Senin, 08 November 2021

SEBUAH TELADAN DARI UMAT

 

Seorang pemuda dari daerah terpencil datang ke ibu kota provinsi untuk melanjutkan kuliah. Ia dapat kuliah karena keuskupan membantu membiayai uang kuliah dan kebutuhan hidupnya. Maklum, kalau mengharapkan keluarga, jelas ia tidak mampu. Dia merasa sangat bersyukur karena keuskupan mau membantunya kuliah.

Karena prestasi akademiknya, oleh pihak kampus ia diberi beasiswa. Hal ini sungguh luar biasa. Kampus itu mayoritasnya adalah muslim, dan dirinya berasal dari daerah terpencil. Namun ia, yang minoritas, bisa berprestasi dan mendapat beasiswa. Sebulan ia menerima uang sebesar delapan ratus ribu rupiah. Jumlah yang cukup lumayan bagi anak kos dan kuliahan.

Apa yang dia lakukan terhadap uang beasiswa itu? Semua uang beasiswa dia serahkan ke ekonom keuskupan. Dia merasa bahwa dirinya sudah dibantu oleh keuskupan. Oleh karena itu, uang beasiswa itu diserahkannya ke keuskupan. Sekalipun tidak ada aturan yang mewajibkan dirinya untuk menyerahkan uang sumbangan yang dia terima selama kuliah, pemuda ini tidak mau memanfaatkan kesempatan itu. Padahal, seandainya pun ia gunakan sendiri uang itu, ia tidak salah. Dan peluang untuk itu sangat besar.

Namun, suara hatinya masih berperan. Dia tahu diri. Hal inilah yang membuat dia harus jujur. Kejujurannya inilah yang dipuji oleh banyak pihak, termasuk para gembalanya.

Sikap jujur mengembalikan uang, yang sebenarnya murni haknya, ke keuskupan sangat berbeda dengan sikap serakah segelintir gembala umat. Ada beberapa gembala yang menerima gaji puluhan juta, tapi menikmatinya sendiri. Padahal ada aturan yang mewajibkan mereka untuk menyerahkan gajinya dan uang yang dia terima karena jabatannya ke keuskupan. Tapi mereka tetap menikmati uang itu demi kepentingan pribadi dan keluarganya.

Sekalipun beberapa kali sudah “diperingati”, namun tetap saja tak bergeming. Suara hatinya sudah mati. Mereka tak tahu diri. Padahal makan minum dan kebutuhan lain sudah ditanggung keuskupan. Keserakahan membuat nilai kejujuran mati.

Keserakahan itulah yang disentil Paus Fransiskus dalam acara pembukaan sinode. Paus mengatakan bahwa ada gembala yang buruk. Ke-buruk-an itu terlihat dari sifat serakah; serakah akan uang dan kekuasaan. Sifat serakah inilah yang dapat melestarikan korupsi di gereja.

Karena itu, apa yang dilakukan pemuda udik di atas dapat menjadi contoh teladan. Sungguh sebuah ironisme. Seorang domba, tanpa wawasan pengetahuan moral katolik, dapat menjaga suara hatinya tetap berjaga. Sudah seharusnya para gembala, yang sudah dijejali moral katolik, senantiasa menjaga suara hatinya tetap hidup.

diambil dari tulisan 7 tahun lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar