Kamis, 24 Januari 2013

(C E R P E N) Tini & Tono

TINI DAN TONO

          
Hujan terus mengguyur kota Jakarta. Sudah tiga hari ini hujan tidak bosan-bosannya turun dari langit, padahal masyarakatnya sudah bosan. Siapa sih, yang nggak bosan mendekam terus di rumah. Apalagi Tono dan adiknya, Tini, dua bocah ingusan usia 8 dan 5 tahun. Sudah dua hari mereka tidak ngamen di bis-bis kota jurusan UKI – Priok atau Rawamangun. Rumah mereka di perkampungan kumuh Prumpung, sudah tergenang air. Biasa, sudah tradisi.
            Tono duduk sambil memeluk kakinya. Sementara adiknya sibuk mengitari ruang segi empat puncak Monas. Ketika air mulai membanjiri kawasan rumah mereka, Tono cepat-cepat mengajak adiknya ke Monas. Ia ingat pesan almarhum si Mbah, orang yang telah merawat mereka sejak kecil. Si Mbah menemui mereka di Proyek Senen. Tono, menggendong Tini, sedang mengincar kue-kue yang dipajang di pelataran Proyek Senen.
            “Mau curi kue, ya?”
            “Ng, nggak, Pak!” Ujar Tono gugup. Sudah beberapa kali ia berhasil mendapatkan kue tanpa diketahui orang. Tapi kali ini usahanya gagal.
            “Ngaku aja anak kecil,” desak orang tua yang kemudian dipanggil si Mbah oleh Tono dan Tini.
            “Adik saya lapar, Pak.”
            Orang tua itu menatap ke arah gadis kecil dalam gendongan Tono. Perasaan iba timbul di hatinya. “Mana orang tuamu?”
            Tono tertunduk.
            “Di mana kalian tinggal?”
            Tono tetap tertunduk.
            Sejak saat itulah Tono diambil dan diajak tinggal bersama orang tua itu di perkampungan Prumpung. Orang tua itu merawat dan membesarkan mereka dengan penghasilan ala kadarnya sebagai pemulung. Dan mereka mulai memanggilnya si Mbah. Mereka hidup bagai sebuah keluarga. Tono dan Tini tumbuh besar bersama si Mbah. Ketika mereka sudah besar, mereka turun ke jalan untuk mengamen. Apalagi waktu itu si Mbah sudah mulai sakit-sakitan.
            “Tahun ini, alam akan murka pada Jakarta. Kalo banjir datang, pergilah kamu ke Monas. Di sana aman,” nasehat si Mbah suatu ketika, saat sakitnya semakin parah. “Kalian bisa naik ke atas.”
            Tono dan Tini tidak sadar kalau nasehat itu merupakan kata perpisahan orang yang sangat dicintainya. Keesokan paginya mereka tidak mendengar lagi suara si Mbah. Mereka menemui tubuh si Mbah sudah terbujur kaku di atas pembaringannya. Tono dan Tini meraung-raung menangisi kepergian orang yang sudah dianggapnya bapak.
            Berbekal nasehat tadi, Tono segera mengajak Tini meninggalkan rumah, yang telah menyimpan banyak kenangan bersama orang yang dikasihi. Sore itu air sungai Ciliwung sudah meluap menggenangi perkampungan Prumpung. Tono membawa adiknya ke Monas. Semalam, ia berhasil main kucing-kucingan dengan petugas pintu Monas. Ia berhasil masuk membawa adiknya dan naik ke atas. Sudah dua hari mereka di sana. Sementara banjir terus menyapu rata permukaan kota Jakarta. Dari atas Monas, mereka tidak bisa lagi melihat kampung Prumpung. Semua sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang. Bang liat, air sudah memasuki rumah-rumah orang kaya itu.”
            “Biarin! Agar mereka tau rasa juga.”
            Sepertinya murka alam kali ini cukup adil, pikir Tono. Banjir tidak saja melanda kaum miskin kota, melainkan juga kena pada orang-orang kaya. Dengan serius ia memperhatikan keluarga kaya keluar dari rumah dengan naik gerobak. Ada juga yang pakai truk. Tono tersenyum. Ada kesan lucu dari pemandangan itu. Biasanya mereka merasa nyaman dengan sedan mewahnya yang ber-AC. Kini, banjir mendidik mereka untuk merasakan juga nikmatnya naik gerobak atau truk. Akan tetapi, mereka masih bernasib baik, pikir Tono. Ada asuransi yang menanggung mereka. Bagaimana dengan orang kecil?
            “Bang, ada tawuran!”
            Edan, pikir Tono. Masa’ dalam suasana susah begini, orang masih sibuk tawuran. Tono berdiri mendekati adiknya. Dilayangkan pandangannya ke arah telunjuk adiknya.
            “O, itukan pintu air Manggarai. Pasti warga mau supaya pintu air itu dibuka. Liatlah, rumah warga sudah pada terendam semuanya.”
            “Tapi di sana kok nggak banjir.” Tini menunjuk ke sebuah perumahan elit Kapuk, di wilayah Utara Jakarta “Tu, malah ada yang asyik main golf. “
            “Liat, warga dan tentara lagi rebutan perahu karet.”
            “Liat, ada bendera partai di sana. Ngapain ya mereka? Bagi-bagi bantuan atau kampaye?”
            “Bang, kita turun cari makan dulu, yuk! “
            “Buat apa? Kita di sini saja supaya selamat. Menurut ramalan, banjir kali ini sangat dahsyat. Pasti akan banyak yang mati. Nanti kalo airnya sudah surut, baru kita turun. Kita langsung ke mal untuk ambil barang-barang yang selama ini hanya bisa kita liat. Kan, orang-orang sudah pada mati. Kita tinggal milih, mana yang kita sukain”
            “Aku nanti ambil play station, boneka-bonekaan, ...”
            “Tu liat, air sudah masuk istana negara.”
            Banjir terus merengsek naik. Air tidak mau pandang bulu. Sejak istana negara dilanda air setinggi lutut, tidak ada lagi kawasan Jakarta yang bebas banjir. Sungguh dahsyat banjir kali ini. Dari atas puncak Monas, Tono terus memperhatikan situasi kota Jakarta. Ia melihat ibu-ibu dan anak-anak saling berebutan nasi bungkus. Beberapa anak kecil asyik bermain air dengan meng-gunakan batang pisang. Mereka asyik berenang. Mungkin selama ini tidak ada kesempatan pergi ke kolam renang, karena kolam renang hanya untuk orang-orang berduit. Namun kini, hujan membuat kota Jakarta seperti sebuah danau. Siapa saja bebas berenang, tanpa dipungut biaya.
Orang-orang kaya sibuk mengurus dan menyelamatkan harta benda berharganya. Di senayan, Tono melihat para wakil rakyat sibuk mengisi “amunisi” untuk menyerang pemerintah. Mereka lupa pada nasib rakyat dan tidak berpikir bagaimana mengatasi banjir. Para aparat dan pejabat pemerintah pusat dan daerah (kota Jakarta) terlihat sibuk saling melempar kesalahan. Aneh, pikir Tono. Rakyat kecil lagi menderita, kok mereka-mereka sibuk ngurus kepentingannya sendiri. Tono teringat lagi dengan bendera partai tadi. Apakah mereka itu mau bagi bantuan sambil kampaye atau kampaye sambil bagi-bagi bantuan, batinnya.
            Para gelandangan yang biasanya membuat rumah di kolong jembatan atau di bantaran kali, terlihat sibuk membangun rumah di atas pohon-pohon di pinggir jalan kota Jakarta. Dalam waktu singkat, pohon-pohon mahoni yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk, Diponegoro, Imam Bonjol serta kawasan mo-nas, sudah dipenuhi dengan rumah gubuk yang terbuat dari kardus.  Sementara orang-orang kaya terpaksa nginap di hotel-hotel atau di gedung-gedung ber-tingkat. Dengan sekejap, hotel sudah dipenuhi dengan warga kelas elit, bahkan mereka sampai ke atap gedung bertingkat itu.
            “Bang, itu kan Bang Sonny, yang biasa bawa acara Famili cepek. Mau ke mana dia, banjir-banjir begini. Tu, lagi abang pembawa acara kuis. Ada lagi di sana Bang Tantowi, pembawa acara milioner. Mau ke mana mereka, ya?”
            “Biasa. Mau mengajak orang Jakarta bermimpi.”
            Air hujan tetap terus turun dari langit. Sementara langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kecerahan. Mega kelabu menyelimuti seluruh kota Jakarta. Banjir terus naik. Sekarang, orang-orang yang berada di lantai dua gedung bertingkat berajak naik ke tingkat atas. Mereka naik ke atap gedung tersebut. Patung sang tokoh proklamator sudah lenyap ditelan banjir.
            “Bang, apa yang menyebabkan banjir ini?”
            Tono diam.
“Apa ini kutukan atas tragedi Mei 1998 lalu?”
“Mungkin.”
“Apa karena banyak hutan digundulin?”
“Mungkin.”
“Apa karena banjir kiriman?”
“Mungkin.”
“Apa karena kejahatan pejabat kita?”
“Mungkin.”
Lha, semuanya mungkin. Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan kota Jakarta banjir?”
“Sudahlah, nggak usah ditanya. Suara ahli saja nggak mau didengar, apalagi suara kita!” ---

Tanjung Pinang, 13 Februari 2002

by: adrian

Baca juga:
1.      Cita-cita Warni
2.      Doa Si Toni Kecil
3.      Jam Weker
4.      Pelajaran Sejarah
5.      Kuda Lumping

Tidak ada komentar:

Posting Komentar