LEO DAN LIA
Nama boleh saja mirip, tapi keduanya tak ada relasi keluarga sama
sekali. Tetanggaan pun tidak. Leo adalah seminaris asal Oksibil, dan Lia cewek
Merauke. Keduanya bertemu di sekolah yang sama Teruna Bakti.
Meski tak ada hubungan keluarga, namun mereka memiliki kedekatan
emosional. Ibarat semut dan gula. Ada gula ada semut. Hanya kalau dikaitkan
pada mereka, kita tak tahu siapa semut dan siapa gulanya. Yang pasti, saat di
sekolah, di mana ada Leo pasti ada Lia, demikian sebaliknya (kecuali saat lagi
WC atau belajar).
Banyak orang heran melihat relasi mereka ini. Keheranan itu karena
Leo adalah seminaris, calon imam. Selain itu tak ada tanda-tanda kedekatan
mereka tahun lalu. Hal kedua inilah yang membingungkan teman-teman seminarisnya
dan juga anak-anak asput St. Clara, tetangga seminari. Saat Leo kelas XI (waktu
itu Lia kelas X), ia tak punya cewek spesial. Malah ada dua anak asput pernah
naksirnya, tapi sikap Leo dingin saja.
“Saya kan mau jadi imam.” Ungkapnya menanggapi sikap cueknya.
“Saya mau jadi putra daerah pertama yang jadi imam.”
Leo adalah gambaran ideal seminaris kala itu. Sopan, sehat,
pintar, agak religius dan penampilan menarik. Tak heran, ketika ada misa di
sekolah, pastor, yang juga pembina seminari, mempercayainya membawa hosti sisa
yang sudah dikonsekrir ke tabernakel di kapel seminari.
“Kau kan masih remaja,” ujar Yosep. “Jangan disia-siakan masa itu.
Sekali dalam hidup.”
“Tapi saya mau jadi imam. Bapa ada bilang agar kita sudah mulai
menampakkan citra imam.”
“Apa kau tak menyesal?” Tanya Alex yang dijawab dengan gelengan
kepala.
“Nita cantik loh!” Vicky menggoda dengan menyebut salah satu anak
asput yang mengejar Leo. “Kalau kau tak mau, buat saya saja.”
Mereka yang lain tertawa. Leo cuma senyum. Itulah kenangan masa
lalu yang jauh berbeda dengan kini. Dan inilah yang kini membingungkan mereka.
Ada apa dengan Leo? Dia yang dulu enggan dekat dengan cewek, kini justru
nempel. Ketegaran hatinya luluh di hadapan Lia.
Memang tak ada yang tetap di muka bumi ini. Semuanya berubah. Leo
pun demikian. Dia berubah. Lialah yang membuatnya berubah.
Semuanya berawal pada minggu pertama Juni 2008, saat minggu
tenang, di mana siswa mempersiapkan diri menghadapi ujian semester. Keadaan
seminari benar-benar sunyi. Para seminaris tenang belajar. Ada yang di kelas,
ada yang di bawah pohon asam, di gua Maria, di teras-teras unit. Ada yang
sendirian dan ada juga berkelompok kecil.
Hari Rabu, jam 16.00. Dua orang cewek keluar dari asput dan
berjalan menuju ke seminari. Lia dan Tika. Tika adalah anak asput, teman
sekelas Lia. Mereka duduk di kelas X-B.
“Kau yakin tidak dapat marah?” Tanya Lia tentang maksud kedatangan
mereka.
“Tak apa-apa.” Tika meyakinkan. “Beberapa anak asput sering
belajar di sini. Malah ada yang sampai lupa makan.”
Mereka memasuki seminari. Di bawah pohon Ketapang, seorang
seminaris sedang belajar. Begitu seriusnya sehingga kedatangan Lia dan Tika tak
disadarinya.
“Mat sore kak Romi. Kak Leo ada kah?”
Romi sedikit agak terkejut. “Di kelas. Ada perlu kah?”
Tika mengangguk.
Romi segera meninggalkan kedua gadis itu menuju kelas 2. Tak lama
kemudian Leo muncul seorang diri. Ia pun mengajak mereka ke teras unitnya.
Mereka memilih duduk di lantai.
Sore itu mereka belajar Bahasa Jerman. Lia punya kelemahan dalam
bahasa. Nilai bahasanya semester ganjil mengancam keberadaannya di kelas. Wali
kelas telah mewanti-wanti bila tak ada perubahan, maka ia akan tahan kelas.
Sementara Leo jago. Maklum ia sudah belajar ketika di KPP.
Tika dan Lia memperhatikan serius penjelasan Leo. Sesekali Leo
mengguyon sehingga mereka tertawa. Tentu tidak keras-keras. Lia begitu
terpesona pada Leo. Awalnya Leo tak memperhatikan sampai suatu ketika tatapan
mereka beradu. Lia tersenyum. Leo juga. Ada getaran aneh dalam hati Leo. Tapi
tak ada tanda-tanda.
Sore beranjak. Waktu menunjukkan jam 18.30, saat Lia dan Tika
meninggalkan gerbang seminari. Leo mengantar mereka sampai di gerbang. Tika
berjalan ke asrama sedangkan Lia menuju jalan raya. Sempat Lia melambaikan
tangannya dan dibalas Leo.
Itulah awal kedekatan mereka. Dimulai dari Bahasa Jerman sampai
dengan MTK. Tiap sore Lia datang belajar bersama Leo. Kadang dengan Tika,
kadang sendirian.
Belajar bersama itu benar-benar membawa perubahan. Nilai ujian Lia
naik sehingga ia lolos dari ancaman tinggal kelas. Perubahan juga terjadi pada
Leo. Ia semakin dekat sama Lia.
Kedekatan itu awalnya membuat Leo gelisah. Ia kebingungan antara
cinta dan cita. Apalagi ketika Lia benar-benar mengutarakan cintanya. Leo
seperti berhadapan dengan buah simalangkama.
“Aku juga suka kamu. Sejak pertemuan kita pertama itu hari, ada
getaran aneh dalam diriku. Tapi aku juga cinta panggilanku.”
“Emang kakak tidak bisa pacaran?”
“Aku kan mau jadi imam,” Leo berdiplomasi.
Leo tak bisa menghalau wajah Lia dari benaknya. Wajah itu selalu
muncul dalam setiap gerak hidupnya. Tapi ia masih mau jadi imam pertama di
daerahnya. Jiwanya memberontak. Adakah ini cobaan? batinnya. Atau Tuhan memang
tak memanggilku?
Lia juga merasakan hal yang sama. Bayangan wajah Leo selalu hadir
dalam tidur malamnya. Foto wajah Leo di HP-nya selalu dilihatnya menjelang
tidur. Itu seperti ritus doa malamnya sebelum tidur. Namun hatinya bergolak.
Mengapa aku jatuh cinta kepada calon imam? tanya hatinya. Lia sadar kalau
Gereja Papua masih membutuhkan banyak imam. Apakah aku ini Hawa yang menggoda
Adam jatuh ke dalam dosa? batinnya. Apakah kodrat wanita sebagai penggoda kaum
pria?
Suatu hari Leo menghadap Bapa Mago, pembina unitnya. Bapa Mago juga minta ketemu sama Lia.
Keduanya bukan hanya mendapat nasehat, tapi juga pencerahan. Akankah mereka
pisah? Akankah mereka berubah?
Orang berkata tak ada yang tetap di muka bumi ini. Semuanya
berubah. Tapi bagi Leo ada yang tetap, yaitu perubahan itu sendiri.
Sejak pertemuan dengan Bapa Mago, relasi Leo dan Lia makin dekat.
Malah Lia tak mau ada cewek lain yang coba mendekati Leo. Lia akan marah.
Karena itulah, Lia dipanggil guru BP.
“Kau tahu siapa itu Leo?”
Lia mengangguk
“Kau tahu siapa itu seminaris?”
Kembali Lia mengangguk
“Lalu, kalo kau tahu, kenapa kau pacaran dengannya? “
“Saya tak pacaran. Saya cuma cinta dia.”
“Kau bisa menghambat panggilannya.”
“Tidak! Saya mencintainya dan juga panggilannya. Cinta saya bukan
untuk memiliki.” Lia berdiam sejenak. “Ujian cinta adalah pengorbanan dan
ukuran cinta adalah tidak mementingkan diri sendiri. Saya senang kalo kak Leo
jadi imam. dan sebagai wujud cinta saya marah kalo ada cewek lain yang dekat
dan menggodanya.”
Waena,
13 Des 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar