MENERIMA ORANG LAIN APA
ADANYA
Seorang
frater mendapat bimbingan dari pembinanya bahwa sebagai murid Yesus, kita harus
menerima sesama apa adanya. Kita jangan pilih-pilih atau menilai sesuai selera
kita. Nasehat ini selalu diingat baik oleh sang frater. Setiap bangun pagi atau
saat beranjak ke peraduan malam, ia selalu berguman, “Harus menerima sesama apa adanya.” Gumanan itu bukan cuma sekali
saja tapi berkali-kali didaraskan sampai dirinya terlelap.
Setelah
menyelesaikan skripsinya, sang frater pergi TOP di sebuah paroki. Pada suatu
hari, ketika sedang mengunjungi umat, sang frater melihat seorang bapak sedang
memarahi seorang anak kecil dan memukulnya. Anak itu menangis dan minta ampun,
tapi bapak itu terus memarahinya sambil sesekali tangannya mencubiti tubuh anak
itu.
Frater
mendekat. “Bapak, tak baik memukuli anak bapak. Kan dia sudah minta maaf. Bapak harus menerima anak bapak apa
adanya.”
“Oh
frater,” ujar bapak itu sambil menoleh. “Kebetulan anak ini bukan anak saya.”
Suatu
ketika, saat frater sedang duduk santai di pastoran, seorang ibu muda datang.
Wajahnya sembab, karena habis menangis. Kepada sang frater, ibu muda ini
bercerita, atau istilah kerennya curhat, tentang masalah keluarganya. Secara
khusus masalahnya dengan sang suami. Ia baru 8 bulan menikah. Suami ibu ini
sering mabuk dan pulang larut malam. Di rumah dia suka membentak-bentak. Tak
jarang juga sang suami memukul dirinya. Padahal 3 bulan pertama hidup mereka
bahagia. Apalagi waktu pacaran. Hidup terasa sangat indah. Tapi kini seperti
neraka.
Dengan
serius sang frater mendengarkan keluhan ibu itu. Sesekali ia mengangguk kepala.
Setelah ibu itu selesai berkisah, mulailah frater ini berkata-kata. Nasehat
biblis, filosofis, moral, etis, teologis serta psikologis mengalir begitu lancar.
Terakhir, sebelum ibu itu pulang, sang frater berujar, “Ibu harus banyak berdoa. Dan jangan lupa, ibu harus menerima suami ibu
apa adanya. Bukankah waktu mau menikah, ibu sudah menyatakan hal itu?”
Di
lain waktu, seorang mudika datang curhat sama frater. Dengan jujur dia
mengatakan kalau saat itu dia lagi musuhan dengan temannya. Dia sangat membenci
temannya itu. Alasannya, sudah beberapa kali temannya ini menyakitinya. Di
samping itu juga, temannya ini sering berlaku buruk terhadap orang lain
sekalipun sudah sering dinasehati.
Frater
langsung menasehati, “Kamu harus menerima
dia apa adanya.”
“Sudah
frater.” Ungkap mudika itu. “Saya sudah menerima dirinya apa adanya. Yang tidak
saya terima kini itu bukan dirinya.”
“Maksudnya?”
Tanya frater sedikit bingung.
“Yang
saya benci dan saya musuhi itu bukan dirinya. Kalau yang dirinya saya terima.
Yang baik dan juga yang tidak baik.”
Setelah
selesai masa TOP, sang frater kembali ke seminari. Gaya hidup waktu TOP, tetap
terbawa di seminari. Meski ia tahu di seminari seorang frater tidak
diperbolehkan memiliki HP, sang frater ini tetap membawa HP kenang-kenang umat.
Gaya hidup yang longgar di paroki pun terbawa di seminari. Sang frater sering
keluar dari seminari tanpa pamit.
Karena
sikap dan tingkah lakunya inilah, suatu ketika ia dipanggil pembimbing
rohaninya. Sang pembimbing ini memberinya nasehat. Sang frater hanya
mengangguk-angguk kepalanya. Setelah pembimbingnya ini selesai berbicara, sang frater
balik berkomentar, “Romo. Inilah saya. Romo harus menerima saya apa adanya.”
“Betul
sekali, frater!” Sang pembimbing membalas bijak. “Kita harus SALING menerima sesama
kita apa adanya. Jadi, frater juga harus menerima saya apa adanya. Kebetulan,
saya tidak bisa menerima orang apa adanya.”
Batam, 6 April 2015
by: adrian
Baca juga inspirasi lainnya:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar