TINI DAN TONO
Hujan terus mengguyur kota Jakarta. Sudah tiga hari ini
hujan tidak bosan-bosannya turun dari langit, padahal masyarakatnya sudah
bosan. Siapa sih, yang nggak bosan
mendekam terus di rumah. Apalagi Tono dan adiknya, Tini, dua bocah ingusan usia
8 dan 5 tahun. Sudah dua hari mereka tidak ngamen di bis-bis kota jurusan UKI –
Priok atau Rawamangun. Rumah mereka di perkampungan kumuh Prumpung, sudah
tergenang air. Biasa, sudah tradisi.
Tono duduk sambil memeluk
kakinya. Sementara adiknya sibuk mengitari ruang segi empat puncak Monas.
Ketika air mulai membanjiri kawasan rumah mereka, Tono cepat-cepat mengajak
adiknya ke Monas. Ia ingat pesan almarhum si Mbah, orang yang telah merawat
mereka sejak kecil. Si Mbah menemui mereka di Proyek Senen. Tono, menggendong
Tini, sedang mengincar kue-kue yang dipajang di pelataran Proyek Senen.
“Mau
curi kue, ya?”
“Ng, nggak, Pak!” Ujar Tono gugup.
Sudah beberapa kali ia berhasil mendapatkan kue tanpa diketahui orang. Tapi
kali ini usahanya gagal.
“Ngaku aja anak kecil,” desak orang
tua yang kemudian dipanggil si Mbah oleh Tono dan Tini.
“Adik saya lapar, Pak.”
Orang tua itu menatap ke arah gadis
kecil dalam gendongan Tono. Perasaan
iba timbul di hatinya. “Mana orang tuamu?”
Tono tertunduk.
“Di mana kalian tinggal?”
Tono tetap tertunduk.
Sejak saat itulah Tono
diambil dan diajak tinggal bersama orang tua itu di perkampungan Prumpung.
Orang tua itu merawat dan membesarkan mereka dengan penghasilan ala kadarnya
sebagai pemulung. Dan mereka mulai memanggilnya si Mbah. Mereka hidup bagai
sebuah keluarga. Tono dan Tini tumbuh besar bersama si Mbah. Ketika mereka
sudah besar, mereka turun ke jalan untuk mengamen. Apalagi waktu itu si Mbah
sudah mulai sakit-sakitan.
“Tahun ini, alam akan
murka pada Jakarta. Kalo banjir datang, pergilah kamu ke Monas. Di sana aman,”
nasehat si Mbah suatu ketika, saat sakitnya semakin parah. “Kalian bisa naik ke
atas.”
Tono dan Tini tidak sadar
kalau nasehat itu merupakan kata perpisahan orang yang sangat dicintainya.
Keesokan paginya mereka tidak mendengar lagi suara si Mbah. Mereka menemui
tubuh si Mbah sudah terbujur kaku di atas pembaringannya. Tono dan Tini
meraung-raung menangisi kepergian orang yang sudah dianggapnya bapak.
Berbekal nasehat tadi,
Tono segera mengajak Tini meninggalkan rumah, yang telah menyimpan banyak
kenangan bersama orang yang dikasihi. Sore itu air
sungai Ciliwung sudah meluap menggenangi perkampungan Prumpung. Tono membawa
adiknya ke Monas. Semalam, ia berhasil main kucing-kucingan dengan petugas
pintu Monas. Ia berhasil masuk membawa adiknya dan naik ke atas. Sudah dua hari
mereka di sana. Sementara banjir
terus menyapu rata permukaan kota Jakarta. Dari atas Monas, mereka tidak bisa
lagi melihat kampung Prumpung. Semua sudah lenyap ditelan banjir.
“Bang. Bang liat, air
sudah memasuki rumah-rumah orang kaya itu.”
“Biarin! Agar mereka tau
rasa juga.”
Sepertinya murka alam kali
ini cukup adil, pikir Tono. Banjir tidak saja melanda kaum miskin kota,
melainkan juga kena pada orang-orang kaya. Dengan serius ia memperhatikan
keluarga kaya keluar dari rumah dengan naik gerobak. Ada juga yang pakai truk.
Tono tersenyum. Ada kesan lucu dari pemandangan itu. Biasanya mereka merasa
nyaman dengan sedan mewahnya yang ber-AC. Kini, banjir mendidik mereka untuk
merasakan juga nikmatnya naik gerobak atau truk. Akan tetapi, mereka masih
bernasib baik, pikir Tono. Ada asuransi yang menanggung mereka. Bagaimana
dengan orang kecil?
“Bang, ada tawuran!”
Edan, pikir Tono. Masa’ dalam
suasana susah begini, orang masih sibuk tawuran. Tono berdiri mendekati
adiknya. Dilayangkan pandangannya ke arah telunjuk adiknya.
“O, itukan pintu air
Manggarai. Pasti warga mau supaya pintu air itu dibuka. Liatlah, rumah warga
sudah pada terendam semuanya.”
“Tapi di sana kok nggak banjir.” Tini menunjuk ke
sebuah perumahan elit Kapuk, di wilayah Utara Jakarta “Tu, malah ada yang asyik
main golf. “
“Liat, warga dan tentara
lagi rebutan perahu karet.”
“Liat, ada bendera partai
di sana. Ngapain ya mereka? Bagi-bagi bantuan atau kampaye?”
“Bang, kita turun cari
makan dulu, yuk! “
“Buat apa? Kita di sini
saja supaya selamat. Menurut ramalan, banjir kali ini sangat dahsyat. Pasti
akan banyak yang mati. Nanti kalo airnya sudah surut, baru kita turun. Kita
langsung ke mal untuk ambil barang-barang yang selama ini hanya bisa kita liat.
Kan, orang-orang sudah pada mati. Kita tinggal
milih, mana yang kita sukain”
“Aku nanti ambil play
station, boneka-bonekaan, ...”
“Tu liat, air sudah masuk istana negara.”
Banjir terus merengsek naik. Air
tidak mau pandang bulu. Sejak istana negara dilanda air setinggi lutut, tidak
ada lagi kawasan Jakarta yang bebas banjir. Sungguh dahsyat
banjir kali ini. Dari atas puncak Monas, Tono terus memperhatikan situasi kota
Jakarta. Ia melihat ibu-ibu dan anak-anak saling berebutan nasi bungkus.
Beberapa anak kecil asyik bermain air dengan meng-gunakan batang pisang. Mereka
asyik berenang. Mungkin selama ini tidak ada kesempatan pergi ke kolam renang,
karena kolam renang hanya untuk orang-orang berduit. Namun kini, hujan membuat
kota Jakarta seperti sebuah danau. Siapa saja bebas berenang, tanpa dipungut
biaya.
Orang-orang kaya sibuk mengurus dan menyelamatkan harta benda berharganya.
Di senayan, Tono melihat para wakil rakyat sibuk mengisi “amunisi” untuk
menyerang pemerintah. Mereka lupa pada nasib rakyat dan tidak berpikir
bagaimana mengatasi banjir. Para aparat dan pejabat pemerintah pusat dan daerah
(kota Jakarta) terlihat sibuk saling melempar kesalahan. Aneh, pikir Tono.
Rakyat kecil lagi menderita, kok
mereka-mereka sibuk ngurus kepentingannya sendiri. Tono teringat lagi dengan
bendera partai tadi. Apakah mereka itu mau bagi bantuan sambil kampaye atau
kampaye sambil bagi-bagi bantuan, batinnya.
Para gelandangan yang biasanya
membuat rumah di kolong jembatan atau di bantaran kali, terlihat sibuk
membangun rumah di atas pohon-pohon di pinggir jalan kota Jakarta. Dalam waktu
singkat, pohon-pohon mahoni yang ada di sepanjang jalan Hayam Wuruk,
Diponegoro, Imam Bonjol serta kawasan mo-nas, sudah dipenuhi dengan rumah gubuk
yang terbuat dari kardus. Sementara orang-orang kaya
terpaksa nginap di hotel-hotel atau di gedung-gedung ber-tingkat. Dengan
sekejap, hotel sudah dipenuhi dengan warga kelas elit, bahkan mereka sampai ke
atap gedung bertingkat itu.
“Bang, itu kan Bang Sonny, yang biasa bawa acara Famili cepek. Mau ke mana dia,
banjir-banjir begini. Tu, lagi abang
pembawa acara kuis. Ada lagi di sana Bang Tantowi, pembawa acara milioner. Mau ke
mana mereka, ya?”
“Biasa. Mau mengajak orang
Jakarta bermimpi.”
Air hujan tetap terus turun dari
langit. Sementara langit belum juga menunjukkan tanda-tanda kecerahan. Mega
kelabu menyelimuti seluruh kota Jakarta. Banjir terus naik. Sekarang,
orang-orang yang berada di lantai dua gedung bertingkat berajak naik ke tingkat
atas. Mereka
naik ke atap gedung tersebut. Patung sang tokoh proklamator sudah lenyap
ditelan banjir.
“Bang, apa yang menyebabkan banjir ini?”
Tono diam.
“Apa ini kutukan atas tragedi Mei 1998 lalu?”
“Mungkin.”
“Apa karena banyak hutan digundulin?”
“Mungkin.”
“Apa karena banjir kiriman?”
“Mungkin.”
“Apa karena kejahatan pejabat kita?”
“Mungkin.”
“Lha, semuanya mungkin. Lalu sebenarnya apa yang menyebabkan kota
Jakarta banjir?”
“Sudahlah, nggak usah ditanya. Suara ahli saja nggak mau didengar, apalagi
suara kita!” ---
Tanjung Pinang, 13 Februari 2002
by: adrian
Baca juga:
3. Jam Weker
5. Kuda Lumping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar