PELAYANAN ATAU KEWAJIBAN
Saya merasa risih mendengar
pernyataan seorang imam bahwa dirinya telah melakukan tugas pelayanan dengan
maksimal. “Kami bekerja setiap hari selama seminggu. Kerjanya 24 jam.” Ungkap
imam itu dengan bangganya.
Tugas yang dimaksud imam
tersebut adalah misa setiap hari (misa harian), setiap hari Minggu 2 hingga 3
kali; kadang tengah malam dibangunkan untuk memberi pengurapan orang sakit,
dll. Intinya, semua tugas sakramen dan sakramentalia.
Kebanggaan imam itu ditambah
lagi dengan uang saku yang diterimanya. Sekalipun bekerja setiap hari dan 24
jam, ia hanya menerima uang saku. Ia tidak menerima gaji. Uang sakunya pun
sedikit, meski ia dapat memiliki benda-benda elektronik yang harganya tak
terjangkau uang sakunya sebulan.
Pertanyaannya adalah
benarkah imam itu sudah melakukan tugas pelayanan? Pelayanan menjadi inti dari
imamat. Ketika ditahbiskan menjadi imam, seorang imam dipanggil untuk melayani,
bukan dilayani. Ini mengutip pernyataan Tuhan Yesus sendiri, “Anak Manusia datang
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Mat 20 28).
Pernyataan imam bahwa ia
telah melakukan pelayanan patut dipertanyakan. Apakah benar ia sudah melakukan
tugas pelayanan, atau tugas kewajiban? Sangat tipis perbedaan antara sebuah
tugas pelayanan dengan tugas kewajiban.
Bagi saya, jika hanya
sebatas merayakan misa sesuai ketentuan, ini merupakan kewajiban. Adalah tugas
seorang imam untuk merayakan ekaristi. Dan adalah juga tugas seorang imam untuk
memperhatikan kebutuhan rohani umat gembalaannya. Karena itu, seorang imam
merayakan misa bersama umat, entah itu di gereja atau di komunitas, itu adalah
kewajibannya.
Bahkan ketika tengah malam,
tidur seorang imam diganggu oleh panggilan untuk perminyakan orang sakit, itu
adalah kewajibannya. Dia ditahbiskan untuk itu.
Lantas, kapan seorang imam
dikatakan melakukan tugas pelayanan? Pelayanan lahir dari dalam diri seorang
imam. Tugas yang dilakukan bukan karena aturan atau ketentuan, tetapi karena
dirinya mau melakukannya. Dalam pelayanan ada pengorbanan; dan pengorbanan
terbesar adalah egonya.
Sebagai contoh, suatu hari
seorang imam sudah mempunyai jadwal dua misa. Tiba-tiba ada seorang umat minta
diadakan misa di tempatnya. Soal waktu dapat diatur, dan kesempatan itu memang
ada. Jika menyanggupi permintaan itu, ia telah melakukan pelayanan. Apalagi
jika ia tidak memperhatikan status sosial-ekonomi umat yang minta (terkait
dengan stipendium yang bakal diterima).
Atau, ketika seorang imam
datang mengunjungi umat tanpa memandang status sosial-ekonomi, suku atau
golongan; melayat umat yang mendapat musibah, baik di rumah maupun di penjara
dan rumah sakit.
Intinya, di saat imam
melakukan suatu tugas, yang tidak termasuk ketentuan baku, dia sudah melakukan
pelayanan. Tugas yang sudah ditentukan, misalnya seperti misa, berkat Dalam
pelayanan itu, ia telah mengorbankan kepentingan dirinya.
Pangkalpinang,
3 Agustus 2015
by:
adrian
Baca
juga sharing lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar