Sabtu, 20 Desember 2014

Enaknya Berelasi Dekat dengan Boss


Pagi ini saya keluar dari pastoran sekitar jam 07.00. Saya mau mencari inspirasi buat bahan retret kaum muda-remaja wilayah St. Mikael, Tanjung Batu. Hari Minggu lalu (7 Juli) setelah misa, dua remaja, Paulina dan Wiliam, menghampiri saya dan langsung minta diadakan retret untuk mengisi liburan. Setelah berbagai pertimbangan soal tempat dan waktu dikemukakan, akhirnya diputuskan retret diadakan pada tanggal 23 – 25 Juli.

Saya menyusuri jalan lingkar, mencari pondok yang bisa dijadikan tempat untuk merenung. Awalnya saya menemukan “pondok”, yang biasa dipakai untuk memancing, di ujung aspal jalan lingkar. Saya masuk dan duduk sebentar di situ sambil menikmati suasana. Baru duduk sekitar 15 menit, cahaya matahari, yang sebelumnya diselimuti awan sehingga terasa sejuk, mulai menyengat kulit. Saya sedikit merasa terganggu karena tidak bisa berkonsentrasi. Akhirnya saya memutuskan pindah, mencari tempat lain.

Kembali saya menyusuri jalan lingkar yang belum beraspal, menuju arah PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara). Tak jauh dari PLTB ada sebuah pondok kecil yang biasa digunakan orang proyek untuk mengawasi proyek penimbunan dan pembuatan jalan lingkar. Tak ada orang di sana. Situasinya teduh dari sinar mentari. Karena itu saya ke pondok itu. Di pondok itu ada sebuah kursi dan meja. Sangat cocok untuk merenung dan menulis. Apalagi pandangannya langsung ke laut.

Tak lama saya di pondok itu, tiga orang pemuda dengan sebuah motor bebek menghampiri pondok, tempat saya merenung. Setelah berhenti di depan pondok, samping motor saya, seorang dari mereka turun dan kemudian dua lainnya pergi berlalu. Tinggallah kami berdua di pondok itu. Saya memulai pembicaraan dengan bertanya soal pekerjaannya.

Dari jawabannya itu, pembicaraan meluas ke “mega-proyek” Karimun ini. Secara tak sengaja, akhirnya saya menemukan jawaban atas satu keanehan dari mega-proyek ini. Keanehan itu begini: mulai pondok tempat kami nongkrong, timbunan sudah jauh melewati batas ketentuan. Ini dapat dilihat dari sisi batu miring di sebelahnya.

Pemuda itu menjelaskan bahwa timbunan lebih ini adalah proyeknya Pak Umar (bukan nama sebenarnya). Kalau proyek jalan lingkar adalah proyeknya WASKITA. “Kita juga tak tahu kenapa timbunan bergeser sampai jauh ke sana. Kita tak tahu juga bagaimana pembagian jatahnya,” jelas pemuda itu. “Ini bisa terjadi karena ini adalah proyek Pak Umar.”

Menurut pemuda ini ada isu yang mengatakan bahwa areal timbunan ini hendak dijadikan pelabuhan dan hotel seperti yang di Balai. Apakah mungkin kawasan polsek dan pelabuhan Balai mau disulap jadi Mega Mall seperti yang pernah diisukan sekitar dua tahun lalu? Demikian hati kecil saya. Pemuda ini terus menjelaskan sedikit tentang Pak Umar. Dari mulutnya saya akhirnya mengetahui siapa Pak Umar ini.

“Dia orang asli sini,” kata pemuda itu. “Orang dekatnya bupati.”

“Pantesan!” Komentar spontan saya.

Setelah dua temannya datang lagi, saya pamit meninggalkan pondok dan mereka. Saya mau kembali ke pastoran. Sepanjang perjalanan pulang saya terus merenungkan isi pembicaraan kami tadi. Yang saya renungkan adalah tentang kedekatan Pak Umar dengan pimpinan Karimun sehingga pemerintah pun tak berkutik. Ini artinya, Pak Umar menggunakan kedekatan relasinya dengan pemimpin daerah ini sehingga dapat melangkahi kewenangan instansi-instansi pemerintah yang berkaitan dengan urusan proyek ini. Tentulah, di atas semuanya itu, ujung-ujungnya adalah DUIT.

Karena itu, saya langsung berpikir betapa enaknya mempunyai relasi dekat dengan pemimpin. Dengan kedekatan ini saya dapat berbuat apa saja yang saya suka asal tidak bentrok dengan pimpinan. Sekalipun saya bukan bawahan langsung pemimpin ini, tapi karena kedekatan dengan pemimpin, saya bisa “injak” kewenangan bawahannya. Bahkan, bukan tidak mungkin saya yang mengatur bawahannya. Yang penting saya tidak bentrok dengan pimpinan.

Awalnya saya hanya merenung masalah ini pada dunia pemerintahan saja. Lantas saya langsung bertanya, bagaimana dengan lingkungan Gereja? Apakah masalah ini ada juga dalam lingkungan Gereja? Saya jadi teringat akan banyak peristiwa dalam kehidupan di gereja. Ada umat, yang karena kedekatannya dengan pastor paroki, dengan begitu mudah meminta misa di rumah tanpa melalui pengurus komunitas, sementara orang lain yang tidak memiliki kedekatan tak akan pernah mendapatkannya jika tidak melalui mekanisme yang ada. Ada umat yang sangat dekat dengan pastor paroki, sehingga selalu lebih dahulu mengetahui informasi paroki daripada umat lain, bahkan pastor pembantu. Ada pula umat yang memiliki kedekatan dengan pastor paroki dapat melakukan kebijakan apa saja yang seharusnya merupakan kewenangan seksi atau orang lainn tanpa harus berkoordinasi dulu dengan mereka yang berwenang.

Tanpa disadari saya sudah sampai di depan rumah dinas bupati. Maksud hati mencari ide bahan retret, eh malah dapat gagasan renungan.
TBK, 11 Juli 2013
by: adrian
Baca juga:
6.      Matinya Suara Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar