TAK SELAMANYA YANG MENYENANGKAN HATI ITU BENAR
Hidup selalu menghadapi banyak pilihan. Setiap manusia
dituntut untuk memilih. Dan setiap pilihan selalu mengandung konsekuensi. Apa pun
konsekuensinya, setiap kita harus menerima, karena itu sudah pilihan. Adalah kecenderungan
orang untuk memilih pilihan yang menyenangkan. Setiap orang cenderung
menghindar pilihan yang tak berdampak pada kesenangan.
Yeremia 28: 1 – 17 menampilkan kisah umat Israel yang
menghadapi pilihan dari warta dua nabi. Ada nabi bernama Hananya bin Azur yang
berasal dari Gibeon dan ada Nabi Yeremia. Dengan mengatasnamakan Tuhan, Nabi Hananya
menyampaikan kabar gembira kepada seluruh umat Israel, “Aku telah mematahkan
kuk raja Babel itu. Dalam dua tahun ini Aku akan mengembalikan ke tempat ini
segala perkakas rumah TUHAN yang telah diambil dari tempat ini oleh
Nebukadnezar, raja Babel, dan yang diangkutnya ke Babel.” (ay. 2 – 3).
Tentulah warta ini sangat menggembirakan umat Israel, yang
memang saat itu sedang dalam pembuangan. Selama masa pembuangan mereka sangat
menderita karena penindasan yang dialami. Karena itu, nubuat Nabi Hananya
merupakan penghiburan di tengah penderitaan. Pesan yang disampaikan Hananya
menjawab harapan umat karena menyenangkan hati umat.
Ketika mendapat tantangan dari Nabi Yeremia, Nabi Hananya memberi
semacam perumpamaan tentang pembebasan itu dengan mengambil gandar dari tengkuk
Yeremia dan mematahkannya. Hananya berkata di hadapan umat, "Beginilah
firman TUHAN: Dalam dua tahun ini begitu jugalah Aku akan mematahkan kuk
Nebukadnezar, raja Babel itu, dari pada tengkuk segala bangsa!" (ay. 11).
Menghadapi perumpamaan Hananya ini, Yeremia menggantikan
gandar kayu dengan yang terbuat dari besi. Tentulah Hananya akan mengalami
kesulitan untuk mematahkan gandar besi itu. Dan apa yang ditampilkan Yeremia
mau menggambarkan bahwa penderitaan umat masih akan berlangsung, malah semakin
berat. Kuk penindasan akan semakin keras dan berat seperti besi.
Di sini terlihat bahwa Nabi Hananya mewartakan warta yang
menyenangkan hati umat. Ia menyatakan bahwa wartanya berasal dari Tuhan. Sementara
Nabi Yeremia, yang juga mengatasnamakan Tuhan, mewartakan warta yang tidak
menyenangkan hati umat. Pastilah umat akan lebih condong membela Nabi Hananya,
karena ia memenuhi keinginan hati umat. Sebaliknya, mereka antipati terhadap
Nabi Yeremia. Warta Yeremia bukannya menyejukkan hati, tapi malah membuat hati
umat galau.
Akan tetapi, Tuhan lebih berkenan pada Yeremia daripada
Hananya. Hal ini terlihat dari akhir kisah tersebut. Hananya mati. Yeremia menyebut
Hananya sebagai pendusta. Ad dusta di dalam warta menyenangkan Nabi Hananya.
Peristiwa di atas mau memberi pelajaran bahwa tidak selamanya
yang menyenangkan hati itu benar. Terkadang orang menyembunyikan dusta di dalam
kata-kata manis. Hal ini dapat ditemui dalam kehidupan kita dewasa ini. Ada imam
yang bermulut manis menyampaikan hal-hal yang menyenangkan kepada uskup atau
umat. Kepada uskup ia mengatasnamakan umat, sedangkan kepada umat ia
mengatasnamakan uskup. Pokoknya uskup senang, umat senang. Padahal di balik
semuanya itu ada dusta.
Selain menyinggung soal warta yang menyenangkan dan tidak,
kisah di atas mau menyampaikan bahwa kebenaranlah yang utama, bukan kesenangan.
Umat diajak untuk mencari kebenaran, bukan sekedar puas dengan kesenangan. Sekalipun
menyenangkan, namun jika tidak benar, janganlah pilih; demikian pula walau
tidak menyenangkan, namun jika benar, maka hendaklah memilihnya.
Dari kisah perseteruan Nabi Yeremia dan Nabi Hananya, kita
diajak untuk bersikap kritis terhadap setiap warta yang disampaikan orang. Jangan
karena warta itu menyenangkan, kita spontan menerimanya. Harus disadari bahwa yang
menyenangkan itu tak selalu benar. Salah satu alat bantu untuk bersikap kritis
adalah sabda Tuhan Yesus, “Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Mat 7:
20).
Batam, 13 Agustus 2014
by: adrian
Baca juga:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar