Senin, 27 Februari 2023

BOLEHKAH RABU ABU JATUH PADA HARI LAIN?

 

Untuk menyambut Hari Raya Paskah, umat katolik diajak untuk mempersiapkan diri dalam satu masa yang dikenal dengan masa prapaskah. Pada masa ini umat diajak untuk melakukan pantang dan puasa, tobat dan amal kasih. Masa prapaskah diawali pada hari Rabu Abu. Pada hari ini umat akan berpuasa dan menerima abu.

Namun dalam situasi tertentu, ada umat tidak bisa menerima abu pada hari Rabu Abu. Sebagai contoh, tahun 2016 ini, ketika Pulau Bangka dilanda banjir sehingga banyak akses jalan raya rusak, beberapa imam tak bisa menjangkau umat di beberapa stasi untuk merayakan misa Rabu Abu. Ada umat bertanya, “Bisakah kami menerima abu pada hari lain selain hari Rabu Abu?”

Sebenarnya peristiwa ini (umat tidak bisa menerima abu pada hari Rabu Abu) bukan hanya terjadi pada saat bencana banjir saja. Umat di beberapa stasi di Paroki Tanjung Balai Karimun dan Ujung Beting, karena keterbatasan tenaga imam, sementara medan pastoralnya luas, tidak dapat menerima abu pada hari Rabu Abu. Tidak ada misa Rabu Abu pada hari Rabu. Mereka baru menerima abu pada hari-hari berikutnya ketika pastor mengunjungi mereka.

Lantas apakah bisa dikatakan umat dapat menerima abu pada hari lain, misalnya hari Minggu. Jadi, hari Rabu Abunya hari Minggu. Ini sama seperti sebuah pengumuman: besok pagi misa sore. Terkesan lucu. Namun masalah ini bukan semacam stand up comedy.

Hingga saat ini pun penanggungjawab liturgi keuskupan tidak mengeluarkan pernyataan atau pedoman, sekalipun sudah tahu. Pernah seorang imam mengatakan bahwa di salah satu stasinya umat baru menerima abu pada hari Minggu. “Jadi Minggu abu,” ujarnya sambil tersenyum. Tak ada reaksi apa-apa. Kepada imam itu hanya diingatkan untuk membacakan surat gembala prapaskah, mengingat hari Rabunya belum dibacakan.

Sebelum menjawab permasalahan ini, ada baiknya kita memahami tentang konsep Rabu Abu itu (silahkan baca di sini). Sebagaimana sudah dikatakan di atas, Rabu Abu merupakan awal masa prapaskah. Pada hari ini umat wajib berpuasa. Masa prapaskah terdiri dari 40 hari. Hari Rabu dipilih supaya bisa menggenapi 40 hari hingga Sabtu Suci. Sementara abu, yang diterima umat, merupakan lambang pertobatan.

Dari uraian ini, kita dapat mencermati dua hal. Pertama, ketika menerima abu pada hari lain, apakah hari Rabu umat tidak berpuasa? Dengan menerima abu pada hari lain, dan sekalipun hari Rabunya umat menjalani puasa, tetap ada kesan bahwa masa prapaskah tidak lagi 40 hari, karena tandanya dibuat bukan pada hari Rabu. Kedua, ada kesan umat terlalu menekankan abunya daripada pertobatannya sehingga mau tidak mau hari lain “dipaksakan” untuk penerimaan abu. Nabi Yesaya pernah menulis, “Sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain karung dan abu…? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya ….” (Yes 58: 5 – 6).

Persoalan ini muncul karena kebiasaan menerima abu dilaksanakan dalam perayaan ekaristi. Dengan kata lain, tergantung pada imam. Jika tenaga imamnya terbatas, sementara medan pastoralnya sangat luas, misalnya seperti Paroki Ujung Beting, maka umat tidak dapat menerima abu tepat pada hari Rabu Abu. Malah mungkin ada umat yang sama sekali tidak menerima abu.

Menjadi pertanyaan, haruskah abu diterima dalam perayaan ekaristi? Andai abu juga dapat diterima dalam ibadat sabda, yang biasa dipimpin kaum awam, bukan tidak mungkin semua umat dapat menerima abu pada hari Rabu Abu. Ada dua kemungkinan untuk ini. Pertama, abu sudah diberkati jauh-jauh hari dan dibagikan ke stasi-stasi yang akan melaksanakan ibadat. Kedua, abu tak perlu diberkati, karena abu itu berasal dari pembakaran daun palma yang sudah diberkati. Bila ini memungkinkan, tentulah pengurus stasi tinggal mengumpulkan daun palma umat di stasi tersebut lalu membakarnya menjadi abu.

Kemungkinan kedua ini dapat mengatasi masalah yang bersifat mendadak, seperti kejadian banjir lalu. Umat dengan sendirinya akan langsung menyiapkan abu, dan melaksanakan ibadat penerimaan abu. Jadi, tak perlu menunggu hari lain untuk menerima abu.

Ini hanya sekedar opini saja. Bagaimana persisnya jawaban atas permasalah di atas, kembali ke penanggungjawab liturgi keuskupan. Di website katolisitas ada orang bertanya mengenai hal ini. Rm. Bernard Boli, SVD tidak memberikan jawaban yang tegas. Ia mengembalikan persoalan ini ke keuskupan. Jadi, adalah tugas penanggungjawab liturgi keuskupan untuk menjawabnya, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap perayaan imlek. Intinya, harus ada pedoman atau bahkan ritus ibadat penerimaan abu tanpa imam.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar