Minggu, 21 Juli 2013

(C E R P E N) Tono & Tini

TINI DAN TONO


            Hujan terus mengguyur kota Jakarta. Sudah tiga hari ini hujan tidak bosan-bosannya turun dari langit, padahal masyarakatnya sudah bosan. Siapa sih, yang nggak bosan mendekam terus di rumah. Apalagi Tono dan adiknya, Tini, dua bocah ingusan usia 8 dan 5 tahun. Sudah dua hari mereka tidak ngamen di bisbis kota jurusan UKI – Priok atau Rawamangun. Rumah mereka di perkampungan kumuh Prumpung, sudah tergenang air. Biasa, sudah tradisi.
            Tono duduk sambil memeluk kakinya. Sementara adiknya sibuk mengitari ruang segi empat puncak monas. Ketika air mulai membanjiri kawasan rumah mereka, Tono cepat-cepat mengajak adiknya ke Monas. Ia ingat pesan almarhum si Mbah, orang yang telah merawat mereka sejak kecil.
            “Tahun ini, alam akan murka pada Jakarta. Kalo banjir datang, pergilah kamu ke monas. Di sana aman.”
            Semalam, ia berhasil main kucing-kucingan dengan petugas pintu monas. Ia berhasil masuk membawa adiknya dan naik ke atas. Sudah dua hari mereka di sana. Sementara banjir terus menyapu rata permukaan kota Jakarta. Dari atas monas, mereka tidak bisa lagi melihat kampung Prumpung. Semua sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang. Bang liat, air sudah memasuki rumah-rumah orang kaya itu.”
            “Biarin! Agar mereka tau rasa juga.”
            Sepertinya murka alam kali ini cukup adil, pikir Tono. Banjir tidak saja melanda kaum miskin kota, melainkan juga kena pada orang-orang kaya. Dengan serius ia memparhatikan keluarga kaya keluar dari rumah dengan naik gerobak. Ada juga yang pakai truk. Tono tersenyum. Ada kesan lucu dari pemandangan itu. Biasanya mereka merasa nyaman dengan sedan mewahnya. Kini, banjir mendidik mereka untuk merasakan juga nikmatnya naik gerobak atau truk.
            “Bang, ada tawuran!”
            Edan, pikir Tono. Masa’ dalam suasana susah begini, orang masih sibuk tawuran. Tono berdiri mendekati adiknya. Dilayangkannya pandangannya ke arah telunjuk adiknya.
            “O, itukan pintu air Manggarai. Pasti warga mau supaya pintu air itu dibuka. Liatlah, rumah warga sudah pada terendam semuanya.”
            “Tapi di sana kok nggak banjir.” Tini menunjuk ke sebuah perumahan elit Kapuk, di wilayah Utara Jakarta “Tu, malah ada yang asyik main golf.
            “Liat, warga dan tentara lagi rebutan perahu karet.”
            “Liat, ada bendera partai di sana. Ngapain ya mereka? Bagi-bagi bantuan atau kampaye?”
            “Bang, kita turun cari makan dulu, yuk! “
            “Buat apa? Kita di sini saja supaya selamat. Menurut ramalan, banjir kali ini sangat dahsyat. Pasti akan banyak yang mati. Nanti kalo airnya sudah surut, baru kita turun. Kita langsung ke mal untuk ambil barang-barang yang selama ini hanya bisa kita liat. Kan, orang-orang sudah pada mati. Kita tinggal milih, mana yang suka”
            “Aku nanti ambil play station, boneka-bonekaan, ...”
            “Tu liat, air sudah masuk istana negara.”
            Banjir terus merengsek naik. Air tidak mau pandang bulu. Sejak istana negara dilanda air setinggi lutut, tidak ada lagi kawasan Jakarta yang bebas banjir. Sungguh dahsyat banjir kali ini.
            Para gelandangan yang biasanya membuat rumah di kolong jembatan atau di bantaran kali, terlihat sibuk membangun rumah di atas pohon-pohon di pinggir jalan kota Jakarta. Dalam waktu singkat, pohon-pohon mahoni yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk, Diponegoro, Imam Bonjol serta kawasan monas, sudah dipenuhi dengan rumah gubuk yang terbuat dari kardus.  Sementara orang-orang kaya terpaksa nginap di hotel-hotel atau di gedung-gedung bertingkat. Dengan sekejap, hotel sudah dipenuhi dengan warga kelas elit, bahkan mereka sampai ke atap gedung bertingkat itu.
            “Bang, itu kan Bang Sonny, yang biasa bawa acara Famili cepek. Mau ke mana dia, banjir-banjir begini. Tu, lagi abang pembawa acara kuis . Ada lagi di sana Bang Tantowi, pembawa acara milioner. Mau kemana mereka, ya?”
            “Biasa. Mau mengajak orang Jakarta bermimpi.”
            Air hujan tetap terus turun dari langit. Sementara langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kecerahan. Banjir terus naik. Sekarang, orang-orang yang berada di lantai dua gedung bertingkat berajak naik ke tingkat atas. Mereka naik ke atap gedung tersebut. Patung sang tokoh proklamator sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang, sebenarnya apa yang menyebabkan banjir ini?”
            “Suara ahli saja nggak mau didengar, apalagi kita!”

Tanjung Pinang, 7 Februari 2002

by: adrian
Baca juga:
1.      Leo dan Lia
2.      Maafkan Aku, Lala
4.      Kicau Burung Hilang

5.      Kuda Lumping

Tidak ada komentar:

Posting Komentar