Selasa, 01 Desember 2015

(Pencerahan) Jangan Terlalu Mudah Menilai Kutukan

BENARKAH MENGKRITIK IMAM MENDATANGKAN KUTUKAN?
Hari Minggu lalu saya mengunjungi sebuah keluarga usai pelayanan misa hari Minggu. Ketika tiba di depan rumah, pasangan suami istri itu sedang sibuk melayani pelanggannya. Maklum, mereka membuka toko kelontong. Ditemani sang suami di ruang tamu, sementara istri sibuk melayani pembeli dan menjaga toko, kami ngobrol tentang kehidupan rumah tangganya, anaknya, masa lalunya hingga kehidupan umat.
Tentang kehidupan umat, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Dikatakan menarik karena hal ini benar-benar mengusik akal sehat dan iman saya sehingga menimbulkan rasa prihatin. Ceritanya begini. Pada waktu paroki itu digembalakan oleh Pastor Hape. Sikap pastor ini kurang simpatik sehingga menimbulkan banyak konflik dengan umat. Ada umat yang sampai mencela pastor itu. Umat ini sudah diperingati supaya tidak mencela pastor, karena bisa mendatangkan kutuk. Umat itu tidak menggubris. Menjelang ajal, umat itu mengalami penderitaan yang sangat hebat. Dan waktu meninggal, jasadnya meninggalkan aroma busuk.
Bapak itu mengatakan kepada saya kalau orang itu kena kutukan. “Jangan main-main dengan imamat pastor.” Demikian tegasnya. Dan ia mengatakan bahwa hal itu sudah disampaikan kepada orang itu. Baginya peristiwa seperti itu bukan baru pertama kali terjadi. Dan bagi saya pun cerita seperti itu bukan yang pertama kali saya dengar. Jauh sebelumnya saya sudah pernah mendengar cerita bahwa jangan macam-macam dengan imam atau uskup kalau tidak mau kena kutuk.
Mendengar cerita bapak itu, lengkap dengan segala keyakinannya, saya sungguh merasa prihatin. Sekalipun saya seorang imam, saya sama sekali tidak bangga. Malah saya merasa malu. Kenapa kesalahan selalu ditimpakan kepada umat; dan kebetulan pula umat itu mendapatkan “aib”. Bagaimana jika orang tersebut mati seperti biasanya, apakah berarti dia benar dan pastornya salah?
Keprihatinan saya akan cerita itu didasari pada dua hal, pertama seakan imam itu bebas salah. Sekalipun sudah menerima tahbisan imamat (atau bahkan episkopal), tidak membuat seseorang itu bebas dari dosa dan salah. Imamat tidak serta merta menghilangkan aspek kemanusiaannya yang lemah dan mudah jatuh ke dalam dosa. Kedua, cerita tadi seakan membuat gambaran imam tak bisa/boleh dikritik. Sekalipun imamnya berbuat salah, jangan coba-coba mengkritik, apalagi mencela. Berani mengkritik berarti siap menerima kutuk.
Ketika merenungkan cerita bapak tadi, saya langsung teringat akan teks cerita dalam Lukas 13: 1 - 5. Ada sekelompok orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang dibantai Pilatus lalu darahnya dicampurkan dengan darah korban persembahan. Mereka berpikir bahwa orang-orang Galilea itu sudah mendapat kutukan sehingga mengalami nasib naas. Akan tetapi Tuhan Yesus mengubah pola pikir mereka. “Jikalah kau tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (ay. 3, 5).
Tuhan Yesus sama sekali tidak menyalahkan orang-orang Galilea yang mengalami nasib buruk. Bahkan Dia tidak melihat hal itu sebagai kutukan. Tuhan hanya mengajak orang untuk bertobat.
Kalau cerita bapak tadi dihadapkan pada Tuhan Yesus, saya yakin Tuhan Yesus akan berkata hal yang sama. Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa orang yang mati busuk itu telah mendapat kutuk dari imam yang dicela atau dikritik. Dia hanya mengajak umat untuk bertobat atau berubah. Bertobat di sini bukan berarti tidak mengkritik imam. Yang harus diubah di sini adalah sikap kebencian dan permusuhan. Tuhan meminta umat untuk senantiasa membawa kebenaran dan kebaikan. Jadi, jika memang imamnya salah, dia terpanggil untuk membenarkan imamnya.
Tentulah setiap kita yakin bahwa tidak ada manusia di muka bumi ini yang sempurna, lepas dari dosa dan salah. Imam dan uskup itu adalah manusia. Karena itu, mereka tidak luput dari dosa dan kesalahan. Terhadap mereka-mereka ini pun Tuhan Yesus mengharapkan adanya pertobatan. Terkadang Tuhan menggunakan umat untuk menyadarkan keberdosaan mereka lewat kritikan-kritikan. Mencela merupakan bentuk kasar dari kritikan. Tindakan ini biasanya terjadi karena kritikan-kritikan tidak digubris lagi. Tuhan Yesus sendiri pernah melakukannya kepada para murid (Mrk 16: 14).
Namun perlu disadari bahwa kritikan itu dilakukan atas dasar kasih. Orang ingin agar imamnya berlaku baik dan benar. Dan ketika saya membayangkan peristiwa yang digambarkan bapak tadi, saya benar-benar melihat hal itu. Ada yang salah dan tidak baik dalam diri imam yang dikritik atau dicela. Dengan kata lain, niat umat itu baik dan benar.
Oleh karena itu, kematian busuk yang dialami umat itu jangan dilihat sebagai kutukan karena telah mencela imamnya. Seorang imam adalah juga manusia, yang punya kelemahan dan kekurangan. Kritikan merupakan bentuk perbaikan. Secara tidak langsung, dalam kritikan terkandung muatan tobat. Orang diajak untuk bertobat. Hal ini senada dengan ajakan Tuhan Yesus. “Jikalah kau tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.”
Pangkalpinang, 5 September 2015
by: adrian
Baca juga tulisan lainnya:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar