Senin, 02 Desember 2019

UJARAN KEBENCIAN DALAM CERAMAH KEAGAMAAN


Masalah ujaran kebencian memang sudah diatur dalam undang-undang. Bahkan pihak kepolisian menambah dengan surat edaran no. SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Dalam surat edaran itu, disebutkan tujuan dari peraturan ini. Salah satunya adalah demi terpeliharanya kerukunan hidup berbangsa dan bernegara yang berbhineka tunggal ika serta melindungi keragaman kelompok dalam bangsa.
Akan tetapi, bisakah masalah ujaran kebencian ini ditangani secara baik dan benar? Ada satu topik ujaran kebencian yang penanganannya akan menemukan kesulitan, yaitu ceramah keagamaan.
Pada poin 2 (g) surat edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian dikatakan bahwa ujaran kebencian itu bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap orang dan/atau kelompok masyarakat berdasarkan beberapa aspek, salah satunya adalah agama. Dan poin 2 (h) dijelaskan cara penyampaian ujaran kebencian itu, yang di antaranya adalah ceramah keagamaan. Jadi, ujaran kebencian itu bisa terjadi lewat ceramah keagamaan yang menyulut rasa benci kepada sekelompok agama tertentu.
Menjadi persoalan adalah apakah ceramah keagamaan yang menyampaikan ajaran agama bisa dimasukkan dalam kasus ujaran kebencian atau penistaan? Ada banyak ajaran islam, yang ada dalam Al-Qur’an bersinggungan dengan agama lain, yang jika dilihat dari sudut pandang tertentu akan dinilai melakukan penistaan.
Misalnya, ketika membahas surah An-Nisa: 157, mau tidak mau ustad atau si penceramah akan mengatakan bahwa Yesus itu tidak pernah disalibkan di kayu salib. Yang mati di kayu salib itu adalah orang yang menyerupai Yesus. Jika orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Basuki Tjahaya Purnama telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka hal demikian pula seharusnya terjadi. Menjadi persoalannya, bisakah ustad atau penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu saja tidak mungkin, karena si ustad atau penceramah tengah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat ustad atau penceramah dengan jerat ujaran kebencian sama saja berarti menjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.
Atau ketika membahas surah Al-Maidah: 41, mau tak mau penceramah akan mengatakan bahwa Alkitab sudah dipalsukan. Bukan tidak mungkin penceramah juga akan mengutip surah Al-Baqarah: 75 untuk semakin menguatkan argumennya. Jika orang kristen memakai cara berpikir MUI yang memfatwa Basuki Tjahaya Purnama telah melakukan penistaan agama dan ulama, maka orang kristen juga bisa menjerat si penceramah telah melakukan penistaan agama. Menjadi persoalannya, bisakah penceramahnya dijerat dengan kasus penistaan agama? Tentu saja tidak mungkin, karena si penceramah menyampaikan ajaran agamanya. Menjerat penceramah dengan jerat ujaran kebencian sama saja dengan menjerat ajaran agamanya. Apakah ini bukan merupakan penistaan terhadap agama islam.
Inilah contoh betapa peliknya menangani kasus ujaran kebencian, apalagi yang berbasis agama. Ajaran agama islam penuh dengan kebencian (meski tak menutup juga ada yang positif). Kata "kafir" yang tersebar di Al-Qur'an dan biasa dipakai oleh umat islam, merupakan bentuk penghinaan, yang dapat disamakan dengan ujaran kebencian. Bagaimana mungkin menjerat seseorang dengan pasal ujaran kebencian, padahal orang itu sedang menyampaikan pengajaran agamanya dalam sebuah ceramah keagamaan. Seorang tokoh agama punya kewajiban untuk menyampaikan ajaran agamanya, karena itu sudah merupakan perintah Allah. Nah, apakah karena penyampaian dalam ceramah itu dia harus ditangkap dan diproses hukum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar