HARIMAU PELIHARAAN
Aku kaget sekaligus heran dengan kebiasaan baru temanku. Agus
namanya. Sejak masih kuliah dia memang punya hobi yang aneh-aneh. Dan ternyata
hobi anehnya itu berlanjut hingga kini. Sampai ia sudah berkeluarga.
Yah, kemarin ketika aku berkunjung ke rumahnya, aku dibuat
kaget dengan hewan peliharaannya yang menyambut aku. Seekor anak harimau remaja.
“Apa kau nggak takut?” Tanyaku setelah merasa aman di dalam
rumah. Aku melirik ke isterinya, yang juga memiliki perasaan sama sepertiku.
Namun, sebagai isteri, dia hanya bisa diam mengikuti kemauan suami.
“Takut?! Bro, dia itu hewan peliharaan. Tak beda dengan
peliharaan lainnya.” Ujar Agus sambil sedikit tersenyum. “Anggap saja dia itu
kucing yang besar. Lihat saja tongkah polanya. Lucu dan menggemaskan.”
“Sejinak-jinaknya harimau, dia tetap binatang buas. Dan
sejahat-jahatnya kucing, dia tetaplah binatang peliharaan.”
Tapi Agus, bukanlah Agus kalau memang tidak memiliki
keanehan. Ia tetap tak terpengaruh dengan omonganku. Dan ternyata hobi anehnya
ini sempat mendapat protes dari sang isteri. Tapi ia mampu meyakinkan
isterinya. Entahlah, apakah karena keyakinan atau karena takut.
Agus mau memelihara harimau dalam rumahnya karena dia punya
keyakinan bahwa setiap hewan punya perasaan. Jika hewan itu dibaiki, ia juga
akan baik kepada kita. Naluri jahat binatang muncul sebagai salah satu
mekanisme pertahanan diri. Hewan menjadi buas kalau ia lapar atau disakiti.
Jadi, selama kita berbuat baik kepadanya, merawat, memberi makan dan bermain
bersama, kebuasan itu akan hilang. Ia akan bersikap jinak kepada kita.
“Tahu film Hachiko,
kan? Karena tuannya senantiasa berbuat baik, anjing itu benar-benar menunjukkan
kesetiaannya kepada sang tuan. Kesetiaan yang tidak mudah didapat pada
manusia,” jelasnya dengan semangat. “Karena itu, sebuas apapun binatang, dia
masih punya balas budi. Dia punya rasa hormat dengan tuannya.”
Aku tak bisa membantahnya. Sekalipun aku takut dengan hewan
peliharaannya, namun otakku masih menerima penjelasannya. Hewan bisa membalas
budi kepada siapa yang telah berbuat baik kepadanya. Dalam satu sisi, sikap ini
diturunkan kepada manusia. Bukankah manusia itu hewan yang berakal budi. Animal rationale. Manusia adalah animal,
tapi mempunya ratio. Mungkin karena ratio itulah maka kesetiaan manusia tidak
buta seperti hewan. Meski ada juga manusia yang buta dalam kesetiaan membalas
budi.
Ada manusia yang tak jauh beda dengan binatang dalam
kesetiaan membalas budi. Ia buta akan kebenaran dan kebaikan. Yang ada dalam
benaknya adalah membalas budi. Apakah balas budi itu baik dan benar, tidak jadi
pertimbangannya.
Apakah Agus sudah mempertimbangkan sisi buta ini?
***
Dua tahun setelah kunjunganku ke rumah Agus, aku mendapat
email dari isterinya. Ia bercerita tentang harimau peliharaan suaminya.
“Mas ingatkan anak anjing yang di rumah itu hari. Sekarang
udah mati. Dibantai harimau itu. Selama ini anjing itu hanya bermain di dalam.
Tak pernah keluar, apalagi bermain bersama harimau itu.
Kemarin, waktu Doni pulang dari sekolah, ia lupa menutup
pintu. Anjing itu keluar. Karena bawaannya suka bermain, maka ketika ketemu
harimau dia juga bermain-main. Tapi apa yang terjadi. Harimau itu langsung
menyergapnya. Sekali sergapan saja. harimau itu memakan anjing itu di depan
mata saya.
Tapi anehnya, Mas Agus malah membelanya. Dia bilang bahwa tak
ubahnya seperti manusia. ada juga perasaan kesal dan jengkel. Harimau itu tidak
mau bermain, diajak bermain. Ya kesal lah.
Yah, mungkin juga salah saya yang tak mau dari awal mengajak
anjing itu bermain dengan harimau itu. Memang Mas Agus sudah meminta saya untuk
diberi kesempatan keduanya bermain bersama. Tapi saya kan takut.
Wah, saya jadi banyak cerita ya. Kapan mas main ke sini lagi?
Salam,
Molly”
Aku langsung membalas emailnya. Aku mengungkapkan rasa
prihatinku atas kematian anjing peliharaannya. Aku juga mengungkapkan
kecemasanku akan harimau itu, yang bukan lagi seekor anak, melainkan harimau
dewasa.
Dalam hati aku punya perasaan khawatir. Mungkin hari ini
hanya seekor anjing. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti lebih besar lagi dari
anjing. Aku tak mau menyampaikan kekhawatiran ini, karena bisa menambah cemas
Molly. Namun kekhawatiran ini harus diketahui. Siapa lagi kalau bukan Agus.
Maka aku langsung meneleponnya.
Agus hanya ketawa mendengarkan kekhawatiranku. Dia malah mengingatkan
kembali teori yang pernah disampaikannya. Di samping itu dia juga menjelaskan
alas an peristiwa itu, persis seperti yang dikatakan Molly.
“Bro, aku sangat yakin dengan pendapatku. Dia itu hewan
peliharaan. Dia akan tahu membalas budi, sejauh kita tetap memperhatikan dan
memberinya makan. Tidak jahat kepadanya. Kami sudah dua kali mengalami
kebaikannya.” Agus diam sejenak.
“Pertama, waktu malam natal kemarin. Semua
kami pergi ke gereja. Rumah kosong. Waktu itu ada sekelompok orang mau bongkar
rumah. Mereka takluk di hadapannya. Sepertinya ada yang sempat digigitnya,
karena waktu kami tiba ada darah tercecer di lantai teras rumah.
Kedua, waktu Doni diganggu sama anak-anak
nakal. Ini tahun lalu. Anak-anak itu lari terbirit-birit ketika harimau itu
keluar dari rumah mendekati Doni.”
“Pernah gak kau pikirkan kalau kebaikannya itu mencelakakan orang lain?”
“Itu akan aku arahkan. Tenang aja, Bro!” Agus tetap berusaha
meyakinkanku. “Dia sudah berbuat baik kepada kami. Dia saja mau membalas budi
kita, mosok kita tidak membalas
budinya.”
Budi harus dibalas dengan budi. Tak peduli apapun resikonya. Demikianlah
kesimpulan akhir pembicaraan kami. Aku mengakhiri pembicaraan itu dengan
perasaan khawatir masih menggantung di hatiku.
***
Belum lagi masuk ke rumah, HP-ku berdering. Di layar muncul
nama: Molly. Segera aku terima.
“Mas, Doni di ruang ICU, Rumah Sakit St. Elisabeth.”
“Kenapa?”
“Diterkam harimau.”
“Apa?!” Kakiku sekejap lemas. Aku terduduk di kursi yang ada
di teras rumah. “Aku segera ke sana.”
Segera aku mendapat kekuatan, aku langsung berangkat ke rumah
sakit. Sore begini lalu lintas biasa macet. Karena itu aku memutuskan
menggunakan motor.
Tigapuluh lima menit kemudian aku tiba di rumah sakit yang
disebutkan. Aku langsung menuju ke ruang ICU. Di depan ruang itu, Agus terduduk
lesu. Aku mengabaikannya dan segera masuk ke dalam ruangan. Di sana Molly duduk
di samping Doni. Ia menangis.
Doni tak sadarkan diri. Selang infus dan selang oksigen
menempel di anggota tubuhnya. Beberapa anggota tubuhnya ada yang diperban. Ada
bekas cakaran di wajahnya. Aku menghampiri Molly. Memberi peneguhan kepadanya.
“Jarinya satu hilang dimakan harimau itu.”
“Sudahlah. Yang penting dia selamat dulu.”
Molly larut dalam tangisnya.
Cukup lama aku berada di samping Molly, sampai akhirnya aku
memutuskan untuk keluar. Aku duduk di samping Agus.
“Harimau itu sudah berbuat baik kepadaku, Bro. Aku harus
membalas budi baiknya.”
“Tapi dia sudah mencelakakan Doni. Anakmu, Gus!”
“Budi harus dibalas dengan budi.”
Hening. Aku tak mau berdebat lagi dengannya. Kami masuk ke
dalam keheningan kami masing-masing.
Batam, 17 Januari 2015
by: adrian
Baca juga cerpen
lainnya:
let's join and play PUTRILIGA
BalasHapus