BELAJAR KEPEMIMPINAN DI METROMINI
Bagi warga kota Jakarta, tentu sudah tak asing dengan
metromini, salah satu transportasi favorit ibukota. Sekalipun keadaan body bagian dalam babak belur, namun
warga masih mengandalkannya, termasuk saya. Sudah menjadi kebiasaan saya, kalau
bepergian arah Grogol, selalu menggunakan Metromini 91. Saya suka naik
metromini ini karena larinya laju.
Umumnya setiap metromini terdiri dari seorang sopir dan
seorang kenek. Bisa dikatakan bahwa
sopir merupakan kepalanya, sedangkan kenek
adalah bawahannya. Karena itu, sering kita dengar sopir memarahi kenek bila ada kekeliruan; sesuatu yang
tak mungkin ditemukan jika kenek
marah kepada sopir. Namun, terkadang terlihat juga bahwa kenek itu menjadi rekan kerja sopir.
Tugas sopir hanyalah mengendarai metromini. Dia tidak
dipusingkan dengan urusan lain. Tugas lain dia serahkan kepada rekannya. Sekalipun
posisinya lebih tinggi dari keneknya,
dia taat kepada kenek jika rekannya
itu memintanya untuk berhenti saat ada penumpang turun atau naik. Karena fokus
pada kemudi, maka kebanyakan metromini lari dengan laju di antara kepadatan
jalanan raya ibukota. Bahkan ia berani menyelip-nyelip kendaraan lain.
Tugas utama kenek
ada empat jenis. Pertama, ia mencari
penumpang di jalanan dengan cara berteriak-teriak menyebutkan tujuan metromini
itu. Jika ada, segera ia memberitahu sopir (atasannya). Kedua, membantu menaikan dan menurunkan penumpang. Kenek yang lebih dahulu tahu penumpang
hendak turun dimana; dan ia segera menyampaikannya kepada sopir (tidak disimpan
sendiri). Ketiga, mengatur ongkos.
Dia mendapat kepercayaan penuh dari sopir untuk meminta ongkos dari penumpang.
Sopir tidak curiga kalau uang itu akan sedikit ditilep oleh rekannya. Terkait ongkos ini, ada satu hal positif dari kenek, yaitu kejujuran. Tarif jauh - dekat metromini adalah 3 ribu. Jika ada penumpang memberi 5 ribu, ia akan kembalikan 2 ribu (hal yang jarang ditemukan pada mikrolet). Keempat, di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, kenek berperan membantu sopir untuk mencari celah agar metromininya bisa masuk.
Suatu hari, saya hendak ke Grogol. Seperti biasanya saya naik
metromini. Saya setelah beberapa menit saya duduk, tidak ada orang yang datang
meminta ongkos seperti biasanya. Saya coba lihat-lihat, ternyata memang
metromini itu lagi tidak ada keneknya.
Karena itu, semua pekerjaan ditangani sendiri oleh sopir. Dia yang
melihat-lihat penumpang di jalan, dia sendiri yang menerima ongkos dan mengatur
kembalian, jika penumpang memberi uang besar.
Saya merasakan ada perbedaan antara metromini dengan kenek dan metromini tanpa kenek. Kalau dengan kenek, metromini dapat berlari kencang, karena sopir sudah membagi
tugas dengan keneknya. Berbeda dengan
metromini tanpa kenek, yang larinya
sangat lamban. Hal ini tentu sedikit merugikan penumpang yang membutuhkan kecepatan
waktu (mengingat, hidup di Jakarta itu ibarat dikejar dan mengejar waktu)
Dari metromini, kita dapat pelajaran bahwa untuk kemajuan dan
perkembangan sebuah organisasi, maka harus ada pembagian peran dan tugas di
antara pengurus. Jangan serakah peran. Kesediaan membagi tugas kepada orang
lain, bukan hanya karena sadar akan keterbatasan, melainkan demi tujuan.
Kesediaan membagi tugas kepada rekan menunjukkan sikap percaya pada rekan dan tahu diri. Ia tidak serakah pada peran. Orang yang mau berbaagi tugas dan peran adalah orang yang berorientasi pada tujuan bersama, bukan pada kepentingan peribadi.
Selain mau berbagi tugas dengan rekannya, para sopir metromini juga mau berbagi pekerjaan. Umumnya setiap sopir metromini memiliki jatah beberapa putaran. Setelah jatahnya selesai, ia akan menyerahkan metromini itu kepada orang lain. Jadi, sekalipun saat dia bawa lagi ramai penumpang, namun jatahnya sudah selesai, ia akan menyerahkan bus itu ke penggantinya. Belum pernah ada sopir metromini yang menguasai busnya seharian penuh. Selalu saja ia berbagi, baik saat sepi maupun saat ramai. Sikap seperti ini layak dicontohi oleh mereka-mereka yang memiliki posisi jabatan, baik itu di negara maupun Gereja. Jangan karena merasa enak (berhubung tempat basah) orang cenderung mempertahankan posisi jabatan. Sekalipun sudah sepuluh tahun atau lebih berkarya dan tidak ada geliat hasilnya, namun karena merasa nyaman, orang enggan untuk mundur.
Selain mau berbagi tugas dengan rekannya, para sopir metromini juga mau berbagi pekerjaan. Umumnya setiap sopir metromini memiliki jatah beberapa putaran. Setelah jatahnya selesai, ia akan menyerahkan metromini itu kepada orang lain. Jadi, sekalipun saat dia bawa lagi ramai penumpang, namun jatahnya sudah selesai, ia akan menyerahkan bus itu ke penggantinya. Belum pernah ada sopir metromini yang menguasai busnya seharian penuh. Selalu saja ia berbagi, baik saat sepi maupun saat ramai. Sikap seperti ini layak dicontohi oleh mereka-mereka yang memiliki posisi jabatan, baik itu di negara maupun Gereja. Jangan karena merasa enak (berhubung tempat basah) orang cenderung mempertahankan posisi jabatan. Sekalipun sudah sepuluh tahun atau lebih berkarya dan tidak ada geliat hasilnya, namun karena merasa nyaman, orang enggan untuk mundur.
Nah, umumnya sopir metromini dan keneknya hanya berijasah SMP. Bahkan ada juga yang tidak sempat menamatkan SMP-nya. Mereka tak pernah kuliah manajemen. Akan tetapi, mereka bisa bermanajemen. Mereka tak tahu apa itu leadership. Bagaimana dengan kita yang sudah merasakan bangku kuliah dengan ijasah S-1 hingga S-3?
Jakarta, 5 Maret 2014
by: adrian
Baca juga:
agak susah orang yang sudah di atas untuk turun ke bawah
BalasHapuspelajaran berharga dari orang-orang pinggiran
BalasHapus