GOSIP: ANTARA PEREMPUAN & KESENANGAN
Kali ini kami menampilkan tema
tentang GOSIP atau yang dikenal dengan istilah ngrumpi. Bisa
dikatakan kalau gosip itu merupakan bagian dari hidup manusia. Tak ada manusia
yang lepas dari gosip. Ia adalah salah satu aktivitas kehidupan kita.
Di sini kita akan mendapat informasi
seputar gosip. Kita bisa tahu kenapa gosip itu sangat disenangi oleh manusia
sekalipun sudah diketahui bahwa gosip itu tidak baik; mengapa gosip identik
dengan kaum Hawa, dll.
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa
memang gosip itu menyenangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan
dari University of Michigan dipimpin Prof. Stephanie Brown mengatakan bahwa
gosip bagus untuk kesehatan. Kenapa? Karena gosip membawa kebahagiaan
tersendiri. Kebahagiaan itulah yang memicu kesehatan tubuh.
Namun harus diingat bahwa itu hanya
menyentuh satu sisi saja. Harus disadari juga di sisi yang lain orang menderita
akibat gosipan kita. Penderitaan itu bisa berdampak pada penyakit. Dan jika
makin parah, penyakit itu bisa berdampak pada kematian.
Jadi, ada sesuatu yang ironis dari
gosip tersebut. Di satu sisi kita mendapatkan kebahagiaan dan kesehatan, tapi
di sisi lain orang menderita. Hal ini tidak sejalan dengan ajaran iman kita,
yang menghendaki agar kita mencapai kebahagiaan bersama. Paus Benediktus XVI
pernah menyerukan kepada umat manusia, berkaitan sikap orang atas kematian
Khadafi, agar manusia jangan bergembira di atas kematian seorang manusia,
sekalipun manusia itu jahat di mata kita.
Oleh karena itu, setelah membaca
uraian ini, kami berharap agar pembaca dapat memiliki sikap terhadap gosip.
Kali ini kami menampilkan tema
tentang GOSIP atau yang dikenal dengan istilah ngrumpi. Bisa
dikatakan kalau gosip itu merupakan bagian dari hidup manusia. Tak ada manusia
yang lepas dari gosip. Ia adalah salah satu aktivitas kehidupan kita.
Di sini kita akan mendapat informasi
seputar gosip. Kita bisa tahu kenapa gosip itu sangat disenangi oleh manusia
sekalipun sudah diketahui bahwa gosip itu tidak baik; mengapa gosip identik
dengan kaum Hawa, dll.
Satu hal yang perlu disadari adalah bahwa
memang gosip itu menyenangkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim ilmuwan
dari University of Michigan dipimpin Prof. Stephanie Brown mengatakan bahwa
gosip bagus untuk kesehatan. Kenapa? Karena gosip membawa kebahagiaan
tersendiri. Kebahagiaan itulah yang memicu kesehatan tubuh.
Namun harus diingat bahwa itu hanya
menyentuh satu sisi saja. Harus disadari juga di sisi yang lain orang menderita
akibat gosipan kita. Penderitaan itu bisa berdampak pada penyakit. Dan jika
makin parah, penyakit itu bisa berdampak pada kematian.
Jadi, ada sesuatu yang ironis dari
gosip tersebut. Di satu sisi kita mendapatkan kebahagiaan dan kesehatan, tapi
di sisi lain orang menderita. Hal ini tidak sejalan dengan ajaran iman kita,
yang menghendaki agar kita mencapai kebahagiaan bersama. Paus Benediktus XVI
pernah menyerukan kepada umat manusia, berkaitan sikap orang atas kematian
Khadafi, agar manusia jangan bergembira di atas kematian seorang manusia,
sekalipun manusia itu jahat di mata kita.
Oleh karena itu, setelah membaca uraian ini, kami berharap agar pembaca dapat memiliki sikap terhadap gosip.
Oleh karena itu, setelah membaca uraian ini, kami berharap agar pembaca dapat memiliki sikap terhadap gosip.
Mengapa Manusia Senang
Gosip?
Meski tahu bergosip itu
bukan kebiasaan yang baik, tapi hanya sedikit orang yang dengan sadar
menghindarinya. Begitu mendengar ada gosip, kita langsung penasaran ingin tahu
lebih dalam walau topik yang digosipkan adalah masalah pribadi orang lain.
Problema terhanyut dalam
lingkaran gosip memang sulit dihindari. Salah satu penyebabnya adalah sistem
visual kita terprogram untuk fokus pada gosip negatif yang kita dengar.
Selain itu, ternyata otak manusia mengingat gosip negatif lebih kuat daripada
gosip positif atau gosip yang netral.
"Secara alamiah
kita memang lebih sensitif pada informasi yang mungkin berpotensi mengancam
kehidupan kita," Irving Biederman, ahli neuroscience dari
California Amerika Serikat.
Walaupun topik dalam
gosip itu mengenai orang lain, namun bukan tidak mungkin suatu saat akan
menimpa kita. Misalnya tentang PHK karyawan atau perselingkuhan.
"Kita bisa
mengambil keuntungan dari gosip negatif yang kita dengar dengan cara
menghindari hal itu agar tidak terjadi pada kita," kata ketua peneliti
Eliza Bliss-Moreau, dari California, AS.
Studi sebelumnya juga
mengungkapkan manusia berevolusi sedemikian rupa untuk memiliki kecenderungan
menghakimi dan senang membicarakan orang lain.
Meski ada banyak
kategori pembicaraan dengan orang lain, mulai dari salam, penjelasan, berbohong
atau menceritakan rahasia, namun yang paling disukai orang adalah membicarakan
orang lain. Bahkan, meski pembicaraan diawali dengan topik tentang cuaca, pada
akhirnya mereka akan membicarakan orang lain.
Ahli primata Robin
Dunbar dari Universitas Oxford Inggris mengatakan bahwa gosip tidak selalu
berarti buruk. Dunbar menjelaskan, gosip telah melalui seleksi evolusi sebagai
salah satu cara untuk menyatukan kelompok manusia.
Pada awalnya, menurut
Dunbar, primata seperti babon hidup berkelompok dan menggunakan perawatan diri
sebagai alat sosial untuk menjalin, menjaga dan memutus hubungan sosial. Namun
dalam sejarah evolusi, kelompok manusia sebagai besar dan tidak ada yang punya
waktu lagi untuk memperhatikan penampilan orang lain. Gosip atau membicarakan
orang lain kemudian menggantikannya sebagai perekat ikatan sosial.
Walau gosip mungkin
secara alami sudah ada dalam setiap lingkungan sosial, tetapi manusia tidak
terlahir untuk bergosip. Anak-anak belajar seni komunikasi melalui
lingkungannya, mulai dari bicara dengan sopan pada orangtua, tidak menyumpah
pada orang lain, atau menggunakan tata bahasa yang baik. Termasuk, kebiasaan
menggosipkan orang lain.
Dengan kata lain, meski
kita punya kecenderungan untuk menyukai gosip, tetapi kesukaan itu tidak harus
dipupuk. Malah, kita bisa mengajar anak-anak untuk menghindari gosip dengan
cara "menjaga lidah" untuk tidak sering-sering membicarakan berita
negatif tentang orang lain.
Suka gosip: Talenta
Perempuan?
”Katakan dengan bunga”
demikian bunyi pepatah klasik untuk menggambarkan bahwa ’bunga bisa mewakili
kita untuk bicara, dibandingkan kita harus bicara tetapi tidak jelas maknanya’.
Kebanyakan laki-laki mungkin lebih memilih memberikan bunga untuk kekasih atau
pasangannya dibanding harus mengucapkan kata-kata simpatik secara langsung.
Tidak ada bunga, kartu pun jadi, karena mereka bisa menulis apa yang ada di
pikirannya melalui kartu tersebut. Mengapa laki-laki begitu sulit mengungkapkan
isi hatinya? Mengapa laki-laki tidak pernah dicap ”tukang ngobrol”, apalagi
”tukang bergosip”?
“Gosip itu untuk
perempuan dan laki-laki yang keperempuan-perempuanan,” demikian pendapat banyak
orang. Mengapa perempuan identik dengan ”gosip”? Beberapa perempuan merasa
”gerah” dengan predikat tersebut. Padahal, sadar atau tidak, stereotip tersebut
kadang-kadang mereka kukuhkan sendiri. Lihat saja komentar salah seorang
perempuan (dan mungkin juga sering dilontarkan oleh perempuan lain), ”...Kalau
laki-laki bergosip, kita suka bilang kayak ibu-ibu arisan. Kalau laki-laki
cerewet mengomentari penampilan kita, secara spontan kita suka bilang, ’cerewet
amat sih, kayak perempuan aja’...”
Pada umumnya, perempuan
merasa bahwa mereka harus mengetahui apa saja yang terjadi di sekitar mereka.
Gosip adalah salah satu cara perempuan untuk mendapatkan informasi yang mereka
inginkan, apalagi mereka senang dengan hal-hal detil. Itulah mengapa mereka
sanggup menghabiskan waktu berjam-jam hanya demi bergosip.
Mengobrol sambil
bergosip memang diakui mengasyikkan bagi perempuan. Hasil riset MarkPlus
Insight terhadap 1.301 perempuan di kota besar menunjukkan bahwa
aktivitas yang biasa dilakukan sebanyak 95,4 persen perempuan bersama teman
perempuannya adalah ”mengobrol”—bisa online maupun offline.
Bila ditelusuri lebih jauh, perempuan menikah (96,4 persen), perempuan single
(92,8 persen) dan perempuan single parent (95,0 persen) memilih mengalokasikan
sebagian besar waktunya untuk mengobrol dengan teman perempuannya dibanding
aktivitas lain misalnya belanja, jalan-jalan atau perawatan diri.
Dalam Wikipedia
disebutkan bahwa “gosip atau desas-desus (Inggris: rumors) adalah
selenting berita yang tersebar luas dan sekaligus menjadi rahasia umum di
publik tetapi kebenarannya diragukan atau merupakan berita negatif”. Benarkah
gosip itu negatif?
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim ilmuwan dari University of Michigan dipimpin Prof. Stephanie
Brown menemukan bahwa kegiatan mengobrol (= bergosip) yang selalu diidentikkan
dengan kaum perempuan ini ternyata bagus bagi kesehatan.
Perempuan akan merasa
bahagia dan sehat jika mereka menikmati obrolannya dengan sesama teman
perempuannya. Kegiatan tersebut terbukti dapat mengurangi tingkat stres dan
rasa cemas berlebih. Mengobrol atau bergosip mampu meningkatkan hormon
progesteron yang dihasilkan tubuh, di mana hormon tersebut berperan penting
bagi perempuan dalam melakukan interaksi sosial. Hasil riset tersebut yang
dipublikasikan dalam jurnal Hormones and Behaviour ini menunjukan bahwa
responden yang terlibat percakapan dengan sesama perempuan cenderung mempunyai
tingkat progesteron yang stabil, bahkan meningkat. Sementara pada kelompok lain
yang tidak terlibat percakapan, hormon tersebut malahan terlihat menurun.
“Hasil ini dapat
membantu kita dalam memahami mengapa orang-orang yang memiliki hubungan dekat
dan akrab akan terlihat begitu bahagia, sehat dan hidup lebih lama dibandingkan
dengan mereka yang kehidupan sosialnya terisolasi,” ungkap Prof. Stephanie.
Dalam ”Psychology
Today”, Hara Estroff Marano menulis artikel berjudul “Secrets of
Married Men”. Dia mengutip pendapat psikiater Scott Haltzman, M.D., yang
mengatakan bahwa rata-rata perempuan berbicara 7.000 kata setiap harinya,
sementara laki-laki hanya 2.000 kata. Hal ini juga didukung oleh pernyataan
Allan dan Barbara Pease di buku mereka “Why Men Don’t Listen &
Women Can’t Read Maps” yang memberikan data yang mirip kisarannya.
Bisa jadi, itulah alasan
mengapa persahabatan antara perempuan seringkali diwarnai dengan sesi bergosip
dan curhat. Bahkan, Alan dan Barbara Pease dalam bukunya yang berjudul “Why
Men Can Do One Thing at a Time and Woman Never Stop Talking” mengatakan,
“The average length of woman’s telephone call is at least 18 minutes; whilst
the average length of a man’s telephone is a less than 3 minutes”.
Perempuan memiliki satu
kesamaan yang akan selalu menjadi benang merah dari setiap persahabatan dengan
sesama perempuan, yaitu ‘kebutuhan untuk berbagi’. Perempuan akan berbagi
informasi seputar kehidupan mereka, mulai dari hal-hal detil yang berkaitan
dengan urusan sehari-hari misalnya kecantikan, fashion, hingga masalah
laki-laki dan passion mereka terhadap kehidupan. Apa pun bisa menjadi gosip.
Bahkan, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bergosip dan atau
nonton TV acara gosip yang sedang hot dari satu stasiun TV ke stasiun TV lain.
Cerita kecil dan sederhana bisa mereka gosipkan melebar ke mana-mana. Mereka
juga rela meluangkan waktu untuk bertemu rekan mereka di kafe atau menghabiskan
pulsa telepon hanya untuk sekedar ngobrol walaupun obrolannya belum tentu
”berisi”. Bahkan, ada komentar dari seorang laki-laki menanggapi kebiasaan
perempuan bergosip, ”Laki-laki sering terganggu karena perempuan sering tak
berhenti bicara, apalagi kalau bahan pembicaraannya banyak yang nggak penting.”
Majalah Marketeers
(edisi Agustus 2010) menyatakan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk
menyebarkan suatu isu dibanding laki-laki. Jadi, sifat suka bergosip menjadi
suatu keuntungan saat para perempuan berbagi cerita tentang produk-produk yang
digunakannya. Hal ini berbeda dengan laki-laki yang lebih suka menyimpan
informasi tersebut untuk dirinya sendiri, karena laki-laki dianggap jauh kurang
percaya diri untuk bercerita kepada teman-temannya dibandingkan
perempuan. Laki-laki ”diprogram” untuk tidak mengungkapkan apa pun yang
bisa membuat mereka rentan.
Pendapat Phillip Hodson,
psikoterapis dan konselor dari British Association menguatkan fenomena
tersebut. Menurutnya, "Laki-laki cenderung tidak mengatakan hal-hal
tentang diri mereka, sedang perempuan suka ’mendongeng’ serta cenderung
memiliki kepercayaan diri lebih, khususnya pada teman-teman mereka. Laki-laki
cenderung tidak memiliki kemampuan dalam cara yang sama dan berbagi hal-hal
yang dapat membuat mereka rentan. Mereka takut bahwa jenis informasi (yang ia
ceritakan) dapat digunakan untuk melawan mereka. Laki-laki juga takut
dimanfaatkan untuk persaingan.”
Kemungkinan laki-laki
lebih merasa nyaman untuk curhat melalui situs pribadi yang bisa menjamin
kerahasiaan identitas mereka dibanding berbicara kepada temannya. Lalu, apa
yang bisa kita petik dari kasus di atas? Pemasar yang jeli bisa memanfaatkan
talenta perempuan ini sebagai ajang untuk sosialisasi produk mereka. Why
not?
Perempuan Bergosip 5 Jam
Sehari!
Berapa lama waktu yang
"didedikasikan" oleh tayangan infotainment di
televisi dalam sehari untuk memuaskan kebutuhan wanita untuk bergosip?
Entahlah, yang pasti cukup banyak. Maklum saja, sebab dalam kenyataannya
perempuan menggunakan sepertiga dari waktu produktifnya dalam sehari (sekitar
298 menit) untuk membicarakan soal berat badan, seks, dan masalah orang lain.
Survei yang diluncurkan
oleh perusahaan wine First Cape ini mendapati bahwa
perempuan menggunakan sekitar 24 menit dalam sehari untuk membahas berat badan,
diet, dan ukuran bajunya. Kemudian, 33 persen perempuan mengakui banyak
menghabiskan waktu untuk membicarakan apa yang akan dikonsumsi saat makan
siang.
"Perempuan kan
memang terkenal karena kemampuannya untuk ngobrol, dan pria terkesima dengan
apa saja yang bisa dibahas oleh perempuan saat bersama pasangannya," ujar
Steve Barton, juru bicara First Cape.
Selain soal berat badan,
topik utama yang jadi bahan pembicaraan kaum perempuan adalah shopping,
diet, olahraga, dan liburan. Masalah dimana harus makan siang saja menempati
urutan keempat topik diskusi mereka, diikuti dengan masalah percintaan orang
lain, anak-anak, dan operasi kosmetik. Sedangkan urusan mengeluhkan kelakuan
pasangan berada di nomor dua dari bawah.
"Saya tak pernah
menduga bahwa makanan saja bisa menjadi topik panas," kata Barton. "Dan,
senang juga melihat kebanyakan perempuan bahagia ketika bisa ngobrol sepintas
dengan orang-orang yang sama sekali tak dikenal."
Sebanyak 38 persen
perempuan, misalnya, menggunakan 12 menit dalam seminggu untuk bercakap-cakap
dengan penjaga toko. Studi juga mendapati bahwa rata-rata perempuan bergosip
selama 17 menit sebelum mulai bekerja. Mereka yang punya tetangga yang ramah
umumnya menghabiskan hampir setengah jam dalam seminggu untuk ngerumpi.
Tetapi kebiasaan
bergosip ini ternyata juga menimbulkan masalah bagi mereka sendiri. Sebanyak 36
persen perempuan, misalnya, mengaku bahwa mereka tak dapat dipercaya untuk
menyimpan rahasia seorang teman. Soalnya setelah diberi sebuah rahasia atau
gosip, mereka selalu memberitahukannya pada pasangan, ibu, atau teman baik
mereka. Repotnya, apa yang disampaikan jauh berbeda dengan apa yang didengar
dari sumber pertama. Mungkin itu sebabnya perempuan memilih bergosip empat mata
saja ketimbang ramai-ramai.
Berikut adalah 20 topik
yang paling sering dibahas kaum perempuan:
1. Shopping
2. Diet
dan olahraga
3. Liburan
4. Apa
yang akan dilakukan jika memang undian
5. Kesehatan
6. Makan
siang
7. Siapa
yang sedang pacaran
8. Masalah
percintaan orang lain
9. Soal
anak
10. Resep
masakan
11. Pertengkaran
dengan pasangan
12. Ukuran
baju
13. Sinetron
14. Anak-anak
15. Anak
orang lain
16. Siapa
yang mereka idolakan
17. Ibu
mertua
18. Operasi
kosmetik
19. Mengeluhkan
pasangan
20. Bagaimana
orang menjadi tua
Kenapa Ngegosip Itu
Asyik?
Kita semua tahu bahwa
membicarakan seseorang di belakangnya adalah salah. Tetapi jujur saja, agak
sulit menghindarinya. Sebenarnya apa yang membuat kebiasaan tak baik itu terasa
mengasyikkan?
Kenyamanan yang timbul
dari bergosip. Begitulah para pakar memberi jawaban atas pertanyaan di atas.
Beberapa kalimat gosip yang kita bagi dengan teman, rekan kerja, atau keluarga,
disebutkan bisa membuat kita merasa nyaman dan superior.
Laurent Begue, seorang
psikolog sosial, mengatakan bahwa sekitar 60 persen isi pembicaraan antar orang
dewasa adalah tentang seseorang yang saat itu tidak hadir. "Dan kebanyakan
adalah tentang penilaian kita tentang orang yang dibicarakan itu."
katanya.
Ia menjelaskan bahwa
gosip dapat membentuk ikatan sosial karena berbagi ketidaksukaan dengan orang
lain bisa menciptakan rasa kesamaan dibandingkan dengan berbagai sesuatu yang
positif.
"Dua orang yang
tidak saling kenal bisa merasa lebih dekat jika mereka berbagi gunjingan
tentang orang ketiga. Ini menjadi semacam cara untuk berbagi nilai dan rasa
humor." katanya.
Gosip juga menjadi cara
kita untuk memberitahu orang bagaimana menghubungkan diri dengan orang yang
belum pernah ditemui. Misalnya saja kita jadi merasa "mengenal"
lingkungan kerja teman dari cerita-cerita yang disebarkannya.
Selain itu, terkadang
"rahasia" yang kita bagi dengan seseorang dianggap menunjukkan
kepercayaan kita. "Terkadang hati kita senang mendengar kata 'jangan
bilang siapa-siapa' dari mulut orang yang menyebarkan cerita rahasia itu,"
katanya.
Ahli antropologi Robin
Dunbar bahkan menyebutkan bahwa gosip adalah faktor yang vital dalam evolusi
perkembangan otak. "Bahasa tercipta karena adanya kebutuhan untuk
menyebarkan gosip." katanya.
Meski demikian gosip
juga bisa menjadi cara untuk berbagi kecemasan dan mencari dukungan. Ini
menjadi cara tak langsung untuk mengungkapkan keinginan kita. Misalnya kita
bercerita tentang betapa seksinya pakaian yang dipakai kakak kita. Mungkin
sebenarnya kita ingin meyakinkan diri bahwa kita juga tak kalah seksinya.
Akan tetapi,
bagaimanapun gosip bisa merusak banyak hal, terutama kepercayaan orang lain.
Bergosip di kantor bahkan bisa menyebabkan Anda terlihat kurang profesional.
edited by:
adrian, dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar