Setiap pemeluk
agama, bahkan aliran kepercayaan, pasti mempunyai kitab suci, yang dipakai
sebagai pedoman bagi para pemeluknya. Misalnya, umat kristiani memiliki
Alkitab, umat Budha punya kitab Tripitaka, orang Hindu punya Weda, Upanishad
dan Tantra, agama Konghucu memiliki Kitab Zhong Yong. Sumber utama kitab suci bisa
dari mana saja. Untuk umat pemeluk agama Samawi (Yahudi, kristen dan islam)
sumber utama kitab sucinya adalah Allah. Ketiga agama ini yakin bahwa kitab
suci merupakan wahyu Allah.
Umat islam
pastilah sepakat kalau dikatakan bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah. Tak
diragukan lagi. Dalam arti lain, Al-Qur’an itu berasal dari Allah. Kepastian
ini didasarkan pada firman Allah sendiri dalam surah As-Sajdah:
2 dan Az-Zumar: 1 – 2, 41. Al-Qur’an, sebagai sabda Allah, itu diturunkan
kepada nabi Muhammad. Kata-kata “kepada nabi Muhammad” mau menunjukkan bahwa
Al-Qur’an tidak pernah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Artinya,
Al-Qur’an baru turun pada masa Muhammad (570 – 632 M).
Kita sudah
mendapat satu kepastian bahwa Al-Qur’an itu berasal dari Allah. Al-Qur’an,
sebagai kitab, diyakini berisi kata-kata Allah. Akan tetapi, menjadi
pertanyaannya adalah kata-kata Allah itu sebenarnya ditujukan kepada siapa?
Apakah kata-kata Allah itu diperuntukkan hanya kepada manusia?
Pada umumnya
kitab suci umat beragama diperuntukkan kepada umatnya, malah bisa diberlakukan
juga untuk umat lainnya. Misalnya, Alkitab ditujukan kepada umat manusia,
secara khusus umat kristiani. Demikian pula dengan kitab weda, tripitaka, dll.
Kitab suci tersebut bisa dijadikan pedoman bagi umat manusia dalam menyikapi
hidup. Apakah demikian juga dengan Al-Qur’an?
Sekilas,
Al-Qur’an tak jauh beda dengan kitab suci agama-agama lain. Dia juga ditujukan
langsung kepada umat islam sebagai pedoman hidup; dan hanya umat islam. Karena
itu, dalam surah Al-Qiyamah: 18 ditegaskan bahwa umat islam harus ikut apa yang
tertulis dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, harus ikut apa yang tertulis dalam
Al-Qur’an tidak lantas hanya berarti Al-Qur’an itu secara langsung ditujukan
kepada umat islam.
Ada banyak juga
teks Al-Qur’an, yang ternyata ditujukan langsung untuk Nabi Muhammad, namun
harus diikuti oleh umat islam. Dalam beberapa kasus yang menimpa Muhammad,
sehingga Muhammad membutuhkan pembelaan dari Allah, maka turunlah firman Allah.
Jadi, firman Allah itu ditujukan secara langsung kepada Muhammad agar bisa
keluar dari masalahnya, karena umat harus mengikutinya. Sebagai contoh, untuk
meredam skandal
pernikahan Muhammad dengan Zainab, yang adalah menantunya sendiri,
Allah menurunkan firman untuk membela perkawinan tersebut (QS Al-Ahzab: 36 –
40). Jadi, hanya gara-gara nabi Muhammad jatuh cinta (atau bernafsu) dengan
menantunya, Allah menurunkan firman supaya sang nabi boleh menikahi menantunya;
dan umat menerima saja dan mengikutinya.
Contoh lain
adalah firman Allah dalam surah At-Tahrim: 1 – 3. Latar belakang surah ini
adalah skandal seks
(perselingkuhan) Muhammad dengan seorang budak wanita bernama
Mariyah Kuptiah di rumah istri Muhammad bernama Hafsa. Skandal tersebut
diketahui oleh Hafsa. Karena takut istri-istri yang lain marah, terutama
Aisyah, Muhammad bersumpah untuk tidak menyentuh Mariyah dan tidak akan
bersetubuh dengan istri-istri lain selama sebulan, asalkan Hafsa tidak
melaporkan peristiwa itu. Akan tetapi, Hafsa meneritakan hal itu kepada Aisyah,
sehingga membuat Muhammad marah dan menyatakan firman Allah ini untuk
membatalkan sumpahnya.
Atau kasus
perselingkuhan Aisyah dengan Safwan bin Al-Muattal As-Sulami. Kasus ini
benar-benar membawa dilema bagi Muhammad. Dibutuhkan waktu sekitar 1 bulan
untuk menyelesaikan persoalan ini dengan turun wahyu Allah dalam surah An-Nur:
4. untuk membebaskan Muhammad dari situasi pelik. Dari tiga kasus ini, terlihat
jelas bahwa firman Allah ditujukan langsung kepada Muhammad, tapi harus diikuti
oleh umat. Karena umat harus mengikuti, maka Muhammad lepas dari persoalan.
Menjadi
persoalan, bisakah ayat-ayat Al-Qur’an yang ditujukan langsung kepada Nabi
Muhammad diterapkan juga kepada umat islam lainnya? Misalnya, jika saat ini ada
umat islam menikahi menantunya, apakah dia bisa menggunakan wahyu Allah yang
turun untuk membela Muhammad yang menikahi menantunya? Bisakah wahyu Allah yang
turun mengatasi masalah perselingkuhan Muhammad dipakai para muslim dewasa ini
ketika menghadapi kasus serupa dengan sang nabi? Bisakah para muslim
menggunakan wahyu Allah yang turun untuk mengatasi kasus perselingkuhan Aisyah
dipakai ketika istri mereka selingkuh? Bisakah wahyu Allah yang membolehkan Muhammad beristri
lebih dari 4 orang dijadikan dasar bagi umat islam untuk juga
memiliki istri lebih dari 4? Maklum, umat islam juga terpanggil untuk mengikuti
teladan sang nabi.
Sampai di sini,
bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an, sebagai firman Allah yang diturunkan kepada
Muhammad, ditujukan secara langsung kepada umat islam dan nabi Muhammad. Yang
langsung ditujukan kepada Muhammad, berarti secara tidak langsung ditujukan
juga kepada umat islam. Peruntukkan kepada umat islam, sekalipun sebenarnya
langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad, bertujuan agar umat bisa memahami
situasi sang nabi. Dengan demikian sang nabi bisa keluar dari persoalan yang
menjeratnya. Akan tetapi, benarkah Al-Qur’an hanya ditujukan kepada dua pihak
tadi (umat islam dan Nabi Muhammad)?
Jika kita
membaca teks-teks Al-Qur’an, dapatlah dikatakan bahwa selain untuk umat islam
dan nabi Muhammad, Al-Qur’an ini ditujukan khusus untuk Allah. Dari
Allah untuk Allah. Dan firman-firman ini sepertinya hanya dikhususkan untuk
Allah saja, karena tak ada satu manusia pun tahu maksud Allah, sekalipun dalam
surah Al-Qamar: 17 dikatakan bahwa Al-Qur’an mudah dipahami. Mungkin yang
ditujukan kepada umat islam saja yang mudah dipahami, sedangkan yang ditujukan kepada
Allah sama sekali tidak dipahami.
Berikut ini
beberapa teks firman Tuhan yang ada dalam Al-Qur’an, yang sama sekali tidak
dipahami.
1. Alif Lam Mim,
yang ada dalam surah-surah seperti Al-Baqarah, Ali Imran, Al-‘Ankabut, dan
Ar-Rum, Luqman, dan surah As-Sajdah.
2. Alif Lam Mim Sad, yang dapat dibaca dalam surah Al-Araf
3. Alif Lam Ra, yang
ada dalam surah-surah seperti Yunus, Hud, Yusuf, Ibrahim, dan surah Al-Hijr
4. Alif Lam Mim Ra, yang bisa ditemui dalam surah Ar-Rad
5. Kaf Ha Ya ‘Ain Sad, yang ada dalam surah Maryam
6. Ta Sin Mim, yang
bisa dibaca dalam dua surah, yaitu surah Asy-Syu’ara dan Al-Qasas
7. Ta Sin, terdapat
dalam surah An-Naml
8. Ha Mim, ada
dalam surah-surah seperti Al-Mu’min, Fussilat, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Ad-Dukhan,
Al-Jasiyah, dan surah Al-Ahqaf
9. Ain Sin Qaf, yang
ada dalam surah Asy-Syura.
Demikianlah 9
“kalimat” dari Allah yang tersebar dalam Al-Qur’an. Kecuali “kalimat” Ain
Sin Qaf, yang terdapat dalam surah Asy-Syura ayat 2, “kalimat” yang
lain semuanya merupakan ayat pertama dari surah bersangkutan. Masih ada
beberapa kata (bukan kalimat, tetapi satu kata, seperti Taha, Sad,
Qaf, dll), yang juga tersebar di surah lain, yang tidak termasuk dalam
surah-surah di atas.
Kalimat-kalimat
atau kata-kata tersebut sama sekali tidak bisa diterjemahkan. Dalam Al-Qur’an
terbitan Departemen Agama RI (Revisi Tahun 2006), untuk kalimat Alif
Lam Mim, dalam surah Al-Baqarah, diberi catatan kaki sebagai berikut:
“Beberapa surah dalam Al-Qur’an dibuka dengan huruf abjad seperti Alif
Lam Mim, Alif Lam Ra, dan sebagainya. Makna huruf-huruf itu hanya
Allah yang tahu.....” (huruf tebal dari kami). Jadi, jelas ayat-ayat itu
hanya dikhususkan buat Allah. Manusia sama sekali tidak bisa memahaminya,
sekalipun dalam QS Al-Qamar dikatakan bahwa Al-Qur’an itu mudah dipahami.
Selain itu, manusia sama sekali tidak bisa mengikutinya, sekalipun dalam QS
Al-Qiyamah: 18 dikatakan umat islam harus mengikuti apa yang sudah dibacakan.
Menjadi persoalan, umat sama sekali tidak mengerti, bagaimana mau mengikuti.
Apa yang harus diikuti?
Dari uraian ini
dapatlah disimpulkan bahwa Al-Qur’an, sebagai firman Allah, diturunkan melalui
nabi Muhammad. Firman Allah itu ditujukan secara langsung kepada umat islam,
nabi Muhammad dan Allah sendiri. Jadi, Al-Qur’an tidak sepenuhnya untuk pedoman
umat islam, melainkan juga pedoman untuk Allah sendiri. Dengan kata lain, dari
Allah untuk Allah. Jika untuk Allah, kenapa harus diturunkan kepada umat-Nya
dalam bentuk kitab? Kenapa Allah masih membutuhkan pedoman? Sekali lagi, hanya
Allah yang tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar