BENARKAH MENGKRITIK IMAM MENDATANGKAN
KUTUKAN?
Hari Minggu lalu saya
mengunjungi sebuah keluarga usai pelayanan misa hari Minggu. Ketika tiba di depan rumah, pasangan suami istri
itu sedang sibuk melayani pelanggannya. Maklum, mereka membuka toko kelontong. Ditemani
sang suami di ruang tamu, sementara istri sibuk melayani pembeli dan menjaga
toko, kami ngobrol tentang kehidupan rumah tangganya, anaknya, masa lalunya
hingga kehidupan umat.
Tentang kehidupan umat, ada
satu hal yang menarik perhatian saya. Dikatakan menarik karena hal ini benar-benar
mengusik akal sehat dan iman saya sehingga menimbulkan rasa prihatin. Ceritanya
begini. Pada waktu paroki itu digembalakan oleh Pastor Hape. Sikap pastor ini
kurang simpatik sehingga menimbulkan banyak konflik dengan umat. Ada umat yang
sampai mencela pastor itu. Umat ini sudah diperingati supaya tidak mencela
pastor, karena bisa mendatangkan kutuk. Umat itu tidak menggubris. Menjelang
ajal, umat itu mengalami penderitaan yang sangat hebat. Dan waktu meninggal,
jasadnya meninggalkan aroma busuk.
Bapak itu mengatakan kepada
saya kalau orang itu kena kutukan. “Jangan main-main dengan imamat pastor.”
Demikian tegasnya. Dan ia mengatakan bahwa hal itu sudah disampaikan kepada
orang itu. Baginya peristiwa seperti itu bukan baru pertama kali terjadi. Dan
bagi saya pun cerita seperti itu bukan yang pertama kali saya dengar. Jauh
sebelumnya saya sudah pernah mendengar cerita bahwa jangan macam-macam dengan
imam atau uskup kalau tidak mau kena kutuk.
Mendengar cerita bapak itu,
lengkap dengan segala keyakinannya, saya sungguh merasa prihatin. Sekalipun
saya seorang imam, saya sama sekali tidak bangga. Malah saya merasa malu.
Kenapa kesalahan selalu ditimpakan kepada umat; dan kebetulan pula umat itu
mendapatkan “aib”. Bagaimana jika orang tersebut mati seperti biasanya, apakah
berarti dia benar dan pastornya salah?
Keprihatinan saya akan
cerita itu didasari pada dua hal, pertama
seakan imam itu bebas salah. Sekalipun sudah menerima tahbisan imamat (atau
bahkan episkopal), tidak membuat seseorang itu bebas dari dosa dan salah.
Imamat tidak serta merta menghilangkan aspek kemanusiaannya yang lemah dan
mudah jatuh ke dalam dosa. Kedua, cerita
tadi seakan membuat gambaran imam tak bisa/boleh dikritik. Sekalipun imamnya
berbuat salah, jangan coba-coba mengkritik, apalagi mencela. Berani mengkritik
berarti siap menerima kutuk.
Ketika merenungkan cerita
bapak tadi, saya langsung teringat akan teks cerita dalam Lukas 13: 1 - 5. Ada
sekelompok orang membawa kabar tentang orang-orang Galilea yang dibantai
Pilatus lalu darahnya dicampurkan dengan darah korban persembahan. Mereka
berpikir bahwa orang-orang Galilea itu sudah mendapat kutukan sehingga
mengalami nasib naas. Akan tetapi Tuhan Yesus mengubah pola pikir mereka.
“Jikalah kau tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (ay.
3, 5).
Tuhan Yesus sama sekali
tidak menyalahkan orang-orang Galilea yang mengalami nasib buruk. Bahkan Dia
tidak melihat hal itu sebagai kutukan. Tuhan hanya mengajak orang untuk
bertobat.
Kalau cerita bapak tadi
dihadapkan pada Tuhan Yesus, saya yakin Tuhan Yesus akan berkata hal yang sama.
Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa orang yang mati busuk itu telah mendapat
kutuk dari imam yang dicela atau dikritik. Dia hanya mengajak umat untuk
bertobat atau berubah. Bertobat di sini bukan berarti tidak mengkritik imam.
Yang harus diubah di sini adalah sikap kebencian dan permusuhan. Tuhan meminta
umat untuk senantiasa membawa kebenaran dan kebaikan. Jadi, jika memang imamnya
salah, dia terpanggil untuk membenarkan imamnya.
Tentulah setiap kita yakin
bahwa tidak ada manusia di muka bumi ini yang sempurna, lepas dari dosa dan
salah. Imam dan uskup itu adalah manusia. Karena itu, mereka tidak luput dari
dosa dan kesalahan. Terhadap mereka-mereka ini pun Tuhan Yesus mengharapkan
adanya pertobatan. Terkadang Tuhan menggunakan umat untuk menyadarkan
keberdosaan mereka lewat kritikan-kritikan. Mencela merupakan bentuk kasar dari
kritikan. Tindakan ini biasanya terjadi karena kritikan-kritikan tidak digubris
lagi. Tuhan Yesus sendiri pernah melakukannya kepada para murid (Mrk 16: 14).
Namun perlu disadari bahwa
kritikan itu dilakukan atas dasar kasih. Orang ingin agar imamnya berlaku baik
dan benar. Dan ketika saya membayangkan peristiwa yang digambarkan bapak tadi,
saya benar-benar melihat hal itu. Ada yang salah dan tidak baik dalam diri imam
yang dikritik atau dicela. Dengan kata lain, niat umat itu baik dan benar.
Oleh karena itu, kematian
busuk yang dialami umat itu jangan dilihat sebagai kutukan karena telah mencela
imamnya. Seorang imam adalah juga manusia, yang punya kelemahan dan kekurangan.
Kritikan merupakan bentuk perbaikan. Secara tidak langsung, dalam kritikan
terkandung muatan tobat. Orang diajak untuk bertobat. Hal ini senada dengan
ajakan Tuhan Yesus. “Jikalah kau tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas
cara demikian.”
Pangkalpinang,
5 September 2015
by:
adrian
Baca
juga tulisan lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar