RABU ABUNYA HARI MINGGU
Untuk menyambut Hari Raya
Paskah, umat katolik diajak untuk mempersiapkan diri dalam satu masa yang
dikenal dengan masa prapaskah. Pada masa ini umat diajak untuk melakukan
pantang dan puasa, tobat dan amal kasih. Masa prapaskah diawali pada hari Rabu
Abu. Pada hari ini umat akan berpuasa dan menerima abu.
Namun dalam situasi
tertentu, ada umat tidak bisa menerima abu pada hari Rabu Abu. Sebagai contoh,
tahun 2016 ini, ketika Pulau Bangka dilanda banjir sehingga banyak akses jalan
raya rusak, beberapa imam tak bisa menjangkau umat di beberapa stasi untuk
merayakan misa Rabu Abu. Ada umat bertanya, “Bisakah kami menerima abu pada
hari lain selain hari Rabu Abu?”
Sebenarnya peristiwa ini (umat
tidak bisa menerima abu pada hari Rabu Abu) bukan hanya terjadi pada saat bencana
banjir saja. Umat di beberapa stasi di Paroki Tanjung Balai Karimun dan Ujung
Beting, karena keterbatasan tenaga imam, sementara medan pastoralnya luas,
tidak dapat menerima abu pada hari Rabu Abu. Tidak ada misa Rabu Abu pada hari
Rabu. Mereka baru menerima abu pada hari-hari berikutnya ketika pastor
mengunjungi mereka.
Lantas apakah bisa dikatakan
umat dapat menerima abu pada hari lain, misalnya hari Minggu. Jadi, hari Rabu
Abunya hari Minggu. Ini sama seperti sebuah pengumuman: besok pagi misa sore. Terkesan lucu. Namun masalah ini bukan
semacam stand up comedy.
Hingga saat ini pun
penanggungjawab liturgi keuskupan tidak mengeluarkan pernyataan atau pedoman,
sekalipun sudah tahu. Pernah seorang imam mengatakan bahwa di salah satu
stasinya umat baru menerima abu pada hari Minggu. “Jadi Minggu abu,” ujarnya
sambil tersenyum. Tak ada reaksi apa-apa. Kepada imam itu hanya diingatkan
untuk membacakan surat gembala prapaskah, mengingat hari Rabunya belum dibacakan.
Sebelum menjawab
permasalahan ini, ada baiknya kita memahami tentang konsep Rabu Abu itu
(silahkan baca di sini). Sebagaimana sudah dikatakan di atas, Rabu Abu
merupakan awal masa prapaskah. Pada hari ini umat wajib berpuasa. Masa
prapaskah terdiri dari 40 hari. Hari Rabu dipilih supaya bisa menggenapi 40
hari hingga Sabtu Suci. Sementara abu, yang diterima umat, merupakan lambang
pertobatan.
Dari uraian ini, kita dapat
mencermati dua hal. Pertama, ketika
menerima abu pada hari lain, apakah hari Rabu umat tidak berpuasa? Dengan
menerima abu pada hari lain, dan sekalipun hari Rabunya umat menjalani puasa,
tetap ada kesan bahwa masa prapaskah tidak lagi 40 hari, karena tandanya dibuat
bukan pada hari Rabu. Kedua, ada
kesan umat terlalu menekankan abunya daripada pertobatannya sehingga mau tidak
mau hari lain “dipaksakan” untuk penerimaan abu. Nabi Yesaya pernah menulis,
“Sungguh inikah berpuasa yang Kukehendaki, dan mengadakan hari merendahkan
diri, jika engkau menundukkan kepala seperti gelagah dan membentangkan kain
karung dan abu…? Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki ialah supaya ….” (Yes 58: 5 –
6).
Persoalan ini muncul karena
kebiasaan menerima abu dilaksanakan dalam perayaan ekaristi. Dengan kata lain,
tergantung pada imam. Jika tenaga imamnya terbatas, sementara medan pastoralnya
sangat luas, misalnya seperti Paroki Ujung Beting, maka umat tidak dapat
menerima abu tepat pada hari Rabu Abu. Malah mungkin ada umat yang sama sekali
tidak menerima abu.
Menjadi pertanyaan, haruskah
abu diterima dalam perayaan ekaristi? Andai abu juga dapat diterima dalam
ibadat sabda, yang biasa dipimpin kaum awam, bukan tidak mungkin semua umat
dapat menerima abu pada hari Rabu Abu. Ada dua kemungkinan untuk ini. Pertama, abu sudah diberkati jauh-jauh
hari dan dibagikan ke stasi-stasi yang akan melaksanakan ibadat. Kedua, abu tak perlu diberkati, karena
abu itu berasal dari pembakaran daun palma yang sudah diberkati. Bila ini
memungkinkan, tentulah pengurus stasi tinggal mengumpulkan daun palma umat di
stasi tersebut lalu membakarnya menjadi abu.
Kemungkinan kedua ini dapat
mengatasi masalah yang bersifat mendadak, seperti kejadian banjir lalu. Umat
dengan sendirinya akan langsung menyiapkan abu, dan melaksanakan ibadat
penerimaan abu. Jadi, tak perlu menunggu hari lain untuk menerima abu.
Ini hanya sekedar opini
saja. Bagaimana persisnya jawaban atas permasalah di atas, kembali ke
penanggungjawab liturgi keuskupan. Di website katolisitas ada orang bertanya
mengenai hal ini. Rm. Bernard Boli, SVD tidak memberikan jawaban yang tegas. Ia
mengembalikan persoalan ini ke keuskupan. Jadi, adalah tugas penanggungjawab
liturgi keuskupan untuk menjawabnya, sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap
perayaan imlek. Intinya, harus ada pedoman atau bahkan ritus ibadat penerimaan
abu tanpa imam.
Toboali, 14 Februari 2016
by: adrian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar