjadi masuk akal. Kesan anehnya hilang. Norma tata bahasa terpenuhi. Kata ‘engkau” jelas merujuk kepada Allah, sedangkan “kami” merujuk kepada umat manusia, dimana Muhammad termasuk di dalamnya.

Akan tetapi, pendekatan ini tetap meninggalkan persoalan. Pendekatan ini membuat keyakinan dan pemahaman bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah menjadi luntur. Hal ini tentu berdampak lebih luas lagi, yaitu menyangkut kebenaran iman islam. Eksistensi islam patut dipertanyakan. Lebih parah lagi, islam akan dikaitkan dengan kebohongan, karena ia berdiri atas dasar kebohongan. Dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa islam agama pembohong.

Demikianlah 4 pendekatan untuk mengatasi persoalan yang muncul atas ayat 5 surah al-Fatihah ini. Kita tidak tahu pendekatan mana yang paling benar, karena setiap pendekatan mengandung konsekuensi bagi iman islam. Namun, dari pendekatan-pendekatan ini, satu hal yang bisa dipastikan adalah betapa kacaunya Al-Qur’an. Karena itu, tak heran bila ada ahli islam yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah pikiran orang bingung yang dituliskan di atas kertas. Sebenarnya pendapat ini sudah dikemukakan orang sejak jaman Muhammad. Dalam surah al-Anbiya: 5 orang-orang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu hasil mimpi (atau pikiran) yang kacau. Kekacauan ini sebenarnya bukan hanya terdapat pada surah al-Fatihah saja, melainkan tersebar dalam surah-surah lainnya.

Lingga, 17 Oktober 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar